Print
Hits: 14556

Empat Aspek Penting

Berbagai studi yang menunjukkan bahwa krisis fina nsial seringkali didahului dengan buruknya tata kelola perusahaan (Aebi et al., 2012; Erkens et al., 2012; Johnson et al., 2000) membuat tinjauan kembali atas praktik bisnis pada industri finansial, khususnya bank, menjadi krusial. Karakteristik unik bank antara lain opasitas tinggi, regulasi ketat, potensi moral hazard, too-big-to-fail (TBTF) dan intervensi pemerintah (Levine, 2004) tidak hanya berakibat tata kelola perusahaan (corporate governance) bank berbeda dibanding perusahaan di sektor lain tetapi jugabeberapa aspek tata kelolanya menjadi sangat penting untuk sektor perbankan. Oleh karenanya, studi pada sektor perbankan sebaiknya tidak hanya memperhatikan faktor eksternal (misalnya variabel makroekonomi) semata tetapi juga aspek-aspek corporate governance yang mempengaruhi risiko dan kinerja (Adams and Mehran, 2012; Macey and Maureen, 2003). Tulisan ini akan memaparkan secara singkat empat aspek penting tersebut, yakni pengungkapan (disclosure), independensi dewan, struktur dewan (direksi dan komisaris), dan kepemilikan saham oleh keluarga (famili).

La Porta et al. (2000) menyatakan bahwa investor dan pemegang kepentingan memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum dan peraturan, salah satunya adalah pengungkapan (disclosure). Bagi bank, pengungkapan merupakan komponen kunci perlindungan pemegang kepentingan sebab mereka termasuh pengawas dan calon investor dapat menilai posisi finansial dan risiko perusahaan. Namun, peran pengungkapan untuk memfasilitasi penggunaan hak oleh investor akan bervariasi dan tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk struktur kepemilikan saham. Meskipun sebagian ahli meyakini bahwa pengungkapan yang memadai akan berdampak baik bagi industri perbankan (disclosure-stability argument), tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa pengungkapan yang tidak tepat dan berlebihan dapat memicu dampak negatif (disclosure-fragility argument). Mengingat bahwa negara-negara berkembang di Asia umumnya memiliki perlindungan investor dan perkembangan kelembagaan yang lemah, riset mengenai peran pengungkapan dalam memitigasi risiko yang berlebihan akan membantu merumuskan bagaimana hak-hak investor dapat dilindungi sebaik mungkin. Dengan kata lain, dampak buruk dari lemahnya tata kelola di banyak negara mungkin dapat diimbangi dengan meningkatnya pengungkapan sehingga investor dan regulator dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara efektif.

Aspek lain yang penting dalam tata kelola perusahaan adalah adanya independensi dimana BoD/BoC diharapkan dapat membuat keputusan dengan lebih objektif dan potensi konflik yang rendah (Bebchuk et al., 2006; Holder- Webb et al., 2007; Klein, 2002). Independensi menjadi makin krusial pada industri perbankan karena karakteristiknya yang merupakan kumpulan kontrak finansial, aset yang tak berwujud, dan melibatkan dana pihak ketiga/masyarakat yang besar. Sifat bisnis tersebut menciptakan ketidaksimetrisan informasi antar berbagai pihak dan membuat direksi bank dengan mudah mengelola laporan labanya (secara kualitas dan kuantitas) untuk, misalnya, memodifikasi profil risiko dan pengembalian, mencapai batas (threshold) tertentu yang terkait dengan bonus/kompensasi, sebagai sinyal keberhasilan, atau mengurangi risiko di ambil alih. Oleh karenanya, bank juga diindikasikan rentan terhadap praktik pengelolaan laba (earning management) dibanding sektor lain (DeBoskey and Jiang, 2012; Fonseca and González, 2008; Greenawalt and Sinkey, 1988). Kebutuhan suatu pihak yang dipandang independen pada BoD/BoC makin meningkat pasca berbagai skandal pelaporan keuangan yang menimbulkan goncangan termasuk di sektor keuangan dan perbankan (misal kasus Barings Bank (1995), Société Générale (2008), atau Parmalat (2003)).

Kunci berikutnya dari  mekanisme tata kelola, khususnya di negara berkembang, adalah struktur dewan direksi (Board of Directors, BoD) dan komisaris (Claessens and Yurtoglu, 2013). BoD juga diharapkan dapat mengurangi informasi asimetris di antara pemegang saham yang beragam (misalnya antara mayoritas dan minoritas, manajer dan pemegang saham, dan seterusnya) dan antara bank dengan regulator/pengawas. Dalam konteks ini, struktur dan karakteristik anggota BoD menjadi kritikal untuk memitigasi masalah tersebut (Anderson et al., 2011; Ferreira, 2010). Demikian juga, bank dengan lingkungan bisnis dan pasar yang makin beragam membutuhkan keragaman BoD, baik dari sisi keterampilan dan latar belakang (human resource capital view) yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja dan risiko bank. Nilai ekonomis dari keragaman akan lebih besar jika biaya akibat dari masalah koordinasi dan kendala lain dapat dikurangi.

Terakhir, bank seperti halnya perusahaan non-bank di banyak negara, banyak dikendalikan dan dimiliki oleh famili (Brown and Dinç, 2005; Naldi et al., 2007; Wright and Kellermanns, 2011). Kepemilikan famili dalam berbagai tipe tidak hanya ditemukan pada sebagian besar perusahaan baru atau kecil, tetapi juga dapat ditemukan pada perusahaan besar dan publik. Kepemilikan seperti ini, di satu sisi, dapat berdampak positif terutama pada proses pengambilan keputusan, terjaganya reputasi, dan keberlanjutan usaha untuk generasi berikutnya (stewardship & propping-up theory). Di sisi lain, perusahaan famili juga rentan menghadapi permasalahan seperti kurang profesionalnya manajemen (Morck and Yeung, 2003), terbatasnya modal (Chandler, 1990), skeptimisme di pasar keuangan (Claessens and Fan, 2002) hingga potensi ekspropriasi. Studi-studi memberi bukti yang saling berlawanan dan oleh karenanya pengaruh famili masih belum terjelaskan secara tuntas (Bertrand and Schoar, 2006; Heugens et al., 2009; Liu et al., 2012). Di negara dengan perlindungan investor relatif lemah, famili akan lebih mudah untuk melakukan ekspropriasi, terlebih tanpa keberadaan investor besar lain sebagai penyeimbang. Karena itu, keberadaan investor instusional sebagai pemegang saham terbesar setelah famili diyakini dapat mengurangi private benefits dan transaksi kolusif oleh famili pengendali.

Temuan Empiris di Asia dan Indonesia

Untuk aspek pertama yaitu pengungkapan, penulis melakukan studi untuk menguji apakah tingkat pengungkapan memiliki dampak yang identik terhadap risiko di berbagai tipe kepemilikan. Argumen penulis yakni bahwa insentif pemegang saham untuk menggunakan informasi sebagai sarana mengawasi manajer atau BoD sedikit banyak dipengaruhi oleh kepemilikan dan derajat penyebarannya. Dengan kata lain, jika karakteristik kepemilikan tertentu memiliki preferensi risiko dan level pengungkapan yang bersifat unik maka peran pengungkapan dalam memitigasi risiko berlebihan akan dipengaruhi oleh karakteristik kepemilikan. Dengan menggunakan disclosure index dan mandatory disclosure index serta tipe kepemilikan bank di 11 negara Asia sebagai variabel utama, studi ini membuktikan bahwa kedua variabel berhubungan negatif dengan risiko default dan volatilitas laba. Selanjutnya, pengaruh pengungkapan terhadap volatilitas laba lebih kuat dengan keberadaan pemegang saham besar (blockholders) dan kepemlikian institusional, serta lebih lemah dengan keberadaan kepemilikan manajerial dan pemerintah. Temuan ini menegaskan pentingnya pengungkapan dalam memitigasi risiko dan memudahkan fungsi pengawasan serta market discipline sebagaimana diajukan dalam Basel Accord III.

Pengamatan pada pola sebaran laba bank-bank di Asia menunjukkan adanya kecenderungan jumlah amatan disekitar titik nol, yang terlalu sedikit dibawahnya dan terlalu banyak diatasnya (loss avoidance hypothesis). Lebih lanjut, bankbank juga terbukti mengelola laba untuk mempertahankan pencapaian sebelumnya (just-meetor-beat). Pengurus bank sampai level tertentu dapat menggunakan kebijakannya (discretionary) pada item keuangan tertentu seperti loan loss provisions untuk memanipulasi laba tetapi secara empiris praktik seperti ini dapat ditekan dengan adanya pihak independen dalam kepengurusan bank. Pengaruh positif tersebut ternyata bervariasi bergantung tipe dewan (one-tier versus two-tier board systems), dimana berkurangya praktik pengelolaan laba cenderung lebih besar pada bank dengan two-tier board systems seperti di Indonesia. Adopsi pengurus bank yang independen bukan sekedar sebagai stempel (certification hypothesis) tetapi dapat mencegah perilaku oportunistik yang merugikan berbagai pihak.

Berkaitan dengan struktur BoD/BoC, literatur mencatat belum banyak penelitian dilakukan, terlebih di sektor perbankan untuk menganalisis pengaruh keragaman anggota BoD/BoC terhadap kinerja dan risiko. Dengan menggunakan beberapa ukuran keragaman (yaitu jenis kelamin, keragaman kewarganegaraan, etnik, tingkat dan tipe pendidikan, serta pengalaman dan lama jabatan), penelitian oleh penulis membuktikan bahwa keragaman mempengaruhi kinerja dan risiko. Empat ukuran keragaman terakhir berdampak positif terhadap kinerja, sebaliknya etnik dan kebangsaan berpengaruh negatif. Hasil ini menunjukkan bahwa keragaman menjadi faktor penting dalam menjelaskan kinerja, sejalan dengan argumen Claessens and Yurtoglu (2013) bahwa komposisi direksi atau komisaris adalah aspek penting di banyak negara berkembang di mana corporate governance-nya relatif lemah sementara pada saat yang sama perusahaan menghadapi pasar yang semakin heterogen. Sementara itu, analisis lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan dampak negatif dari etnik dan kebangsaan sehingga dapat dikelola dengan baik.

Terakhir dan yang tak kalah penting, dominasi kepemilikan saham oleh famili terutama di Asia dengan tingkat perkembangan ekonomi negara-negaranya yang beragam membuatnya unik dalam hal kepemilikan dan pengendalian oleh famili (Claessens and Fan, 2002). Dengan menggunakan sampel bank-bank Indonesia, penulis menguji pengaruh famili (melalui beberapa tipe pengendalian) terhadap kinerja dan risiko. Analisis dilanjutkan untuk menganalisis apakah keberadaan famili bersama institusi (sebagai pemegang saham terbesar kedua selain famili) mempengaruhi kedua variabel dependen tersebut secara berbeda. Penulis mengidentifikasi kepemilikan langsung, kepemilikan tidak langsung (pyramidal structure/ultimate ownership), dan keberadaan anggota keluarga di dewan direksi atau komisaris. Dalam praktik, keberadaan anggota keluarga tersebut merupakan keputusan strategik untuk memastikan bahwa keputusan oleh BoD akan konsisten dengan kepentingan famili. Penulis menemukan bahwa famili berpengaruh negatif terhadap kinerja dan positif terhadap risiko, sejalan dengan argumen ekpropriasi. Adanya anggota keluarga sebagai direksi juga berdampak sama terhadap kinerja. Namun, keberadaan institusi sebagai pemegang saham terbesar kedua akan memitigasi dampak buruk famili karena institusi bisa berperan sebagai pengawas yang efektif. Fakta ini menggarisbawahi pendapat bahwa struktur kepemilikan dengan beberapa pemegang saham besar yang berlainan dapat meningkatkan kinerja dan mengurangi risiko berlebihan di negara dengan perlindungan investor yang relatif lemah.

---

Artikel Dosen: Bank dan Beberapa Aspek Tata Kelolanya
Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 20 Tahun 2015

Bagian dari tulisan ini dipresentasikan pada International Finance and Banking Society (IFABS) 2014 - 6th International Conference (Lisbon), Asian Finance Association (AsianFA) 2014 Conference (Bali), the 27th Australasian Finance and banking Conference (AFBC) 2015, (Sydney) dan mendapat predikat Best paper in "Banking" award, 8th APBRC (Kuala Lumpur)