Apakah investasi menyelesaikan masalah?
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2298
Melihat polemik yang terjadi di masyarakat terkait Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law), pada Jumat (6/3) Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) menggelar Seminar dan Kuliah Umum (SinarKU) dengan tema "Omnibus Law: Ketika Aspek Kelembagaan Dilupakan". Seminar dilaksanakan di Auditorium Djarum Foundation FEB UGM, dan dihadiri oleh mahasiswa FEB UGM, serta pembicara yaitu Prof. Dr. Maria S. W. Sumardjono selaku akademisi dari Fakultas Hukum UGM (FH UGM) dan Dr. Rimawan Pradiptyo akademisi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM (FEB UGM).
Dr. Rimawan mengkritisi mengenai naskah akademik dari RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Menurutnya, naskah akademik seharusnya melihat secara garis besar dan menjadi predictor yang baik terkait isi dari UU itu sendiri. Pertanyaan penelitian dalam naskah akademik kurang relevan dan tidak mencerminkan dengan permasalahan dari Perekonomian Indonesia dan bagaimana cara penyelesaiannya.
"Tantangan kita dalam pembangunan adalah kita tidak tau diri kita dan tidak tau lawan kita, kita terlalu sering berkutat pada informal sector, padahal sudah saatnya sektor informal harus bertransformasi ke formal dan sektor formal juga mendapat dukungan oleh kelembagaan," papar Rimawan.
Dalam aspek ekonomi, menurutnya tidak ada salahnya melakukan inovasi hukum tapi mohon dipahami aspek keterbatasan pada manusia. Seharusnya dapat dipecah lagi, mungkin omnibus law untuk kesehatan, atau omnibus untuk pendidikan, jadi lebih terbatas sehingga UU nantinya dapat lebih dipahami semua pihak. Risiko-risiko hukum seharusnya juga dipertimbangkan dalam RUU Cipta Kerja ini.
Pada sisi yang lain, Prof. Dr. Maria SW Sumardjono menyoroti pengaturan bidang pertanahan dalam RUU Cipta Kerja. Beliau menyampaikan UU Cipta Kerja menimbulkan masalah dari segi teoritis dan potensi implementasinya. Khususnya terkait dengan bidang pertanahan, subtansi yang diatur perlu dipertimbangkan kembali agar tidak menghidupkan kembali isu-isu krusial yang ditolak dalam RUU Pertanahan yang kemudian akan "disalurkan" kembali melalui RUU Cipta Kerja.
Selain itu terdapat juga permasalahan dari sisi birokrasi. Berdasarkan laporan Ombudsman RI 2019, keluhan masyarakat di bidang pertanahan tetap berada di atas. Menurutnya, ini disebabkan oleh pelayanan yang seharusnya bersifat terbuka.
"Yang terjadi sekarang adalah birokrasi yang berbelit-belit. Padahal, Birokrasi yang efektif adalah yang mengutamakan hasil. Melakukan efisiensi persyaratan, mekanisme, pembiayaan, dan waktu penyelesaian”, papar beliau.
Investasi yang didukung menurutnya adalah investasi yang adil, demokratis, berkepastian hukum, dan berkelanjutan, salah satunya dengan memperhatikan urgensi harmonisasi UU di bidang Sumber Daya Alam (UU Sektoral), karena investasi memerlukan ketersediaan tanah, baik itu investasi di bidang pembangunan, pariwisata, tambang, transportasi, perkebunan, maupun produk.
Prof. Maria menegaskan, apabila tak ditempuh bersamaan dengan harmonisasi UU sektoral, mendorong peningkatan investasi dengan menyederhanakan regulasi dan perijinan sama saja dengan menambah potensi konflik dan ketakadilan dalam akses terhadap penguasaan dan pemanfaatan SDA bagi kelompok diluar korporasi. Selain itu juga akan menambah potensi terhadap eksplorasi SDA yang berlebihan dan memperparah kerusakan lingkungan.
Untuk menyelesaikan masalah itu, Prof. Maria menyarankan untuk Pemerintah agar tetap melaksanakan Program-program Reforma Agraria (RA) secara bersungguh-sungguh, mendorong penerbitan RUU terkait dengan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan menyudahi berbagai konflik agraria yang sudah berlangsung sejak era orde baru dan tak pernah berhasil diselesaikan secara tuntas. Perlu diupayakan penyelesaian melalui pembentukan lembaga independen penyelesaian konflik agraria yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Sumber: Sony Budiarso/Leila Chanifah Z.