
Kementerian Keuangan mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga hingga Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selama dua bulan pertama tahun 2025, penerimaan negara mencapai Rp 316,9 triliun, sementara realisasi belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun.
Ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Dr. Evi Noor Afifah , menekankan pentingnya evaluasi terhadap APBN untuk menilai kualitas dan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Hal ini dapat dilakukan dengan penganggaran berbasis kinerja, yang mencakup lima elemen utama, di antaranya Standar Pelayanan Minimal (SPM), Analisis Standar Belanja, indikator kinerja, target kinerja, dan Standar Satuan Harga (SSH). Hanya saja, saat ini belum terdapat regulasi terkait Analisis Standar Belanja di Indonesia, sehingga belum dapat dilakukan penilaian akan kelayakan belanja dari suatu aktivitas yang dilakukan pemerintah.
“Ini seringkali menjadi alasan mengapa kualitas belanja belum baik karena belum ada Analisis Standar Belanja,” ungkap Evi, Jum’at (14/3/2025) dalam Economic and Business (EB) Journalism Academy di FEB UGM.
Dalam kelas singkat yang ditujukan bagi insan media yang bertugas di wilayah Yogyakarta ini, Evi menyampaikan paparan tentang APBN dan Perekonomian Indonesia. Ia juga menyampaikan dalam proses perumusan suatu kebijakan, pemerintah perlu menerapkan evidence-based policy atau perumusan kebijakan yang didasarkan pada data, riset, dan bukti empiris, bukan sekadar opini, intuisi, ataupun kepentingan politik. Pada perumusan kebijakan jenis ini, pemerintah berfokus pada hasil dari kebijakan dengan menggunakan indikator-indikator tertentu dalam menilai keberhasilannya. Kendati begitu, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah semakin jarang menggunakan kebijakan berbasis bukti ini.
Lebih lanjut dosen Ilmu Ekonomi FEB UGM sekaligus Deputi Penelitian dan Pengembangan Ekonomi di Research and Development for Societal Impact Unit (RDSI) FEB UGM ini menyampaikan evaluasi kebijakan dapat dilakukan di berbagai tingkatan. Melalui evaluasi ini, pemerintah dapat menentukan apakah kebijakan perlu dilanjutkan, direvisi, diekspansi, direplikasi, atau dihentikan. Ia juga menekankan pentingnya data dalam melakukan evaluasi, baik berupa data fiskal maupun data sektor tertentu yang tersedia di tingkat pusat dan daerah untuk memudahkan proses evaluasi. Sementara dalam menganalisis kebijakan atau program pemerintah, menggunakan kerangka logis yang mencakup dampak dari program, hasil kegiatan, target, serta program atau kebijakan yang diterapkan untuk mencapai target tersebut.
Evi menekankan bahwa belanja publik harus berfokus pada kualitas dan outcome dibandingkan hanya pada kuantitas dan output dalam perencanaan nasional dan sektoral. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan pemantauan efektivitas kebijakan di sepanjang rantai hasil (results chain) untuk memastikan anggaran digunakan secara optimal. “Harus memantau di sepanjang rantai hasil sehingga kinerja yang kurang dapat diidentifikasi dan diatasi,” tuturnya.
Pengembangan logika intervensi yang lebih kuat untuk intervensi, lanjut Evi, akan mengidentifikasi lebih jelas langkah-langkah antara yang utama dalam mencapai hasil. Selain itu, juga dalam menetapkan pengukuran untuk memantau apakah langkah-langkah tersebut tercapai. Misalnya, sektor infrastruktur harus lebih berfokus pada pemeliharaan untuk menghindari rehabilitasi yang mahal dan masalah keselamatan di kemudian hari.
“Syarat kinerja pemerintahan yang lebih baik adalah kombinasi dari kapasitas institusional dan political will,” jelasnya.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals: