FEB UGM Dorong Mahasiswa Berpikir Kritis Bagaimana cara menjadi mahasiswa yang berpikir kkritis? Pertanyaan ini menjadi titik awal sesi “Critical Thinking: Thinking Hard About Thinking” yang dibawakan oleh Dea Yustisia, S.E., M.Sc., di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pada Jum’at (24/10/2025). Dalam kegiatan ini Dea mengajak mahasiswa untuk berani mempertanyakan bukan hanya menghafal, tetapi menantang cara mereka memahami sesuatu.
Dea juga mengingatkan bahwa kemampuan berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan paling dicari di dunia kerja saat ini. Perusahaan mencari individu yang mampu menganalisis, menafsirkan data, dan menyelesaikan masalah dengan cara kreatif.
“Makanya, jangan heran kalau ada lulusan filsafat yang kerja di bidang data science. Bukan karena mereka jago hitung, tetapi karena mereka punya analytical thinking dan daya tahan belajar yang luar biasa,” jelasnya.
Dea juga menyoroti pentingnya kemampuan membaca secara mendalam terlebih di tengah derasnya arus informasi digital. Banyak orang membaca sekedar untuk tahu, bukan untuk memahami. Padahal, membaca kritis berarti menelusuri alasan dan bukti di balik tulisan. Dengan membaca kritis, mahasiswa belajar membedakan antara fakta yang bisa diverifikasi dan opini yang sekadar meyakinkan di permukaan.
“Bertanya, apa data yang dipakai? Apakah masuk akal? Adakah bias di sana?” ujarnya.
Dea mengingatkan bahwa berpikir kritis tidak berarti selalu benar atau selalu menang dalam argumen. Justru sebaliknya, berpikir kritis adalah kesediaan untuk terbuka, mendengarkan, dan mengakui jika salah.
Sementara Anggraeni Pranandari, S.E., M.Sc., menyampaikan bahwa berpikir kritis, bukan sekadar mencari jawaban, tetapi mencari alasan di balik jawaban itu. Ia menekankan empat kebiasaan utama yang perlu dilatih yaiu bertanya dengan rasa ingin tahu, memeriksa fakta, melihat berbagai sudut pandang, dan membuat keputusan yang bijak. Proses ini melatih mahasiswa untuk berpikir dengan logika, bukan sekadar mengikuti arus.
Anggareni mengajak mahasiswa untuk mengenali langkah-langkah dasar berpikir kritis yakni mengamati, bertanya, dan menganalisis. Ketiganya membentuk siklus berpikir yang membuat seseorang mampu menilai kebenaran dengan lebih tajam.
“Kita semua berpikir setiap hari, tapi tidak selalu berpikir kritis,” ujar Anggraeni.
Anggraeni juga menyoroti fenomena menarik di era digital. Banyak orang yang saat ini sangat bergantung pada teknologi untuk mencari jawaban, tetapi kehilangan kemampuan untuk berpikir sendiri. Ia menekankan bahwa alat bantu hanyalah sarana, kemampuan berpikir dan menulis tetap menjadi inti dari pembelajaran sejati.
Reportase: Orie Priscylla Mapeda Lumalan
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals
