Print
Hits: 13771

EBIZ - Kita pasti pernah mendengar ada kritik yang mengatakan bahwa ekonom saat ini pemikirannya cenderung neoklasik, sarat dengan ide kapitalisme dan neoliberalisme. Menariknya adalah mungkin banyak di antara ekonom saat ini tidak mengenal baik istilah-istilah tersebut sejak ilmu ekonomi di universitas lebih didudukkan sebagai science, daripada sebagai bagian dalam political economy. Sedangkan yang mengkritik mungkin sekali bukanlah ekonom, tetapi pengambil kebijakan, politisi, atau pemerhati sosial yang mengasumsikan political economy1. Dengan demikian ada mis-matched atau unsatisfied expectation terjadi di sini.

Tentang Neoklaslk

Ketika berbicara economics as a science, maka tak ayal model-model neoklasik dengan pendekatan optimisasi oleh pelaku individu merupakan state of the art ilmu ekonomi saat ini2. Penerimaan secara luas model neoklasik dalam literatur disebabkan oleh kerapian dan kesederhanaan logika deduktifnya dalam menghasilkan suatu konklusi. Asumsi neoklasik bahwa tiap-tiap individu bersikap egosentris-rasional pada kenyataannya tidak terlalu melebih-lebihkan karena secara umum individu memang memaksimalkan utilitas dan perusahaan memaksimalkan profit, given constraints3.

Meski neoklasik bagi ekonom tak lebih dari sebuah pendekatan, namun pengamat sosial ada semacam silogisme antara ekonom yang menggunakan framework atau metode neoklasik dengan ekonom yang berpikir egois, atau ilmu ekonomi yang mengajarkan individualisme atau keserakahan. Mereka lupa (atau tidak tahu) bahwa ilmu ekonomi juga mempelajari tentang apa yang optimal bagi masyarakat yang mungkin saja berbeda dengan apa yang optimal bagi individu. Di sinilah ilmu ekonomi bicara mengenai ethics. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan sosial ini, ilmu ekonomi menyarankan agar pemerintah turun tangan untuk mencegah jangan sampai dalam pengejarannya terhadap utilitas atau profit, individu merugikan kepentingan masyarakat. Aturan pemerintah ini kemudian masuk sebagai constraints yang harus dipertimbangkan dalam maksimisasi4.

Tentang Kapitalisme

Bila istilah neoklasik cukup dikenal dalam buku-buku ilmu ekonomi, tidak demikian halnya dengan istilah kapitalisme5. Dalam buku Smith the Wealth of Nation (1776) tidak ditemui Dalam buku Smith the Wealth of Nation (1776) tidak ditemui istilah kapitalisme6. Smith hanya menjelaskan proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh kapitalis melalui surplus tenaga kerja. Yang dimaksud dengan surplus tenaga kerja adalah sisa dari nilai produksi setelah dikurangi upah pekerja. Sisa ini oleh kapitalis kemudian ditanamkan kembali untuk produksi yang lebih besar sehingga terjadi akumulasi. Dalam buku Smith kapitalis bukan tentang pengusaha besar, atau penghisap surplus tenaga kerja7. Kapitalis simply adalah orang yang mempraktikkan proses pertumbuhan secara kontinu dengan mengubah kapital (C) menjadi barang (G) menjadi kapital (C') yang lebih besar lagi atau siklus C-G-C'8

Kapitalisme dengan demikian adalah sistem yang mengedepankan pertumbuhan (akumulasi) faktor produksi di mana faktor produksi ini dapat dimiliki oleh privat. Di dalam kapitalisme terdapat nilai keprihatinan, kecermatan, keberanian mengambil risiko, dan kompetisi. Kapitalisme tidak menawarkan suatu konsep keadilan apapun, kecuali bahwa semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk mereguk surplus yang ada di pasar. Jadi, bilamana dalam perekonomian terdapat ketidakadilan, maka kapitalisme bukanlah sebuah solusi. Kapitalisme malah mungkin menjadi penyebab dari ketidakadilan itu sendiri, karena pada hakikatnya kemampuan orang dalam merebut surplus pasar adalah berbeda.

Tetapi, apakah hasrat untuk mengakumulasi itu sendiri salah sehingga perlu dimatikan? Atau, kita biarkan hasrat itu hidup, namun pemerintah harus mampu meredistribusi endowment di masyarakat agar semua orang dapat menikmati kue pertumbuhan? Bagaimana bila pemerintah "terbeli" oleh kapitalis sehingga sistem pajak yang adil tidak terjadi? Bila ini terjadi, apakah kapitalisme atau pemerintah yang perlu diganti? Bila kita menjawab yang pertama seperti Marx berarti kita akan mengubah sistem menjadi komunisme atau variannya, di mana seluruh faktor produksi menjadi milik kolektif (baca: negara). Namun, masih ada pertanyaan yang tersisa: apa yang menjamin bahwa pemerintah baru dengan sistem yang baru tidak akan korup seperti pemerintahan yang diubahnya? Apa yang menjamin bahwa perekonomian akan lebih baik daripada rezim kapitalis9? Dalam ekonomi kita menghadapi masalah klasik yaitu tidak adanya counterfactuals.

Diskusi Ideologi: Antara Kelas dan Ruang Publik

Dalam pengajaran ilmu ekonomi di barat, kapitalisme begitu juga dengan Marxisme sudah tidak dibahas sama sekali, karena kombinasi peran privat dan negara dalam ekonomi (mixed economy) sudah diterima luas. Yang membedakan antara satu negara dengan negara lainnya adalah tentang pilihan program dan komitmen akan implementasinya. Jadi, di kelas dibahas tentang bagaimana kita mendesain institusi yang membuat pemerintah efektif; apa intervensi program yang efektif untuk masyarakat miskin dan usaha kecil, bagaimana menentukan target group-nya, berapa jumlahnya, bagaimana mekanisme delivery-nya dan evaluasinya; bagaimana cara mengadvokasi masyarakat agar tahu tentang hak-hak sosialnya; dan bagaimana menjadikan pileg, pilpres, atau pilkada menjadi alat penghukum yang efektif bagi pemimpin yang tidak mensejahterakan rakyat.

Bila kita membandingkan antara diskusi ideologi atau "isme-isme" dengan diskusi program dan implementasinya, maka tampak ada gap yang le bar dimana yang pertama seolah membahas sesuatu yang ada di langit, sedangkan yang satunya lagi membahas pada dataran praktik yang membumi. Karena pembahasantentang "isme-isme" dalam kondisi ketidakadilan selalu mendapatkan lebih banyak popularitas daripada pembahasan program, maka tak heran ideologi masih dipilih menjadi topik favorit yang diangkat politisi, meski bagi sebagian ekonom it is so yesterday10

Pendapat Friedman dalam Capitalism and Freedom (1962) tentang hubungan positif kapitalisme dan kemerdekaan partially benar. Kapitalisme dan kemerdekaan memang dapat sejalan selama ada rule of the game atau institusi yang kuat, dalam arti mampu mengarahkan kepentingan individu agar sejalan dengan kepentingan publik. Tetapi saya tidak sependapat dengan Friedman yang mengatakan bahwa economic freedom menjadi pre-kondisi political freedom, karena dominasi kapital bisa menciptakan dominasi politik dan bisa bersifat anti-kemerdekaan atau anti-demokrasi. Jadi, baik buruknya kapitalisme tergantung pada institusi yang melingkupinya. Bila di tangan yang salah, maka kapitalisme ibarat senjata dahsyat yang bisa menyengsarakan. 

llmu Ekonomi dalam Persimpangan

Kembali pada kritik yang ditujukan bagi para ekonom, saya melihat masyarakat memiliki harapan yang besar agar ekonom bisa mencari solusi yang cerdas bagi permasalahan ekonomi bangsa. Penekanan ilmu ekonomi sebagai sebuah science di universitas memang perlu dirayakan sebuah kemajuan ilmiah dari aspek epistomologi. Namun bila kemajuan ini justru disertai dengan kemunduran dari aspek aksiologinya karena semakin jauh dari dunia nyata, maka harapan masyarakat di atas tentu tidak akan terealisasi. Bila hal ini terjadi, maka ilmu ekonomi akan terhenti hanya sebatas model yang menjelaskan fenomena tak lebih dari itu.

Adanya gap antara model dan realitas menuntut ekonom untuk cerdas dan bijaksana dalam menggunakan model dalam kebijakan ekonomi. Saya yakin tidak ada ekonom yang sekedar copy and paste teori dalam praktik seperti banyak dituduhkan. Apa yang mempengaruhi dipilihnya suatu kebijakan dan apa yang membuatnya mencapai tujuan sangat dipengaruhi oleh confounding foctors, baik ekonomi, politik, hukum, budaya dan lain sebagainya. Oleh karenanya, ekonom (terutama mereka yang menceburkan diri dalam perumusan kebijakan) dituntut untuk mau belajar beyond ilmu ekonomi dan berendah hati karena terlampau sedikit hal yang ia mengerti. 

 

1 Sebagai science berarti mempelajari fenomena ekonomi berdasarlcan aksioma dan matematika untuk sampai poda konklusi. Sedangkan political economy berakar dari filosofi moral yang berarti studi tentang hubungan struktural produksi-konsumsi dengan negara sebogai pengaturnya. Dalam political economy, ada kombinasi erat antara ilmu ekonomi dengan hukum, politik, sosiologi, sejarah dan lain sebagainya. Catat bahwa political economy tidak ditiadakan sama sekali dalam textbooks ilmu ekonomi, namun ia diangkat hanya pada satu atau dua bab saja, kecuali dalam buku-buku yang spesifik membahas political economy.
2 Saat ini sudah banyak model neo-Keynesian yang juga menggunakan pendekatan mikro. Perbedaannya dengan neoklasik adalah hasil optimisasi tidak menghasilkan full employment atau market clearing.
3 Karena teori adalah sebuah generalisasi, maka mungkin saja ada motif-motif selain maksimisasi utilitas atau profit. Perusahaan misalnya, bisa saja memaksimalkan market share. lndividu juga bisa memaksimisasi utilitas dimana di dalamnya terdapat utilitas orang lain untuk mengakomodasi benevolent motive. Motif ini terkesan sangat pesimis dan tidak percaya akan adanya moral sentiments dari manusla. Tetapi bukankah Tuhan juga tldak mengasumslkan manusia seperti malaikat namun sebagai makhluk yang punya nafsu, sehingga perlu diberi petunjuk, peringatan, dan ancaman hukuman bila melanggar?
4 Kombinasi antara optimisasi individu dan intervensi pemerintoh ini tertuang dalam the first and second fundamental theorems of welfare economics. Terkait dengan aturan pemerlntah yang menjadl constraint dalam optimisas individu, sebagian dari Institutional economists pun mengakui bahwa framework berplklr mereka mengadopsi pemikiran neoklasik.
5 Mungkin hanya di kelas Sejarah Pemikiran Ekonomi, Perbandingan Sistem Perekonomian, atau Ekonomi Koperasi kita mengenal istilah ini.
6 lstilah itu justru ada dari pengkritiknya, seperti buku Marx Das Kapital (1867).
7 Penjual bakso yang dengan tekun menyisakan hasil usaha untuk pertumbuhan usahanya hingga ia mempunyai beberapa cabang adalah kapitalis. Begitu Juga dengan seorang konglomerat yang mengembangkan terus usahanya.
8 Proses transformasi C-G-C' yang sinambung ini tidak mudah karena seorang kapitalis harus bersaing dengan kapitalis lain yang memiliki motif yang sama. Siapa yang dapat melayanl pasar dengan leblh baik akan menjadi pemenang. Karena kapitalis menghadapi risiko dan menggunakan labor dan skill-nya dalam mentransformasi C-G-C' maka ia berhak mendapatkan sebagian dari hasil produksi. Heilbroner (1985) menyebut proses ini sebagai money-commodity-money atau M-C-M. Perlu dicatat bahwa kapitalisme dalam konsep Smith hanya menerima barang sebagai output (jasa tidak diakui). Dengon demikian apa yang terjadi di pasar uang dunia dengan produk-produk derivatifnya bukanlah praktik kapitalisme ala Smith.
9 Sejarah menunjukkan China di bawah Mao dan India di bawah bayang-bayang pemikiran Gandi tidak sejahtera. Betul bahwa kita tidak memlliki counterfactuals, namun setidaknya kita melihat keduanya sekarang mempraktikkan kapitalisme dengan cerdas dan berhasil memperbaiki ekonomi masing­-masing.
10 Seperti dulu ketika Marx dan pengikut klasik saling berbantah di ruang publik. Namun demikian, topik ideologi masih perlu dibahas di kelas agar mahasiswa tidak lupa akan sejarah ilmu ekonomi dan kaitannya dengan ilmu sosial lainnya.

---

Artikel Dosen: Menjawab Kritik terhadap Ekonom dan Ilmu Ekonomi
Dimuat pada majalah EBIZ Edisi 4 Tahun 2009