Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan industrialisasi, kebutuhan dunia kerja pun kian beragam dan spesifik. Kondisi ini menjadikan pendidikan formal saja tidak lagi cukup sebagai bekal untuk bersaing di pasar tenaga kerja. Untuk mendukung kebutuhan ini, mulai banyak bermunculan berbagai pelatihan jangka pendek, baik berbentuk soft skill maupun hard skill, serta program sertifikasi yang dirancang untuk membekali peserta didik dengan keterampilan tambahan yang relevan. Dalam dunia pendidikan, tren ini dikenal sebagai kredensial mikro (micro-credential).
Dalam FEB Podcast yang ditayangkan di kanal YouTube FEB UGM bertajuk “Arah Pendidikan Tinggi di Era Microcredential,” Prof. Dr.rer.soc. R. Agus Sartono, MBA, Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM, membahas lebih dalam mengenai fenomena kredensial mikro yang tengah berkembang pesat di Indonesia.
Prof. Agus menjelaskan bahwa kredensial mikro berbeda dengan pendidikan formal berjenjang seperti SMA atau universitas. Jika pendidikan formal berfokus pada tahapan akademik, maka kredensial mikro menitikberatkan pada penguasaan kompetensi tertentu (competency-based recognition) yang dibutuhkan langsung oleh industri, dengan waktu belajar yang relatif singkat. Hal ini bertujuan adalah agar peserta didik dapat lebih siap dan andal ketika terjun ke dunia kerja karena telah menguasai keterampilan yang benar-benar relevan. Contoh program kredensial mikro antara lain kursus singkat, pelatihan daring, Massive Open Online Courses (MOOC), serta pendidikan profesi.
“Kredensial mikro ini diperlukan karena permintaan industri yang semakin meningkat. Program ini tidak hanya digunakan untuk upskilling (mempelajari hal baru), tetapi juga reskilling (mempelajari bidang berbeda dari latar awal), dan sekaligus menjadi pelengkap dari kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan formal,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas dari sisi pengajar untuk mendukung perkembangan kredensial mikro. Menurutnya, dosen tidak cukup hanya membaca buku dan menyampaikan teori di kelas. Mereka juga perlu memahami kondisi nyata di lapangan, misalnya dengan terlibat dalam proyek konsultasi bisnis, sehingga pengalaman tersebut dapat dibagikan kepada mahasiswa di kelas. Selain itu, lembaga pendidikan juga dapat melibatkan praktisi sebagai dosen tamu atau dalam penyusunan kurikulum, agar pembelajaran tetap relevan dengan kebutuhan industri. Di era digital ini, dosen bahkan dapat memanfaatkan beragam video dan contoh praktik bisnis nyata yang tersedia di internet untuk memperkaya proses belajar. Dengan demikian, baik pengajar maupun institusi pendidikan dapat memaksimalkan potensi peserta didik, tidak hanya melalui kredensial mikro, tetapi juga pembelajaran kontekstual.
Meskipun potensinya besar, lanjutnya, pengembangan kredensial mikro di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti percepatan perkembangan teknologi, akses pendidikan yang belum merata, serta isu keterjangkauan biaya. Terutama dengan semakin pesatnya teknologi berubah, termasuk munculnya kecerdasan buatan (AI) yang menuntut institusi pendidikan untuk lebih adaptif dalam memperbarui kurikulum serta pendekatan pedagogik.
Agus menegaskan bahwa kredensial mikro seharusnya menjadi pelengkap bagi pendidikan formal. Hal ini didasarkan pada pengalamannya di Kementerian Pendidikan yang menunjukkan bahwa program pelatihan singkat terbukti dapat membantu menekan angka pengangguran di Indonesia. Oleh karena itu, ia terus mendorong adanya revitalisasi pendidikan vokasi, yang di dalamnya mencakup pengembangan kredensial mikro, karena terbukti memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat Indonesia. Salah satu contoh konkret di Indonesia adalah program Kartu Prakerja, yang bertujuan meningkatkan kompetensi peserta agar mampu terserap di dunia kerja atau menjadi wirausaha mandiri.
Namun, ia mengingatkan bahwa untuk mencapai tujuan dan dampak besar ke masyarakat, dibutuhkan peran lembaga pendidikan tinggi yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial semata. Sebab, perlu ditekankan bahwa tujuan utamanya adalah memberikan manfaat nyata bagi peserta agar dapat meningkatkan kualitas hidup dan produktivitasnya di dunia kerja kemudian hari.
“Pemerintah sendiri telah menyediakan dana yang sangat besar untuk pelatihan, reskilling, dan upskilling agar produktivitas meningkat. Saya yakin UGM juga mampu menjadi bagian dari upaya tersebut,” ujarnya.
Pada akhirnya, kredensial mikro merupakan bagian dari konsep pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), yang mendorong individu untuk terus belajar dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Meskipun begitu, mahasiswa tetap perlu memiliki kompetensi dasar yang kuat, yaitu kompetensi yang dibangun melalui pembelajaran selama menjadi mahasiswa di perguruan tinggi.
Agus menekankan pentingnya karakter yang kuat dan berintegritas tinggi sebagai pelengkap pengetahuan yang didapat di perguruan tinggi.
“Pendidikan merupakan rekayasa sosial yang tidak hanya membangun kompetensi, tetapi juga membentuk karakter. Dengan berbagai pendekatan, lembaga pendidikan harusnya mampu menanamkan nilai itu, baik melalui mata kuliah maupun kursus,” pungkasnya.
Video selengkapnya dapat diakses melalui link http://ugm.id/ArahPendidikanTinggidiEraMicrocredential
Penulis: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals
