Cetak
Dilihat: 13063

EBNEWS

PENDAHULUAN

Dalam era "Revolusi Mental" yang dicanangkan oleh presiden NKRI ke tujuh, Joko Widodo, alangkah baiknya jika FEB-UGM turut berpartisipasi, sekaligus menunjukkan bahwa FEB-UGM telah dan akan terus melaksanakannya demi Indonesia yang lebih baik.

Mendidik mahasiswa menjadi seorang ekonom tidaklah sulit, karena di sisi mahasiswa, sudah dipersiapkan melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi. Di lain pihak, di sisi dosen juga sudah dipersiapkan, baik melalui gelar maupun keahlian dosen, di sisi pengajaran juga sudah dipersiapkan berupa kecukupan kurikulum, silabus yang jelas dan mudah diterapkan, dan kualitas perpustakaan serta fasilitas pelayanan kuliah yang memadai.

Namun demikian, tidaklah sedemikian mudah mendidik seorang mahasiswa agar kelak setelah diwisuda dapat menjadi ekonom yang intelektual. Lalu, bagaimana caranya agar ekonom yang diluluskan oleh FEB-UGM juga memiliki karakter intelektual?

BAHASAN

Sebelum melangkah lebih lanjut, sebaiknya kita renungkan, apa arti dari "intelektual" itu sendiri. Arti secara kata-kata (literally) pada umumnya dapat ditemukan di kamus-kamus yang baik. Penulis memilih artian intelektual secara literally dari American Heritage Dictionary, karena cukup dapat memberikan gambaran yang diperlukan. Di bawah ini adalah kutipannya.

Intellect

Noun
(1.a) the ability of the mind to think, reason, and learn; capacity for knowledge and understanding.
(1.b) the ability to think abstractly or deeply

Intellectual

Adjective
(1.a) of, relating to, or requiring use of the intellect.
(1.b) rational rather than emotional
(2.a) having superior intelligent.
(2.b) given to learning, thinking and judging ideas.
Noun
(1) a person of trained intelligence, esp a person devoted to knowledge

Intellectualism

Noun
(1) the use of the intellect.
(2) devotion to exercise or development of the intellect
(3) the doctrine that knowledge is the product of pure reason; rationalism.

Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti alasan kesulitan membangun karakter "intelektual" mahasiswa, karena dalam arena intelektual bermain tidak hanya unsur-unsur yang tangible (nyata) tetapi yang lebih banyak lagi adalah unsur-unsur yang non tangible (abstrak), seperti mind , reason, rational, emotional, yang kesemuanya itu, yang hanya dapat dirasakan. Tapi untuk mengimplementasikannya dalam proses pendidikan mahasiswa, akan menghadapi batu sandungan yang sangat besar, karena dalam setiap pendidikan "rasa", selalu berpotensi menghadapi the Arrow Impossibility Theorem.

Yang akan penulis sampaikan disini merupakan sumbang pikir atau knowledge sharing (dengan potensi the Arrow Impossibility Theorem) tentang faktor-faktor yang menurut hemat penulis dapat membantu proses pendidikan intelektual. Sumbang pikir ini bersumber dari buku dan sumber referensi lain yang penulis cantumkan referensinya di akhir tulisan ini serta pengalaman penulis menjadi dosen FEB UGM selama 36 tahun.

1. Memahami Epistemologi Ilmu Ekonomi

Setiap disiplin ilmu pastilah memiliki epistemologi keilmuannya masing-masing, yang akan menjadi pedoman dan panduan cara pikir, cara tindak, cara berbuat, cara bersikap, cara berbicara, dari orang-orang yang menggeluti bidang pengetahuan keilmuan tersebut. Selanjutmya, pemilikan akan epistemologi keilmuan akan membentuk karakter intelektual dari pemiliknya.

Ilmu Ekonomi juga memiliki epistemologi keilmuannya. Dasar dari epistemologi ilmu ekonomi adalah menempatkan manusia ekonomi pada tempatnya. Epistemologi Ilmu Ekonomi mengenal 2 (dua) tempat, yang satu adalah milik Yang Maha Kuasa (istilah Adam Smith: the author of the world) dan yang satu lagi adalah milik kita semua, manusia, manusia ekonomi, ekonom alumnus FEB UGM.

Tempat pertama merupakan unsur a priorism dari epistemologi ilmu ekonomi.
"Absolutism is only the rights of the acts of GOD". Apapun yang mutlak hanya merupakan hak dari kegiatan Yang Maha Kuasa.
Tempat kedua merupakan unsur praxeology dari epistemologi ilmu ekonomi.
"What man in economics can do are merely fictions, BUT his fictions should be legalized using 3 pillars: moral, logics, and responsibility”. Apapun yang dilakukan oleh manusia ekonomi, semata-mata hanyalah berupa fiksi, TAPI fiksi tersebut haruslah dilegalisasi menggunakan 3 (tiga) pilar, yaitu moral, logika dan pertanggungjawaban.

Dari epistemologi ilmu ekonomi di atas dapat diketahui bahwa ternyata banyak unsur-unsur yang diperlukan untuk menjadi seorang ekonom yang intelektual, antara lain:

  1. Bahwa karena ternyata tempat manusia dibedakan dari tempat Yang Maha Kuasa, jangan langgar. Ekonom tidak punya hak untuk bersikap mutlak. Hindari penggunaan kata-kata mutlak, seperti "pokoknya" atau "otomatis", hindari sikap merasa paling benar, paling tahu, karena tanpa disadari dia telah melakukan tindakan yang bukan merupakan haknya sebagai manusia.
  2. Bahwa ternyata ekonom berbeda dengan orang-orang yang kita kenal sebagai ASBUN (asal bunyi), ASTUL (asal tulis), atau dalam bahasa Jawa, TONNI (waton muni) atau TONYEL (waton ngeyel), karena fiksi seorang ekonom harus lewat pembenaran (judgement) 3 pilar: moral, logika, dan pertanggunjawaban.
  3. Bahwa berbeda pendapat (yang didukung 3 pilar) dalam ilmu ekonomi, malah disarankan, karena melalui perdebatan kebenaran itulah ilmu ekonomi berkembang, seperti yang disampaikan oleh JS Mill "economics is developed through disagreement".
  4. Bahwa ternyata mudah membedakan seorang ekonom dari seorang kriminal yang menggunakan teori-teori ekonomi dalam perbuatan jahatnya, karena dia telah melanggar pilar epistemology ilmu ekonomi, utamanya pilar "moral".
  5. Bahwa ternyata tes logika secara eksplisit khusus bagi calon mahasiswa Fakultas Ekonomi diperlukan, untuk memperkuat pilar logika mereka. (Catatan penulis: sayangnya test logika secara eksplisit tersebut berhenti sampai di Sistem SKALU saja, setelahnya, dianggap sudah implisit dalam soal-soal tes masuk umum).
  6. Bahwa ternyata pertanggungjawaban dalam "fiksi" seorang ekonom crucial; dan karena pertanggunjawaban
    yang sulit dibantah adalah pertanggungjawaban kuantitatif, itulah sebabnya fakultas ekonomi harus mengajarkan matakuliah-matakuliah kuantitatif, seperti matematika, statistika, dan ekonometrika.
  7. Bahwa meskipun dalam dunia ilmu ekonomi tidak ada "malpraktek" seperti dalam dunia ilmu kedokteran, misanya, ternyata pertanggungjawaban seorang ekonom lebih berat, karena pertanggungjawaban itu sedalam harga dirinya. Sekali ekonom gagal mempertanggungjawabkan "fiksi" nya, dia jatuh ke lembah ASBUN, ASTUL, TONNI dan TONYEL.

2. Memahami Cara Mengajar Pilihan Dosen

Cara mengajar akan membuahkan hasil yang sesuai dengan cara mengajar tersebut. Dunia pendidikan, khususnya di Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta, menganut sistem pendidikan "Kebebasan Mimbar", yang memberikan kebebasan proses belajar-mengajar seluas-luasnya kepada dosen dan mahasiswa sepanjang senantiasa berada dalam koridor rambu-rambu moral pendidikan, visi, dan misi Universitas Gadjah Mada.

Dalam kebebasan mimbar inilah tiap dosen menentukan sistem dan cara yang akan diterapkannya dalam kelas belajar-mengajarnya. Karena pilihan dosen bervariasi, penulis akan menyampaikannya dari sudut pandang pengalaman diri. Sepengetahuan penulis ada 3 (tiga) cara yang dapat dipilih: (1) mahasiswa menghormati dosen; (2) mahasiswa dan dosen mitra kampus; atau (3) dosen menghormati mahasiswa.

Cara (1) lazim dilakukan di Indonesia, dan seringkali "kebablasan" menyerupai feudalism system (yang penulis tidak suka). Dalam cara (1), tugas utama dosen adalah "filing", perpanjangaan tangan dari buku-buku teks. "Knowledge is to be understood" merupakan pencapaian dari cara (1) ini. 
Cara (2) lazim digunakan di Amerika Serikat. Dalam cara (2) hubungan dosen-mahasiswa setara, ada demokrasi di kelas, ada diskusi. "Knowledge is to be digested" sudah mulai menjadi tugas tambahan cara mengajar dosen. Cara (2) ini pula yang menjadi jawaban penulis dalam interview melamar beasiswa Fulbright ke AS. "I want to learn how democracy is applied in your classrooms". (Ternyata penulis juga tidak merasa nyaman dengan cara (2) ini, karena sulit menentukan ukuran "setara").
Cara (3) lazim digunakan di Inggris (penulis memerolehnya pada waktu mengikuti short course di Birmingham University). Penggunaan cara (3) menuntut dosen senantiasa meningkatkan pengetahuan akan keilmuan yang diampu untuk dapat melayani kebutuhan keingintahuan mahasiswa. Barulah cara (3) ini penulis merasa cocok, utamanya karena sesuai cita-cita penulis sebagai guru. Pencapaian dari cara (3) ini adalah "Knowledge is not to be understood, knowledge is to be digested" Waktu penulis bertanya kepada para dosen di Inggris, mengapa dosen harus menghormati mahasiswa? Jawaban mereka sangat memuaskan "obsesi guru" pada diri penulis: "Because from a respected generation there will be a respectful generation". Wow, betapa mulia.

3. Memahami Pilihan Penggunaan Bahasa

Setiap insan memasuki arena pembelajaran menyadari bahwa ada 3 (tiga) bahasa yang dapat digunakan dalam melakukan komunikasi: bahasa pribadi, bahasa agama, dan bahasa intelektual.

(1). Bahasa Pribadi

Bahasa pribadi adalah bahasa yang sehari-hari digunakan, biasanya meliputi bahasa etnik/daerah baik terkait dirinya ataupun terkait orang-orang di sekitarnya, dan juga bahasa kesukaannya.
(Bahasa pribadi penulis meliputi bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Inggris).

(2). Bahasa Agama

Sering kita mendengar ucapan-ucapan orang yang dapat menunjukkan agama yang dianut oleh orang tersebut. Contoh, untuk mengucapkan salam: Assalamualaikum Wr. Wb, Shalom, Om Swastyastu, Salam Sejahtera dan seterusnya.
Bahasa Pribadi dan Bahasa Agama berpotensi memisahkan kelompok orang yang satu dengan kelompok orang yang lain, karena perbedaan yang ada.

(3). Bahasa Intelektual

Bahasa Intelektual adalah bahasa yang universal, tidak berpotensi memisahkan, karena pembenaran (judgement) yang diperjuangkan hanya satu, yaitu KEBENARAN. Berani menyatakan diri sebagai intelektual berarti berani menyuarakan KEBENARAN.
Epistemologi ilmu ekonomi memberi kesempatan munculnya berbagai fiksi untuk mendukung setiap satu kebenaran. Hal inilah yang menyebabkan bahasa intelektual yang digunakan dalam proses belajar – mengajar dalam ilmu ekonomi muncul dalam berbagai bentuk, antara lain:
1). Literal - Allegorical
2). What it is - What Beyond
3). Normative - Positive
4). Commonsense - Nonsense
5). Factual Hypothesis - Counter Factual Hypothesis
6). Deductive - Inductive
Tampaknya tiap pasangan dalam bahasa-bahasa tersebut di atas seperti saling berlawanan, tetapi yang sesungguhnya mereka saling melengkapi dan menunjukkan betapa terbukanya pintu perbedaan tanpa harus memisahkan, karena yang diperjuangkan sama, yaitu KEBENARAN yang satu atau ilmu ekonomi mengenalnya sebagai altruism atau selflessness.
Di samping bahasa intelektual tersebut di atas, ilmu ekonomi juga menggunakan bahasa-bahasa lain dalam pencarian kebenaran fiksi seorang ekonom. Yang banyak digunakan adalah Bahasa Matematika (Paul Samuelson, misalnya, menghadapi kesulitan dalam menjelaskan kebenaran dari teori yang ingin dijelaskannya, dalam bukunya "Foundation of Economic Analysis", menggunakan bantuan bahasa matematika, dengan terlebih dulu merasa perlu untuk menuliskan kutipan dari J Willard Gibbs "Mathematics is a language").

Tentang bahasa intelektual, berikut ini sebuah ilustrasi. Dalam sebuah acara pendidikan keagamaan di sebuah stasiun televisi, seorang pembicara menjawab pertanyaan seorang ibu tentang apakah agama Islam merupakan agama terbaik. Sebagai penonton, penulis mencoba menerka bahasa apa yang akan beliau gunakan. Beliau beretnik Arab, beragama Islam, dan berprofesi sebagai seorang professor, insan kampus. Apakah beliau akan menjawab menggunakan bahasa pribadi, bahasa agama, ataukah bahasa intelekual? Ternyata beliau memilih menggunakan bahasa inelektual. Kurang lebihnya ini jawaban beliau. "Di dunia ini tidak ada agama yang paling baik. Semua agama baik, karena agama adalah karunia pertolongan dari Yang Maha Kuasa untuk menolong umat manusia mengatasi kesulitan yang dihadapi pada masa agama itu diturunkan".

4. Memahami Karakter Bangsa Indonesia

Pemahaman akan karakter bangsa Indonesia diperlukan untuk menakar derajat kesulitan dalam pendidikan intelektual. Mengapa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia buruk; mengapa di antara stomach (perut) dan dignity (harga diri) masih banyak yang lebih memilih perut meskipun dengan konsekuensi harga dirinya hancur; mengapa di antara Meaning dan Money, yang kedua yang lebih banyak dipilih, meskipun bangsa Indonesia tahu pepatah "gajah mati meninggalkan gading, harmau mati meninggalkan belang". Semuanya tidak terlepas dari karakter bangsa Indonesia, yang di tataran selanjutnya memengaruhi tingkat kesulitan yang dihadapi dalam pendidikan intelektual. Untuk itu, perlu kita renungkan bagaimana sesungguhnya karakter bangsa Indonesia? Penulis tidak berusaha untuk menjadi seorang ahli sejarah, atau ahli anthropology, hanya sharing knowledge untuk direnungkan.

Banyak yang berpendapat bahwa karakter bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh dampak atau akibat dari penjajahan-penjajahan yang dialami bangsa Indonesia yang totalnya selama sekitar 350 tahun. Kita mengenal 3 (tiga) macam cara penjajahan, (1) cara Spanyol-Portugis yang di samping mengambil kekayaan dari jajahannya juga menyebarkan agama Katolik Romawi. Cara ini antara lain membuat munculnya etnik baru yang disebut Western Hemisphere yang bahasa, agama, cara pemberian naman mengikuti penjajahnya. (2) Cara Inggris yang di samping mengambil kekayaan dari jajahannya juga menyebar-luaskan kebesaran Inggris melalui sistem pendidikan Inggris pada bangsa jajahannya. Cara ini membuat pasca penjajahanpun mereka sukarela mau menjadi warga commonwealth. (3) Cara Belanda yang tujuan utamanya mengambil kekayaan dari jajahannya dan seringkali tanpa segan-segan menghancurkan harga diri bangsa yang dijajah. Di antara 3 cara tersebut Indonesia menerima cara (3). Rakyat Jawa dalam pandangan penjajah hanyalah dianggap sebagai "kowe" (dalam bahasa Jawa arti "kowe" adalah anak kera) dan "koeli" (manusia tenaga, tanpa otak/pikiran). Penjajahan meninggalkan bangsa Indonesia dalam keadaan perut lapar dan harga diri hancur. Mana yang harus dibangun dulu? Sebuah pengambilan keputusan yang sulit yang harus dilakukan oleh pemimpin Indonesia. Memilih stomach berarti melanjutkan bergantung pada bantuan asing, yang berarti dignity menjadi semakin hancur; memilih dignity berarti perut lapar.

Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, memilih membangun dignity dulu, nasionalisme Indonesia dulu, harga diri bangsa Indonesia dulu. Melalui Konferensi AA dan GNB nama besar Indonesia mendunia. Soekarno menyetujui usulan Frans Kasiepo (pahlawan perjuangan merebut kembali Irian Barat) untuk menolak penggunaan nama "Papua" pemberian penjajah dan memilih nama "Irian Barat| yang selanjutnya menjadi "Irian Jaya", karena dalam bahasa Nieuw Guinea nama "Papua" berarti bodoh, malas, dan kotor , sedangkan nama "Irian" dalam bahasa Biak artinya "matahari menghalau kabut memunculkan harapan" (Intisari edisi Agustus 2015).

Selanjutnya, sejarah menunjukkan Presiden kedua Indonesia, Soeharto, tidak melanjutkan pilihan pendahulunya, melainkan berganti pilihan menjadi stomach, resmi, dengan organisasi negara-negara donor berkumpul dalam IGGI (Inter Governmental Group On Indonesia).

Inilah yang legacy nya turut andil dalam kebingungan bangsa Indonesia pada setiap menghadapi pilihan-pilihan terkait pilihan antara perut dan harga diri. Kebingungan ini pula yang menambah beban kesulitan pendidikan intelektual di Indonesia.

Terkait memahami karakter bangsa Indonesia ada baiknya kita juga mengetahuinya dari sudut pandang orang asing. Peristiwanya pada acara Temu Alumni British Council awal 1998, di hotel Sahid Jalan Sudiman, Jakarta, guest speaker nya Duta Besar Inggris untuk Indonesia. Ini cerita sang guest speaker kepada hadirin, dalam bahasa Inggris, yang saduran bebasnya k adalah sebagai berikut:

"Pada suatu hari Tuhan mengundang 3 (tiga) presiden, Bill Clinton, Jiang Zemin, dan Soeharto. Pesan Tuhan sangat singkat: Dalam tiga hari lagi kiamat akan datang, beritahu rakyatmu.
Clinton menyampaikan pesan Tuhan kepada rakyatnya: Saya punya 2 (dua) berita untukmu, satu berita bagus, dan yang satu lagi berita buruk . Berita bagusnya, "God bless America", berita buruknya "dalam tiga hari lagi kiamat akan datang, bersiap-siaplah".
(Komentar penulis: penilaian pembicara tentang karakter bangsa Amerika Serikat, benar, karena bangsa Amerika Serikat penganut filosofi "check and balances", kalau ada yang baik pasti ada yang buruk. Juga digambarkan karakter bangsa Amerika Serikat baik, karena meskipun yang diundang Tuhan 1 orang, tapi disampaikan bahwa yang disayangi Tuhan adalah seluruh bangsa Amerika Serikat).

Selanjutnya diceritakan "Jiang Zemin: Saya punya 2 (dua) berita buruk untukmu. Berita buruk yang pertama, "ternyata Tuhan itu ada", berita buruk yang kedua “dalam tiga hari lagi kiamat akan datang, bersiap-siaplah”.
(Komentar penulis: penilaian pembicara tentang karakter bangsa China, penulis setuju, karena karakter bangsa China dikenal melankolis).

Yang terakhir diceritakan "Soeharto: Saya punya 2 (dua) berita bagus untukmu. Berita bagus yang pertama, "masak ya yang diundang Tuhan hanya tiga orang, saya terikut", berita bagus yang kedua "jangan takut dampak KRISMON, dalam tiga hari lagi dampak KRISMON akan selesai".
(Komentar penulis: (KRISMON terjadi Juli 1997. Saya persilahkan pembaca memberi komentar sendiri terhadap penilaian pembicara yang orang asing tentang karakter bangsa Indonesia).

PENUTUP

Pendidikan intelektual mahasiswa di FEB-UGM diharapkan akan menghasilkan ekonom-ekonom yang intektual, yang kelak mampu "Bekerja Tanpa Pamrih, Bekerja Dengan hati".

Pendidikan intelektual di FEB-UGM sudah dilakukan melalui 2 (dua) jalur:

(1). Secara implisit dalam setiap matakuliah yang diajarkan. Sehingga, misalnya:

(2). Secara eksplisit dalam matakuliah Sejarah Pemikiran Ilmu Ekonomi.

Dalam matakuliah ini pendikan intelektual dilakukan melalui pengayaan, presentasi, dan debat tentang isi pemikiran intelektual di bidang ekonomi dari para pemikir mulai dari jaman Yunani Kuno, Romawi, Kristianiti, Islam, Orthodox, Heterodox, Modern, sampai dengan yang sekarang, pemikiran para Nobel Laureates.

 

Referensi

-------------, (1981), The American Heritage Desk Dictionary, Houghton Mifflin Company.
Caldwell, B.J., (1982), Beyond Positivism: Economic Methodology in the Twentieth Century, George Allen and Unwin.
Dobb, M, (1981), Theories of Value and Distribution Since Adam Smith, Cambridge University Press.
Friedman, M, (1953), Essays in Positive Economics, The University of Chicago Press.
Friedman, M, (1982), Capitalism and Freedom, The University of Chicago Press.
Intisari, (2015), Edisi Khusus70 Tahun Indonesia Merdeka: Kisah Soekarno, Gramedia.
Khaldun, Ibn, (1987), The Muqaddimah: An Introduction to History, Princeton University Press.
Mini, P.V., (1974), Philosophy and Economics, The University resses of Florida.
Samuelson, P.A., (1971), The Foundations of Economic Analysis, Harvard University Press.
Smith, Adam, (1937), An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations, The Modern Library.
Spiegel, H.W., (1983), The Growth of Economic Thought, Duke University Press.
Zahka, W.J., (1992), The Nobel Prize Economics Lectures, Ashgate Publishing Company.

Tambahan (diunduh pada 28 oktober 2016)
1. Stanford Encyclopedia of Philosophy dari http://plato.stanford.edu/entries/epistemology
2. http://www.importanceofphilosophy.com/Epistemology_Main.html
3. Paul T. Sagal , Zeitschrift für allgemeine Wissenschaftstheorie / Journal for General Philosophy of Science Vol. 8, No. 1 (1977), pp. 144-162 Published by: Springer Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25170426

---

Artikel Dosen: FEB UGM Mendidik Mahasiswa Menjadi Ekonomi Yang Intelektual
Dimuat pada majalah EBNEWS Edisi 24 Tahun 2017