fbpixel

EB News

Dampak Kejahatan

Setiap kejahatan pada umumnya hanya menguntungkan pelaku kejahatan, namun menciptakan beban terhadap korban, pemerintah, sektor usaha dan juga masyarakat. Jika terjadi penodongan dan perampasan uang, misalnya, maka terjadi 'semacam subsidi' dalam bentuk aliran dana dari korban penodongan kepada pelaku penodongan. Secara finansial, korban penodongan kehilangan uang Rp500.000 dan si penodong mendapatkan hasil kejahatan Rp500.000. Jika kedua nilai uang ditambahkan hasilnya adalah Rp0 atau tidak terjadi perubahan kesejahteraan di masyarakat.

Namun demikian, masalah tidak berhenti sampai di sini. Korban penodongan mungkin akan menderita stress dan memerlukan perawatan psikologis. Jika masyarakat melaporkan penodongan tersebut kepada polisi, tentu saja polisi akan melakukan penyelidikan, dan jika si pelaku tertangkap akan menuntut ke pengadilan. Jika pelaku dihukum penjara, misalnya, maka timbul biaya untuk memenjarakan si pelaku. Ketika penodongan terjadi di pusat keramaian, pasti hal ini akan menyebabkan masyarakat takut (fear of crime) dan berusaha menghindari kawasan tersebut. Hal ini dapat berdampak negative pada kondisi usaha di daerah sekitar lokasi penodongan. Jika semua manfaat dan biaya tersebut dijumlahkan, maka nilai biaya tentu jauh lebih besar daripada manfaat, dan total biaya inilah yang disebut dengan biaya sosial kejahatan.

Di negara maju, perhitungan biaya sosial kejahatan dilakukan untuk berbagai jenis kejahatan (lihat antara lain Loomes, dkk 1999, Brand and Price, 2000, McDougall dkk, 2003, Dubough dan Hamed, 2005). Salah satu fungsi penghitungan biaya ini adalah untuk keperluan evaluasi kebijakan. Di negara-negara maju, adalah jamak melakukan berbagai inovasi terkait program-program penanganan dan pencegahan kejahatan. Sebelum program-program tersebut diterapkan secara nasional, umumnya dilakukan program percobaan (pilot project) terlebih dahulu. Biaya sosial kejahatan sangat bermanfaat untuk analisis manfaat-biaya berbagai program percobaan tersebut. Jika suatu program mampu menurunkan angka kejahatan tertentu di suatu kawasan sebesar 100 kasus pada tahun tertentu, misalnya, dan rata-rata biaya sosial kejahatan tersebut adalah Rp300 juta, maka manfaat dari program tersebut adalah Rp30 miliar. Bagaimana manfaatbiaya dari program tersebut, kita tinggal membandingkannya dengan biaya pelaksanaan program.

Biaya Sosial Kejahatan

Secara umum, kejahatan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis: a) kejahatan melawan individu/rumah tangga; b) kejahatan melawan dunia usaha; dan c) kejahatan melawan pemerintah. Pencopetan atau penodongan dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan melawan individu/rumah tangga. Praktik bajing luncat dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan melawan dunia usaha. Perusakan fasilitas umum dapat dikategorikan sebagai kejahatan melawan pemerintah. Kerusuhan dan holigamisne, misalnya, adalah kejahatan multidimensi, karena berpotensi melawan individu/rumah tangga, dunia usaha dan pemerintah (fasilitas umum).

Perlu dicatat bahwa estimasi biaya sosial kejahatan tidak saja menghitung kejahatan tercatat (recorded crime), atau yang dilaporkan dan ditangani penegak hukum, namun juga menghitung kejahatan yang tidak tercatat (unrecorded crime). Upaya untuk mengestimasi jumlah kejahatan yang tidak tercatat dapat dilakukan melalui survei, baik kepada rumah tangga, dunia usaha maupun pemerintah.

Di Inggris, misalnya, setiap dua tahun sekali dilakukan survei kejahatan, yang dikenal dengan the British Crime Survey. Salah satu kelompok pertanyaan dalam survei ini menanyakan kepada individu/rumah tangga, apakah selama 12 bulan terakhir responden menjadi korban dari suatu tindak kejahatan. Hasil survei memungkinkan kita untuk membandingkan antara jumlah korban suatu kejahatan dan berapa proporsi korban tersebut yang melaporkan kepada penegak hukum. Perbandingan angka tersebut dapat digunakan untuk mengukur multiplier of offences. Angka multiplier ini membandingkan antara jumlah responden yang menjadi korban suatu kejahatan dengan proporsi korban yang melaporkan kejahatan kepada penegak hukum. Estimasi total kejahatan dilakukan dengan mengalikan angka multiplier ini dengan data statistik kejahatan dari kepolisian (recorded crime). Didasarkan pada estimasi jumlah kejahatan tersebut, biaya sosial kejahatan dihitung yang pada dasarnya terdiri dari tiga elemen: a) biaya antisipasi terhadap kejahatan, b) biaya akibat kejahatan, dan c) biaya reaksi terhadap kejahatan (Brand and Price, 2000).

Estimasi Biaya Kejahatan Terorganisir di Indonesia

Estimasi biaya sosial kejahatan di negara maju masih terbatas pada jenis-jenis kejahatan konvensional, misalnya pencurian, perampokan, pencurian mobil, pencurian dari mobil, dll. Biaya kejahatan terorganisir, misalnya perampasan lahan (land grabbing), pencurian ikan, korupsi hingga pembalakan liar, belum banyak dilakukan. Permasalahan kejahatan terorganisir cenderung lebih marak terjadi di negara berkembang daripada di negara maju. Aspek kelembagaan di negara berkembang cenderung tidak sebaik di negara maju, sehingga tidak mengherankan kejahatan terorganisir di atas cenderung lebih marak di negara berkembang. Kebutuhan mengestimasi biaya sosial kejahatan terorganisir sangat mendesak dilakukan di Indonesia. Kejahatan terorganisir tersebar di berbagai sektor dan ilustrasi berikut menggambarkan intesitas masalah yang dihadapi di Indonesia. Kasus konflik lahan, yang pada dasarnya banyak diwarnai oleh praktik perampasan lahan, marak di Indonesia. Selama periode 2004-2014 tercatat 1.391 kasus konflik lahan di wilayah seluas 5.711.396 Ha yang melibatkan 926.700 KK1. Di tahun 2016, terjadi 450 konflik pertanahan di wilayah seluas 1.265.027 Ha dan melibatkan 86.745 KK2.

Di bidang perikanan tangkap, pencurian ikan adalah masalah serius yang terjadi di kawasan laut di Indonesia. Potensi PDB sektor kelautan di tahun 2012 mencapai Rp 72,02 triliun namun hal ini tidak sebanding dengan nilai pajak dan PBNP di sektor tersebut yang berturut-turut adalah Rp54,38 miliar (0,07%) dan Rp229,35 milliar (0,3%) (KPK, 2014). Hal ini tidak terlepas dari maraknya praktik pencurian ikan di wilayah laut Indonesia, sehingga potensi laut yang demikian besar tidak sebanding dengan sumbangan terhadap penerimaan pemerintah.

Di bidang penanggulangan korupsi, nilai kerugian negara akibat korupsi selama periode 2002-2015 adalah Rp203,9 triliun (harga 2015), meskipun nilai hukuman finansial3 yang dijatuhkan pengadilan (inkracht) hanya Rp 21.26 triliun (Pradiptyo, Partohap dan Pramashavira, 2016). Eksplorasi lebih lanjut menunjukkan bahwa 59% dari nilai kerugian negara akibat korupsi dilakukan oleh korupsi korporasi swasta (Pradiptyo, Wibisana dan Wigita, 2018). 

Upaya untuk mengukur biaya sosial kejahatan terorganisir tersebut masih terbatas dilakukan di Indonesia. Hasil kajian KPK (2013) menunjukkan bahwa biaya sosial korupsi minimum adalah 2,5 kali lipat dari kerugian keuangan negara akibat korupsi. Hasil kajian Zakaria (2018) menunjukkan terjadinya penurunan pendapatan rumah tangga sekitar 36,79% dibandingkan dengan tingkat pendapatan sebelum konflik lahan sawit terjadi. Sementara itu beban perusahaan akibat konflik lahan menyebabkan peningkatan biaya operasional perusahaan sawit antara 51%-88% dan 102%-177% dari biaya investasi per hektar per tahun (Daemeter Consultant, 2017). Hingga saat ini belum diketahui berapa peningkatan beban pemerintah akibat konflik lahan sawit.

Mengingat maraknya kejahatan teroganisir di Indonesia, kebutuhan untuk melakukan estimasi biaya sosial kejahatan terorganisir sangat mendesak untuk dilakukan. Hasil estimasi tersebut akan membantu pemerintah dalam mengevaluasi dampak berbagai program penindakan dan pencegahan kejahatan terorganisir. Pekerjaan rumah di bidang ini masih banyak dan diperlukan sinergi antar para pakar di berbagai bidang untuk mengestimasi biaya sosial kejahatan terorganisir yang terjadi di berbagai sektor.

Referensi

1Lihat, Siaran Pers Komnas HAM, KPA dan WALHI, (2014) dalam Zakaria dkk (2018).
2Lihat KPA, (2017), dalam Zakaria, (2018).
3Hukuman finansial terdiri dari denda, uang pengganti dan aset finansial yang dirampas pengadilan sebagai barang bukti. Aset non finansial tidak dimasukkan ke dalam estimasi, mengingat tidak ada informasi mengenai konversi nilai aset tersebut ke nilai finansialnya.

---

Artikel Dosen: Mengukur Biaya Sosial Kejahatan Terorganisir
Dimuat pada majalah EB NEWS Edisi 30 Tahun 2019