
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) telah membuat banyak generasi muda terjun ke dunia investasi tanpa perencanaan yang matang. Alih-alih mendapatkan keuntungan, banyak dari mereka justru merugi karena keputusan yang gegabah. Apa yang sebenarnya perlu dipahami sebelum memulai investasi, termasuk kripto yang saat ini menjadi salah satu henis investasi yang saat ini digandrungi anak muda.
Data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) mencatat sekitar 60 persen investor kripto di Indonesia berasal dari kalangan usia 18-30 tahun. Tingginya angka ini tentu mencerminkan antusiasme generasi muda terhadap investasi di aset digital. Namun, hal tersebut bukan berarti investasi kripto bebas dari risiko. Sebagai seorang investor, penting untuk memahami potensi keuntungan dan juga resiko yang melekat dalam investasi jenis ini.
Dalam Podcast “Financial Freedom 101: Hindari FOMO! Strategi Cuan Aman dari Kripto” di kanal YouTube FEB UGM, Nofie Iman Vidya Kemal, S.E., M.Sc., Ph.D., Dosen Departemen Manajemen FEB UGM sekaligus peneliti di bidang keuangan dan investasi, mengupas tuntas mengenai mata uang kripto serta tips bagi mahasiswa yang ingin mulai berinvestasi di kripto agar tidak terjebak dalam keputusan investasi yang salah.
Apa itu Mata Uang Kripto?
Nofie menjelaskan mata uang kripto (cryptocurrency) adalah mata uang digital terdesentralisasi yang tidak memiliki pusat kendali (central point) atau otoritas yang mengatur peredarannya. Kripto beroperasi melalui protokol teknologi blockchain yang dijalankan dengan sistem kriptografi untuk menjamin keamanan dan kelancaran transaksinya. Sebagai mata uang, kripto juga dapat berfungsi sebagai aset investasi, asalkan memenuhi beberapa syarat, seperti memiliki nilai guna, dapat dimiliki, dapat dikonversi atau ditukarkan, serta memiliki potensi manfaat ekonomi.
Meskipun begitu, lanjut Nofie, di Indonesia kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Pemerintah melalui BAPPEBTI hanya mengawasi peredarannya saja. Sementara itu, di negara lain, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, kripto bahkan dapat dikategorikan sebagai sekuritas atau aset keuangan digital.
“Pada kripto, kepercayaan diletakkan pada teknologi protokol blockchain dan kriptografi sehingga menimbulkan paradoks. Di satu sisi, untuk menjadi besar maka mata uang kripto ini memerlukan dukungan regulasi dari pemerintah, tetapi di sisi lain, pemerintah pasti tidak ingin mata uang rupiah bersanding dengan bitcoin atau kripto yang peredarannya tidak dapat diatur,” paparnya.
Kripto memiliki beberapa aset yang cukup beragam, seperti Bitcoin (kripto pertama yang dikenalkan ke publik), altcoin atau alternative coin (Ethereum, Solana, Monero), stablecoin (kripto yang nilainya dipatok terhadap mata uang fiat), NFT (sertifikat digital atas aset unik), DeFi (Decentralized Finance), dan integrasi kripto dengan metaverse (kripto yang digunakan untuk transaksi di dunia virtual). Namun, Novi tidak menyarankan untuk berinvestasi di metaverse karena adopsinya belum begitu luas dan nilai gunanya belum jelas seperti aset-aset kripto lainnya.
Cara Menghasilkan Uang dari Kripto
Lantas bagaimana cara menghasilkan uang dari kripto? Nofie menjelaskan terdapat beberapa cara untuk menghasilkan uang dari kripto. Pertama adalah melakukan penampangan (mining) melalui proses verifikasi blockchain. Sayangnya, belakangan ini penambangan menjadi semakin tidak ekonomis karena tingginya biaya listrik dan meningkatnya persaingan dari perusahaan tambang besar.
Kedua adalah dengan trading dan scalping. Trading dilakukan dengan membeli kripto saat harga rendah dan menjualnya saat harga tinggi, sementara scalping dilakukan dengan melakukan trading cepat dengan margin kecil yang mengandalkan volume transaksi. Baik trading maupun scalping sama-sama membutuhkan analisis pasar dan disiplin yang tinggi.
Ketiga adalah staking atau menyimpan kripto dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh imbal hasil pasif. Keempat yaitu Yield DeFi (Decentralized Finance) yang mirip seperti bank digital, yaitu dengan meminjamkan kripto kepada orang lain dengan imbal balik return yang lebih tinggi. Namun, metode ini memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan staking.
Kelima, yaitu mengikuti strategi Follow the Whale, yaitu mengikuti arah “Whale” atau investor besar seperti fund manager, hedge fund, investment bank, atau perusahaan besar. Keenam, yaitu arbitrase atau memanfaatkan selisih harga antar-exchange, yaitu membeli di exchange yang murah dan menjual di exchange yang mahal. Akan tetapi, karena harga bergerak sangat cepat, biasanya dalam melakukan arbitrase akan dibantu oleh bot atau script otomatis.
Ketujuh, yaitu berinvestasi di ICO (Initial Coin Offering) atau IDO (Initial Dex Offering). Membaca whitepaper, mengenali tim pengembang, dan memahami tujuan proyek sangat penting untuk menghindari jebakan proyek bodong. Kedelapan, NFT juga membuka peluang keuntungan melalui flipping atau jual beli NFT bernilai unik, terutama jika investor memiliki pemahaman pasar yang baik atau bahkan memiliki pengaruh besar di media sosial (influencer).
Risiko Investasi Kripto
Nofie menyebutkan investasi kripto memiliki berbagai risiko seperti jenis investasi lainnya. Secara internal, risiko dapat muncul dari faktor psikologi, seperti FOMO, bias personal, atau rasa terlalu percaya diri, yang dapat berdampak pada keputusan investasi. Terdapat juga risiko likuiditas yang membuat kripto sulit dicairkan, serta risiko penipuan karena siapapun bisa menciptakan token baru tanpa jaminan fundamental yang jelas.
Sementara secara eksternal, risiko dapat berasal dari faktor sistemik, seperti pandemi Covid 19, krisis global, dan bencana alam. Selain itu, risiko geopolitik dan regulasi dari pemerintah negara masing-masing juga dapat menjadi penghalang, seperti China yang pernah beberapa kali melarang peredaran kripto. Serta risiko inflasi yang terkadang datang tanpa diduga-duga.
Tips Bagi Mahasiswa yang Tertarik Investasi Kripto
Terakhir, Nofie memberikan beberapa tips bagi mahasiswa yang tertarik untuk mulai terjun ke dunia kripto. Langkah pertama adalah memahami produk investasi yang dipilih. Kemudian, penting untuk memahami dan mengendalikan diri sendiri agar tidak terbawa arus FOMO atau bias dalam membuat keputusan investasi. Mahasiswa juga perlu memiliki keunggulan kompetitif, entah itu melalui wawasan teknis, jaringan yang kuat, atau pengalaman dalam komunitas serupa.
Dalam praktiknya, bisa dengan memulai dari hal yang sederhana. Langkah awal dengan mencoba scalping, lalu perlahan masuk ke trading, dan lanjutkan ke investasi jangka panjang. Setelah merasa cukup percaya diri, mahasiswa bisa mencoba instrumen yang lebih kompleks seperti DeFi, staking, atau NFT.
“Ketika menjadi mahasiswa, kita punya kesempatan eksplorasi yang besar karena mungkin belum punya banyak tuntutan. Oleh karena itu, manfaatkan sebaik mungkin waktu, energi, dan fleksibilitas yang kita miliki, serta terus belajar dari kesalahan yang ada. Setiap orang punya jalannya masing-masing, jadi tidak harus selalu investasi di kripto semua,” pungkasnya.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals