
Pernah membaca berita soal kenaikan harga suatu barang di suatu daerah lalu menyimpulkan bahwa inflasi di Indonesia sedang tinggi? Hati-hati, bisa jadi itu salah kaprah. Kesalahan dalam memahami data ekonomi, khususnya ketika data mikro dijadikan gambaran kondisi makro, kerap terjadi di ruang publik dan bisa menyesatkan persepsi masyarakat.
“Salah satu kekeliruan yang sering terjadi adalah penggunaan angka kenaikan harga suatu barang di suatu daerah sebagai cerminan kondisi inflasi nasional,” kata Sekar Utami Setiastuti, Ph.D., Dosen sekaligus Kepala Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UGM, di hadapan wartawan Rabu (14/5/2025) dalam kegiatan Economic and Business Journalism Academy di FEB UGM.
Sekar menyebutkan bahwa pendekatan tersebut menyesatkan. Pasalnya, konteks mikro tidak dapat secara langsung dijadikan representasi dari kondisi makro.
Dalam kesempatan tersebut, Sekar juga menjelaskan bahwa prediksi pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Tiap ekonom bisa memiliki proyeksi berbeda, bahkan lembaga-lembaga internasional seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) pun kerap merevisi prediksi mereka seiring dengan munculnya data baru. Hal ini terjadi karena sifat kondisi ekonomi yang dinamis dan sulit diprediksi, terlebih lagi saat terjadi krisis. Pola ekonomi yang terus berubah inilah yang menjadikan prediksi makroekonomi sulit dilakukan.
Dalam melihat kondisi makroekonomi Indonesia, terdapat beberapa indikator penting yang dapat digunakan. Pertama dapat dilihat dari angka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Pola pertumbuhan sektor penyumbang PDB dapat digunakan untuk mengetahui sektor mana yang sedang berkembang atau mengalami penurunan. Sebagai contoh, ia menyoroti angka pembentukan modal tetap bruto (gross capital formation) Indonesia yang rendah akibat menurunnya investasi publik sebagai dampak efisiensi anggaran. Di sisi lain, pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang material diklasifikasikan sebagai government expenditure.
Inflasi juga menjadi indikator penting dalam membaca kondisi ekonomi. Namun, masih terdapat banyak kesalahan dalam memahami inflasi, karena tidak semua kenaikan harga merupakan inflasi. Inflasi tercermin dari kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencakup keseluruhan barang dan jasa, bukan hanya satu komoditas. Sekar mencontohkan bagaimana inflasi dapat merefleksikan situasi krisis. Pada masa pandemi Covid-19 di tahun 2020, inflasi tercatat rendah karena daya beli masyarakat yang melemah akibat adanya pembatasan aktivitas, bukan karena penurunan dari sisi penawaran. Hal ini mencerminkan bagaimana inflasi dapat merepresentasikan fenomena ekonomi yang sedang berlangsung.
Terakhir, nilai tukar (exchange rate) menjadi indikator lain dalam membaca kondisi makroekonomi. Sebab, sentimen publik terhadap pemerintah akan sangat mempengaruhi nilai tukar. Menanggapi pelemahan rupiah tahun ini, Sekar menyoroti kebijakan Bank Indonesia (BI) yang memilih tidak menaikkan suku bunga, melainkan menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk investor non-perbankan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan meningkatkan arus modal masuk (capital inflow).
Menutup sesi, Sekar menegaskan pentingnya peran jurnalis dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi persepsi masyarakat. Oleh karena itu, ia mengajak para jurnalis untuk lebih cermat dalam menyajikan informasi ekonomi, terutama dalam pemilihan judul berita agar tidak menyesatkan pembaca dan tetap menjaga akurasi informasi.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals