Cetak
Kategori: Berita
Dilihat: 2267

Wakil Presiden (Wapres) RI, Prof. Dr. Boediono, menegaskan sektor keuangan dan perbankan menjadi salah satu fokus bagi pemerintah saat ini dan yang akan datang dalam mengantisipasi ancaman krisis ekonomi yang timbul akibat resesi ekonomi global. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi pemerintah sebaiknya tidak mengambil kebijakan zig-zag namun harus tetap konsisten dari pengalaman menangani krisis ekonomi sebelumnya di tahun 1997 dan 2008. Tidak hanya itu, dukungan politik sangat diperlukan.

"Dibanding 20 tahun lalu, risiko untuk selamat dari krisis bisa datang sewaktu-waktu," kata Wapres Boediono dalam 'East Asia Policy Dialogue' yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM bekerjasama dengan Econmic Research Institute foa ASEAN and East Asia (ERIA) di Sheraton Mustika Yogyakarta, Kamis (17/4).

Ketidakstabilan ekonomi global menurut Beodiono bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia, karena sistem keuangan sudah terhubung secara global. Apalagi perputaran uang pada sistem keuangan global melebihi dari produk domestik bruto. “Dibutuhkan kemampuan negara untuk mengatasi krisis. Krisi itu ibarat letupan kecil, bisa memicu terjadinya bola salju yang menggelinding lebih cepat,” katanya.

Boediono menceritakan pengalaman pemerintah dalam mengatasi krisis di tahun 1997 dan 2008 bisa dijadikan rujukan untuk menghadapi risiko terjadi krisis di kemudian hari. “Harus ada kebijakan yang selalu kita pegang dan sudah terbukti, apabila ini dipakai, saya yakin 50 persen Negara sudah bisa menangani krisis,” katanya.

Lebih jauh Boediono menambahkan, kebijakan terpenting yang diambil pemerintah adalah tetap mentaati peraturan yang sudah dibuat khususnya untuk bidang fiskal dan moneter. “Yang paling baik adalah ikuti kepatutan, jangan main-main dengan (kebijakan) fiskal,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB UGM), Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, mengatakan persoalan ekonomi membutukan kebijakan publik yang cerdas. Pemanfaatan sumber daya alam tidak lagi harus beriorientasi pada peningkatan kapasitas produksi nasional jangka panjang namun juga memastikan hasil sumberdaya alam itu untuk peningkatan kualitas SDM, penyediaan infrastruktur, perbaikan kerangka hkum dan regulasi serta peningkatan stok pengetahuan sebagai penentu kesejahteraan masyarakat. “Alokasi ini harus nampak dalam politik anggaran dengan dampak yang terukur dari tahun ke tahun,” ujarnya.

Pengamat ekonomi UGM, Dr. Tony Prasetiantono, yang menjadi pemandu dalam diskusi tersebut mengatakan ekonomi nasional dalam dua tahun terakhir mengalami defisit padahal sebelumnya nilai perdagangan surplus hingga 20-40 milyar dollar. “Karena deficit, cadangan devisa kita berkurang akhirnya rupiah melemah. Untung rupiah sempat menguat karena ada seorang tokoh yang ikut jadi capres dan pemilu berjalan sukses,” katanya.

Meskipun demikian, defisit nilai perdagangan ini menurut Tony akibat komoditas perdagangan yang masih bergantung pada sumber daya alam. Dia menilai, Indonesia harus memperkuat kemampuan daya saing agar tidak selalu mengandalkan sumber daya alam dan produk dari luar.  “Perbaikan infrastruktur dan peningkatan daya saing SDM itu yang lebih penting,” katanya.

Sumber: Gusti/UGM