Gagasan tentang kota cerdas selama ini identik dengan teknologi seperti kecerdasan buatan, big data analytics, dan digitalisasi layanan publik. Namun bagi Prof. Wakhid Slamet Ciptono, M.B.A., M.P.M., M.P.U., Ph.D., teknologi saja tidaklah cukup. Kota boleh pintar namun tanpa kebijaksanaan, ia berpotensi kehilangan ruh kemanusiaannya.
Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini tertantang mengembangkan riset bertajuk “Smart and Wise City”. Riset ini berawal dari mahasiswa bimbingannya di Program Studi Magister Sains Manajemen FEB UGM, Tri Wahyuningsih yang mengkaji pembangunan kota cerdas di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melalui pendekatan kualitatif.
Wakhid menilai konsep smart city yang berkembang saat ini perlu dilengkapi dengan dimensi lain yang lebih mendasar yaitu soal adab, etika, dan kearifan lokal. Dari sinilah konsep Smart and Wise City dirumuskan. Sebuah gagasan kota cerdas yang sekaligus arif dan bijaksana.
“Revolusi Industri 5.0 melahirkan masyarakat berpengetahuan (knowledge society), namun tanpa diimbangi dimensi adab, kemajuan tersebut berpotensi menimbulkan masalah sosial baru,” paparnya.
Riset ini melibatkan Prof. Joe Ravets dari The University of Manchester yang dikenal luas sebagai konsultan pengembangan kota berkelanjutan. Ia juga penulis dari buku Smart and Wise City yang menjadi rujukan utama penelitian ini.
Wakhid menjelasan DIY dipilih menjadi lokasi penelitian karena karakter Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, sekaligus miniatur Indonesia. Penelitian dilakukan melalui wawancara dengan 29 narasumber meliputi Wakil Gubernur, Wali Kota, Kepala Bappeda, hingga tokoh masyarakat. Riset ini menggali bagaimana nilai-nilai lokal dapat mendampingi pembangunan kota cerdas.
“Yogyakarta memiliki nilai-nilai lokal sebagai intangible assets yang kuat untuk menopang konsep wise city,” jelasnya.
Hasil wawancara menunjukkan dukungan luas dari para pemangku kepentingan agar konsep smart city yang sudah dirancang pemerintah daerah diperluas menjadi smart and wise city. Jika diwujudkan, Jogja berpotensi menjadi kota pertama di Indonesia yang mengimplementasikan konsep ini secara utuh.
“Apabila ini dapat diwujudkan, membuktikan bahwa konsep smart and wise city bisa muncul dari negara berkembang,” ucapnya.
Perjalanan riset ini tidak selalu mulus. Naskah awal sempat ditolak jurnal Q1. Namun penolakan itu justru menjadi pemantik refleksi dan penguatan gagasan. Ia pun mencoba memasukan riset tersebut dalam ajang kompetisi UGM. Hasilnya, riset tersebut justru menerima penghargaan dalam Anugerah Insan Berprestasi UGM 2025 kategori Penelitian Kolaboratif Tema Ketangguhan Sosial Budaya Masyarakat. Ketika kemudian riset ini diakui melalui Insan Berprestasi UGM 2025.
“Riset ini pernah ditolak dalam Jurnal Q1, lalu saya ajukan di UGM. Tidak berharap meraih penghargaan. Harapannya sederhana saja ada respon dari UGM terkait konsep smart and wise city,” ucapnya sembari menjelasan ke depan manuskrip yang telah ditambahkan data empirikal kualitatif seperti masukan editor jurnal Q1 sebelumnya akan dikirim kembali tahun 2026..
Menutup perbincangan, Wakhid mendorong dosen dan peneliti muda FEB UGM untuk berani melampaui batas keilmuan yang selama ini digeluti. Menurutnya, banyak gagasan cemerlang lahir ketika akademisi keluar dari zona nyaman dan membuka diri pada kolaborasi lintas disiplin.
“Pendekatan business as usual tidak lagi cukup untuk menjawab tantangan pembangunan jangka panjang. Riset yang berorientasi ke depan dan berdampak sosial menjadi kebutuhan strategis dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045,” pungkasnya.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum




