Print
Hits: 17912

EBNEWS - Meskipun belum sepopuler di negara maju, salah satu bentuk kompensasi ekuitas, stock option, mulai mendapatkan perhatian di Indonesia. Pemberian kompensasi dalam bentuk stock option ini dikenal dengan istilah Program Kepemilikan Saham oleh Karyawan (Employee Stock Ownership Program, ESOP). Tahun 2002, Bapepam melakukan "Studi Tentang Penerapan ESOP Emiten Atau Perusahaan Publik Di Pasar Modal Indonesia." Dari 124 emiten yang disurvei, 24 diantaranya telah melaksanakan ESOP. Tim peneliti bahkan menemukan 4 perusahaan tertutup yang juga menjalankan program yang sama.

Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika, kompensasi ekuitas, khususnya stock option dan restricted stock, sudah menjadi bagian penting dari paket kompensasi yang dibayarkan kepada para eksekutif perusahaan. Jumlahnya terus meningkat, baik dalam angka absolut maupun sebagai persentase dari total kompensasi (Perry and Zenner, 2001). Dampaknya, tentu saja, menjadi semakin mahal (costly) bagi pemegang saham dalam bentuk kas yang dibayarkan, pembelian saham entitas sendiri untuk pembayarannya, dan efek dilusi yang ditimbulkan ketika kompensasi ekuitas tersebut dibayarkan (Balsam, 2002).

Setidaknya terdapat dua tujuan utama mengapa perusahaan publik memberikan kompensasi kepada para eksekutifnya dalam bentuk ekuitas. Pertama, untuk memotivasi para eksekutif perusahaan tersebut agar berlaku dan bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Kedua, sebagai upaya untuk menahan para eksekutif agar bisa bekerja lebih lama di perusahaan. Tujuan yang pertama dapat dicapai tiada lain karena kompensasi ekuitas menghubungkan secara langsung antara kompensasi eksekutif dengan kesejahteraan pemegang saham, sehingga dampaknya mampu menyalaraskan (aligns) kepentingan para eksekutif dengan kepentingan pemegang saham perusahaan.

Untuk tujuan memotivasi eksekutif ini, penelitian yang dilakukan Smith dan Watts (1992) dan Gaver dan Gaver (1993), misalnya, menunjukkan bahwa perusahaan yang tengah tumbuh dengan pesat, yang dengan demikian berkepentingan untuk mendorong para eksekutifnya untuk bekerja keras, ternyata cenderung untuk memberikan kompensasi dalam bentuk ekuitas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mehran (1995) yang meneliti efektivitas kompensasi dalam bentuk stock option, menemukan bahwa semakin tinggi kinerja perusahaan, semakin besar pula persentase kompensasi yang diberikan kepada para eksekutifnya dalam bentuk stock option.

Bagaimana dengan bukti empiris untuk tujuan kedua, yakni, kemampuan kompensasi ekuitas dalam menahan eksekutif perusahaan? Sayangnya masih sangat sedikit penelitian tentang kemampuan kompensasi ekuitas untuk menahan eksekutif (retention effect) ini. Bahkan belum ada penelitian yang memberikan bukti empiris secara langsung. Kalau pun ada, penelitiannya bersifat teoritis (Oyer and Schaefer, 2003, 2005), atau tidak langsung karena menguji stock option dengan pergantian eksekutif (Mehran and Yermack, 1999). Sedangkan dua penelitian lain yang dilakukan Fee dan Hadlock (2003) serta Hasenhuttl dan Harrison (2002) sama sekali tidak menemukan bukti empiris tentang hubungan antara stock option dengan retention effect.

Dalam kelangkaan bukti empiris seperti itulah, penelitian yang awalnya merupakan tugas salah satu mata kuliah seminar ketika saya menempuh program PhD di Temple University, Philadelphia, USA ini, kemudian saya kembangkan bersama Steven Balsam, dosen pembimbing saya kala itu. Penelitian dengan judul "The Effect of Equity Compensation on Voluntary Executive Turnover" tersebut berhasil dipublikasikan di Journal of Accounting and Economics, yang merupakan salah satu top tier journal di bidang akuntansi dan keuangan. Penelitian ini pulalah yang telah mengantarkan saya menjadi pemenang "The Harry A. Cochran Research Center Award for Excellence in Research by a Doctoral Student for 2006" menjelang saya lulus dari program PhD pada Agustus 2007.

Tujuan penelitiannya sendiri adalah untuk menguji dampak dari kompensasi dalam bentuk ekuitas pada pergantian eksekutif (executive turnover), khususnya pergantian eksekutif secara sukarela (voluntarily). Eksekutif sebuah perusahaan memiliki pilihan untuk tetap bekerja di perusahaan, pensiun dini, atau keluar bekerja pada perusahaan lain. Keputusan untuk keluar akan dipengaruhi, setidaknya sebagian, oleh kos (monetary cost) meninggalkan pekerjaannya sekarang. Tentu saja, kalau seorang eksekutif sangat diinginkan oleh calon perusahaan barunya, perusahaan baru ini bisa saja mengganti kerugian akibat si eksekutif meninggalkan perusahaan tempat ia bekerja saat ini. Hal ini terjadi pada saat CEO 3M, Jim McNerney dibajak oleh Boeing. McNerney seharusnya kehilangan stock option (unvested) dan restricted stock yang nilainya cukup signifikan (lebih dari 25 juta dollar). Namun, sebagaimana dilaporkan pada dokumen 8-K tertanggal 6 Juli 2005, paket kompensasi yang diterima dari Boeing membuat McNerney dapat begitu saja melupakan kerugian akibat meninggalkan 3M.

Dengan demikian, secara umum, seorang eksekutif bisa saja memperoleh penggantian atas uang yang hilang akibat meninggalkan perusahaan lamanya dengan bonus awal (signing bonus) atau dengan kenaikan jumlah kompensasi yang secara rutin akan diterimanya kelak di perusahaan barunya. Akan tetapi, seiring dengan semakin besarnya jumlah yang akan dikorbankan, tentu saja akan semakin kecil kemungkinan ada calon perusahaan yang bersedia memberi ganti rugi. Dari perspektif perusahaan yang akan ditinggalkan, jumlah stock option yang diberikan kepada eksekutifnya harus cukup besar sedemikian rupa sehinga mampu mencegah upaya pembajakan terhadap eksekutifnya tersebut oleh perusahaan lain. Terlebih dengan adanya perusahaan yang bersedia mengganti kerugian yang akan dialami oleh seorang eksekutif yang akan dibajak, maka jumlah yang harus diberikan oleh perusahaan kepada seorang eksekutif yang hebat harus lebih besar lagi.

Untuk tujuan penelitian ini, kami menggunakan data dari S&P ExecuComp data base. ExecuComp data base ini berisi bukan saja data keuangan perusahaan, tetapi juga data kompensasi untuk 5 top eksekutif perusahaan dengan kompensasi tertinggi. Hal yang menarik dari data base ini adalah masing-masing eksekutif diberikan nomor identitas yang unik yang disebut dengan EXECID (executive ID). Nomor identitas ini dapat digunakan untuk melacak keberadaan dari seorang eksekutif dimana dan kemana pun ia berada, selama masih termasuk dalam rangking 5 besar, dan perusahaan tempatnya bekerja masuk dalam data base.

Dengan bantuan EXECID inilah kami berhasil mengukur pergantian eksekutif (executive turnover), yakni, ketika seorang eksekutif diidentifikasi oleh ExecuComp telah meninggalkan perusahaan. ExecuComp mengelompokkan perginya eksekutif dari perusahaan dalam empat kategori: (1) meninggal; (2) pensiun; (3) mengundurkan diri; dan (4) tidak diketahui. Tentu saja, pergantian karena alasan meninggal kami hapus dari sampel. Pergantian paksa (involuntary) kami identifikasi dengan menggunakan kriterianya Huson et al. (2001). Dengan mengurangkan pergantian paksa dari dari sisa pergantian eksekutif setelah dikurangi karena alasan meninggal, maka diperoleh data pergantian sukarela (voluntary).

Hipotesis kami adalah bahwa seiring dengan naiknya nilai kompensasi eksekutif yang akan dikorbankan, maka pergantian eksekutif sukarela turun. Kami menguji hipotesis ini dengan dua model, satu untuk CEO (chief executive officer) dan satu untuk eksekutif lainnya. Penggunaan dua model yang terpisah ini bukannya tanpa alasan. Pertama, pengujian dengan model untuk CEO saja, memungkinkan hasilnya untuk dibandingkan dengan literatur yang ada yang fokus pada pergantian CEO. Kedua, memungkinkan untuk memasukkan variabel yang berbeda ke dalam masing-masing model. Pergantian seorang CEO sangat mungkin mempengaruhi pergantian eksekutif di bawahnya. Dengan demikian, menggunakan model yang terpisah untuk pergantian non-CEO, memungkinkan untuk memasukkan pergantian CEO sebagai variabel kontrol tambahan.

Untuk mengukur nilai kompensasi ekuitas yang akan dikorbankan bila eksekutif meninggalkan perusahaan, kami menggunakan nilai intrinsik dari opsi yang belum memenuhi syarat untuk digunakan (unvested) dengan the intrinsic value of nexercisable in-themoney stock options (INMONUN) pada akhir periode sebelumnya, sebagai proksi sebagaimana dilaporkan dalam ExecuComp. INMONUN inilah nilai yang akan dikorbankan oleh seorang eksekutif ketika pergi meninggalkan perusahaan. INMONUN ini belum bisa digunakan karena belum terpenuhi syarat-syaratnya (belum vested), yang diantaranya adalah bahwa eksekutif yang bersangkutan masih harus bekerja untuk perusahaan beberapa waktu lamanya. Sedangkan untuk opsi yang sudah vested, yang di dalam ExecuComp disebut dengan istilah the intrinsic value of exercisable in-the-money stock options (INMONEX), eksekutif tidak akan rugi apapun karena sudah berhak menggunakannya meskipun sudah pergi meninggalkan perusahaan yang lama.

Hasil pengujian yang kami lakukan menunjukkan bahwa pergantian eksekutif berhubungan negatif dengan the intrinsic value of unexercisable in-the-money stock options. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin besar nilai INMONUN yang dimiliki seorang eksekutif, maka semakin kecil kemungkinan eksekutif yang bersangkutan untuk pindah ke perusahaan lain. Hasil pengujian ini berlaku baik untuk sampel CEO maupun non-CEO. Demikian pula hasil ini sama untuk beberapa jenis kompensasi ekuitas yang lain. Namun tidak untuk INMONEX. Hal ini konsisten dengan kenyataan bahwa seorang eksekutif sudah bisa menggunakan INMONEX meskipun ia telah pindah kerja, sehingga tidak akan mempengaruhi keputusan untuk tetap tinggal atau pindah ke perusahaan lain. Kontribusi utama penelitian ini bukan saja memberikan bukti empiris akan kemampuan "menahan" kompensasi ekuitas, namun juga memiliki implikasi praktis bagi praktisi kompensasi dalam menyusun paket kompensasi yang akan ditawarkan kepada eksekutifnya.

---

Artikel Dosen: Kompensasi Ekuitas (Equity Compensation)
Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 19 Tahun 2014