Siap Hadapi CAFTA, Potensi Ekspor Indonesia ke China Lebih Tinggi
- Detail
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3761
Yogya (KU) – Indonesia siap menghadapi China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Hal itu disebabkan potensi ekspor Indonesia ke China lebih tinggi daripada ekspor China ke Indonesia. Apabila Indonesia tidak mengikuti CAFTA dengan China, pasar Indonesia justru terancam oleh ekspansi produk dari ASEAN yang mendapatkan keuntungan atas tersedianya bahan baku produk China yang lebih murah.
"Potensi kenaikan ekspor Indonesia ke China masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan ekspor China ke Indonesia,"kata staf Deputi Bidang Pengembangan dan Rekstrukturisasi Usaha, Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Djunaedi, mewakili Menteri Negara Koperasi dan UKM RI, Dr. Sjarifudin Hasan, M.M. M.B.A., yang berhalangan hadir dalam Seminar Nasional "Ekonomi Islam dalam Tantangan Perdagangan Bebas". Seminar digelar di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (30/3).
Disampaikan Djunaedi, ada tiga langkah yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka penanggulangan dampak CAFTA. Pertama, mengembangkan pasar domestik melalui pencegahan impor di perbatasan dan pasar. “Melalui tindakan penertiban pelaku impor dan pengawasan di pelabuhan. Pengawasan awal dengan karantina diperketat, pengawasan HKI dan SNI, pengawasan pelabelan penggunaan bahasa Indonesia dan pengawasan produk-produk inovasi,” terangnya.
Langkah kedua yang akan dikerjakan adalah melakukan peningkatan daya saing produk UMKM. Terakhir, yang ketiga, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dengan cara promosi dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Disebutkan Djunaedi bahwa ada beberapa jenis produk ekspor yang paling dirugikan sebagai dampak CAFTA, di antaranya produk kulit, metal, manufaktur, pakaian jadi, gandum, gula, tebu, padi, beras diproses, dan alat mesin panen. Oleh karena itu, Kementerian Koperasi dan UKM akan mengembangkan pusat inovasi untuk pengembangan produk yang berorientasi ekspor.
Djunaedi mencontohkan Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga di dunia. Setiap tahun, negara ini menghasilkan produksi kakao sebanyak 550 ribu ton. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sepertiga yang dapat diproses menjadi produk. Sementara itu, Malaysia dan Singapura yang memiliki 300 dan 100 ribu ton dapat mengolah semua menjadi produk. Adanya orientasi ekspor bahan mentah kakao inilah yang menyebabkan petani kakao dalam negeri dirugikan oleh para pedagang.
"Kakao yang mahal harganya justru yang sudah difermentasi. Namun, para petani kita sering ditipu pedagang yang menerangkan ke petani jika kakao hasil fermentasi atau tidak harganya tetap sama. Namun, setelah kita cek ke pabriknya langsung, ternyata ada perbedaan harga 5 ribu hingga 10 ribu per kilo," imbuhnya.
Dr. Tri Widodo, staf pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, selaku pembicara dalam seminar tersebut mengemukakan Indonesia saat ini menempati posisi kedua di Asia setelah China untuk kategori industri yang memiliki pekerja dengan tenaga tidak terdidik terbesar. "Kita berada nomor dua setelah China. Diikuti selanjutnya Thailand, sedangkan untuk industri dengan tenaga terdidik dikuasai oleh Jepang dan Korea," pungkasnya.
Sumber: www.ugm.ac.id