Cetak
Dilihat: 15351

EBNEWS - Entrepreneurship mendorong penciptaan lapangan kerja dan inovasi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Data antar negara dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) menunjukan bahwa negara dengan tingkat entrepreneurship tinggi, rata-rata tingkat pertumbuhan ekonominya juga tinggi. Pada tingkat individu, enterpreneur cenderung cepat naik ke tingkat kesejahteraan yang lebih baik (Bradford, 2003). Salah satu aspek penting dalam enterpreneurship adalah bagaimana memanfaatkan peluang bisnis yang sering diterjemahkan dalam bentuk pembukaan usaha baru (Aldrich and Cliff, 2003). Sejalan dengan ini, survei GEM mengukur entrepreneurship menggunakan dua definisi yaitu jumlah pembukaan perusahaan baru dan jumlah perusahaan baru yang mampu bertahan setelah berdiri. Meskipun memiliki peran penting, entrepreneurship menghadapi banyak tantangan. Tantangan terberat antara lain adalah keterbatasan finansial. Dari sisi penyediaan kredit misalnya, restriksi kredit disebabkan oleh asymmetric information (Stiglitz and Weiz, 1981) dan mas-alah ini lebih besar untuk usaha baru.

Memulai usaha baru memerlukan modal awal. Jika tidak ada hambatan di pasar keuangan, keputusan untuk membuka usaha tidak berhubungan dengan situasi keuangan individual. Namun, jika akses ke pasar uang terbatas hanya individual dengan aset yang mencukupi yang mampu memulai usaha baru (Holtz-eakin et al, 1992). Caner (2003) dan Saridakis et al (2007) berpendapat bahwa keterbatasan finansial mengakibatkan pertumbuhan perusahan baru rendah dan tidak mampu bertahan atau survival rate rendah.

Untuk menganalisis financial market constraint hypothesis ini, Evan dan Leighton (1989) dan Evan and Jovanovich (1989) melihat hubungan antara usaha yang baru dibuka atau self-emplyoment dengan kepemilikan aset individu. Studi lain oleh Hurst dan Lusardi (2004) menggunakan strategi yang sama untuk menganalisis hipotesis tersebut di tingkat rumah tangga. Hasilnya menjukkan bahwa pembukaan usaha dan kekayaan berasosiasi positif baik di tingkat individu maupun rumah tangga. Dengan kata lain ada financial market constraint baik bagi rumah tangga maupun individu.

Cara untuk menguji financial market constraint masih menjadi perdebatan. Berbeda dengan Evan and Leighton (1989) dan Evan and Jovanovich (1989), Caner (2003) berpendapat bahwa hubungan positif antara kekayaan dan pembukaan usaha baru untuk golongan kaya dapat terjadi karena perbedaan tingkat pajak antara pekerja dan entrepreneur. Menurut Cressy (2000) hubungan positif antara kekayaan dan pembukaan usaha baru bisa terjadi karena individu semakin bersedia mengambil risiko jika kekayaannya meningkat dan bukan karena adanya financial market constraint. Individu yang kurang risk averse cenderung memilih membuka usaha sedangkan yang lebih risk averse akan memilih pekerjaan tetap. Seiring dengan meningkatnya kekayaan, individu semakin bersedia mengambil risiko lebih besar dan memilih menjadi entrepreneur. Selain itu, Buera (2009) menunjukkan bahwa hubungan antara kekayaan dan pembukaan usaha baru tidak monoton. Hubungan positif terjadi untuk rumah tangga miskin
(atau total aset rendah) dan negatif untuk rumah tangga kaya. Hubungan negatif menunjukkan bahwa individu kaya yang tidak membuka bisnis baru mungkin adalah "bad" entrepreneurs.

Studi ini melihat financial market constraint di Indonesia dengan dua acara yaitu, pertama melihat hubungan antara pembukaan usaha baru oleh rumah tangga dengan total aset rumah tangga, kedua menggunakan hasil survei yang secara langsung menanyakan tentang hambatan dalam mendapatkan pinjaman untuk pembukaan usaha.

Data Indonesia Family Life Survey 4 (IFLS4) 2007 and IFLS3 2003 menunjukkan bahwa kebutuhan modal untuk pendirian usaha rumah tangga bervariasi berdasarkan sektor. Tabel 1 menampilkan urutan kebutuhan modal awal untuk lebih dari 3000 usaha rumah tangga. Sektor keuangan, asuransi, dan real estate membutuhkan modal awal paling besar diikuti dengan sektor angkutan dan komunikasi. Sektor jasa (guru) dan industri (pengolahan/pembuatan makanan) memerlukan modal terendah.

Menggunakan data IFLS, financial market constraint hanya terjadi untuk sektor yang membutuhkan start-up capital yang besar. Untuk usaha yang memerlukan modal awal relatif kecil tidak ditemukan hubungan positif antara usaha baru dan aset. Rumah tangga di Indonesia cenderung dapat meminjam dari keluarga, teman atau tetangga untuk membuka us-aha yang memerlukan modal relatif kecil. Sehingga, aset pribadi bukan merupakan satu-satunya sumber modal usaha, selain pinjaman formal dari bank. Hasil analisis juga menemukan bahwa semakin besar jumah aset maka semakin rendah probabilitas untuk membuka usaha baru bagi rumah tangga yang kepala keluarga atau pasangan kepala keluarga berpendidikan sarjana atau lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan dengan semakin banyaknya pilihan pekerjaan berbekal pendidikan tinggi.

Pengaruh aset terhadap pembukaan usaha rumah tangga juga dianalisis untuk distribusi aset yang berbeda dengan menggunakan lima asset quintiles. Quin-tile pertama terdiri dari 20 persen rumah tangga yang memiliki aset terendah dan quintile kelima merupakan rumah tangga dengan asset holding tertinggi. Hasil analisis mendukung Buera (2009) bahwa aset berpengaruh negatif untuk rumah tangga dengan aset tinggi, namun tidak ditemukan hubungan antara aset dan pembukaan usaha pada empat quintiles yang lain. Bagi rumah tangga kaya, hanya yang berkemampuan entrepreneurship tinggi yang membuka usaha baru, lainnya akan memilih pekerjaan lain.

Data IFLS juga memungkinkan kita untuk menganalisis adanya financial market constraint terhadap pembukaan usaha baru secara langsung. Dua pertanyaan dalam survei IFLS yang digunakan untuk melihat financial market constraint adalah "Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengetahui tempat untuk meminjam uang?" dan "Selama 12 bulan terakhir, apakah Bapak/Ibu/Saudara pernah berhasil mendapatkan pinjaman?". Hasilnya menunjukkan bahwa mengetahui tempat untuk mendapatkan pinjaman dan keberhasilan mendapatkan pinjaman menaikkan probabilitas pembu-kaan usaha rumah tangga.

Financial market constraint seperti yang dijelaskan oleh Evan and Leighton (1989) dan Evan and Jovanovich (1989) tidak ditemukan di Indonesia. Tidak seperti di negara-negara maju yang bergantung dengan sistem keuangan formal, rumah tangga di Indonesia agaknya masih mengandalkan hubungan dengan kerabat untuk pemenuhan kebutuhan modal usaha.

---

Artikel Dosen: Financial Market Constraint Dan Usaha Rumah Tangga
Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 21 (Lustrum) Tahun 2015