
Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan/EQUITAS (Equitable Transformation for Alleviating Poverty and Inequality) bekerja sama dengan Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) menggelar diskusi publik bertajuk Tujuh Desakan Darurat Ekonomi pada Jum’at (19/9/2025) di FEB UGM. Diskusi ini diselenggarakan untuk membahas berbagai upaya strategis dalam menghadapi kondisi perekonomian nasional yang kian kompleks.
Ekonom sekaligus dosen FEB UI, Rizki Nauli Siregar, Ph.D., menyebutkan bahwa tujuh desakan darurat ekonomi ini disampaikan karena keprihatinan akan kondisi bangsa saat ini dengan ketimpangan sosial di masyarakat kelas menengah-bawah yang kian meningkat. Meskipun pertumbuhan ekonomi sejak 2022 stabil di sekitar 5 persen, kualitas dan inklusivitas pertumbuhannya justru semakin menurun. Upah riil cenderung stagnan dan hanya naik tipis sebesar 1,2 persen, sementara penciptaan lapangan kerja berkualitas pun terus menyusut. Tercatat, sejak 2018, 80 persen pekerjaan baru muncul di sektor berbasis rumah tangga (home-based enterprises) yang memiliki rata-rata upah di bawah nasional. Akibatnya, peningkatan kesejahteraan kelas menengah-bawah pun stagnan, sedangkan kelas atas justru tumbuh semakin cepat. Masalah lain yang tak kalah serius, seperti pungutan liar, maraknya judi online yang memperburuk ekonomi kelompok rentan, hingga berbagai pelanggaran terhadap pemenuhan hak warga negara, juga semakin memperburuk ketimpangan yang ada.
Ia mengatakan kondisi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil akumulasi dari berbagai proses bernegara yang kurang amanah sehingga mengakibatkan ketidakadilan di masyarakat.
“Kami sebagai ekonom merasa memiliki tanggung jawab bersama untuk menyuarakan amanah dari rakyat,” ujar Rizki.
Menjawab persoalan tersebut, para ekonom di Indonesia merumuskan tujuh desakan utama. Pertama, memperbaiki tata kelola anggaran secara wajar dan proporsional. Kedua, mengembalikan independensi, transparansi, serta fungsi dari berbagai institusi negara. Ketiga, menghentikan dominasi negara yang menekan ekonomi lokal. Keempat, memangkas birokrasi yang menghambat investasi. Kelima, memprioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan. Keenam, menghidupkan kembali proses kebijakan berbasis bukti. Ketujuh, memperkuat kualitas institusi untuk membangun kepercayaan publik dan demokrasi yang sehat.
Ekonom dan Dosen Prodi Ilmu Ekonomi FEB UGM, Elan Satriawan, Ph.D., menegaskan bahwa tujuh desakan darurat ekonomi bukanlah rekomendasi teknis yang siap dijalankan, melainkan sebuah gerakan dorongan untuk perubahan. Ia menjelaskan bahwa ada sejumlah persoalan yang berada di luar kapasitas para ekonom dan memerlukan kolaborasi dengan lembaga pemerintah yang lebih memahami kondisi di lapangan. Kendati demikian, isu-isu yang diangkat, seperti kurangnya independensi lembaga negara, terbukti memberi dampak langsung pada laju pertumbuhan ekonomi.
“Masalah institusi ini sebenarnya adalah instrumen penting dalam memajukan perekonomian. Harapannya, pemerintah dapat mendengar desakan ini dan segera bergerak. Setelah itu, barulah kami bisa bergabung dan berkolaborasi untuk merumuskan rekomendasi yang lebih konkret,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pada masa pemerintahan baru yang bahkan belum genap setahun berjalan, masih terdapat harapan besar untuk mendorong kemajuan. Menurutnya, meski permasalahan ini tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat, memulainya sejak periode pemerintahan sekarang akan membuat hasil perbaikan dapat terlihat dalam beberapa tahun mendatang.
Sementara itu, Dosen Prodi Ilmu Ekonomi FEB UGM, Sekar Utami Setiastuti, Ph.D., menyoroti stagnasi rasio pajak Indonesia. Menurutnya, kondisi ini dipengaruhi oleh ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan sektor yang dapat dipajaki, terutama karena dominasi sektor informal dalam perekonomian nasional. Selain itu, banyaknya insentif pajak yang diberikan untuk menarik investasi justru semakin memperbesar beban pengeluaran negara. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya strategi jangka panjang agar penerimaan negara dapat tumbuh seiring dengan meningkatnya belanja pemerintah.
Pada salah satu poin desakan terkait transparansi kelembagaan, Dosen Prodi Ilmu Ekonomi FEB UGM, Gumilang Aryo Sahadewo, Ph.D., mengangkat masalah ketidakjelasan dalam prediksi ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal lalu. Ia menilai, hasil prediksi tersebut berbeda cukup jauh dibandingkan kuartal sebelumnya. Padahal, biasanya, proyeksi yang dilakukan oleh lembaga maupun para ekonom relatif sejalan dengan angka yang dikeluarkan oleh BPS.
“Yang menarik adalah perbedaan prediksi di kuartal kemarin dibandingkan kuartal sebelumnya. Biasanya, lembaga dan rekan-rekan ekonom memiliki perkiraan yang tidak jauh berbeda dari BPS. Jadi, apakah ada indikator baru yang tidak disampaikan sebelumnya hingga hasilnya berbeda, itu masih belum jelas,” ungkap Gumilang.
Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., Koordinator Bidang Kajian EQUITAS FEB UGM menegaskan bahwa desakan ini merupakan hasil konsolidasi 415 anggota AEI serta dukungan dari 241 non-ekonom. Dengan forum seperti ini, mereka berharap semakin banyak pihak yang bersimpati dan ikut mendukung desakan tersebut. Adapun dukungan terbuka dapat disampaikan melalui bit.ly/dukungdesakandaruratekon.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals