
Krisis iklim global telah mendorong perubahan besar dalam berbagai bidang, termasuk akuntansi. Peneliti di bidang akuntansi berkelanjutan dan tata kelola dari Universiti Selangor, Prof. Dr. Susela Devi K Suppiah menyebutkan krisis iklim global menuntut bentuk akuntabilitas baru. Laporan akuntansi yang dilakukan selama ini masih sering kali gagal membangun keterlibatan emosional.
“Melalui angka-angka dalam laporan, akuntansi dapat mengungkap emisi yang berhasil dicegah, sumber daya yang dilindungi, hingga risiko yang berhasil diminimalkan. Di sinilah pentingnya siapa yang berperan untuk menceritakan dan bagaimana narasi itu disampaikan. Ini juga menjadi faktor penentuan arah kebijakan dan prioritas iklim di masa depan,” ungkap Susela, Kamis (25/06/2025) saat menjadi pembicara kunci dalam konferensi internasional 4th Biennial Emerging Scholars Colloquium and Conference on Accounting and Accountability in Emerging Economies (AAEE) yang berlangsung di Sanur Prama Sanur Beach Hotel, Bali.
Menyampaikan pemaparan yang bertajuk “Accounting Beyond Numbers: Climate Storytelling and Popular Culture as Critical Frontiers in Accounting Research”, Susela menjelaskan bahwa laporan ESG (Environmental, Social, and Governance) dan keberlanjutan tidak hanya cukup informatif, namun juga menyentuh emosional. Melalui pendekatan climate storytelling accounting, ia menunjukkan bagaimana melalui narasi dan budaya populer dapat membumikan isu-isu lingkungan dalam laporan keberlanjutan dan ESG.
“Melalui cerita seperti film, lagu, dan media sosial dapat menyampaikan isu iklim dengan lebih menarik dan menggugah perasaan. Visualisasi dan narasi yang kuat dapat memperkuat pesan dalam laporan akuntansi dan meningkatkan kesadaran publik terhadap isu keberlanjutan. Misalnya, film seperti Don’t Look Up dan Erin Brockovich menyoroti pentingnya akuntabilitas perusahaan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa akuntansi tidak lagi dapat dipandang sebagai praktik teknis semata. Akuntansi telah menjadi bagian dari proses penciptaan makna budaya yang membentuk realitas dan menetapkan nilai.
“Akuntansi berfungsi sebagai infrastruktur naratif yang artinya membentuk apa yang terlihat, apa yang dianggap penting, dan nilai yang dapat dipercaya. Dalam konteks krisis iklim, akuntansi juga berperan sebagai bahasa keberlanjutan, kompas yang menavigasi risiko iklim, dan arsip atas tanggung jawab kolektif manusia terhadap planet ini,” tambahnya.
Lebih lanjut, Susela menjelaskan bahwa keberadaan akuntansi harus diposisikan ulang dari sekadar alat pencatatan menjadi agen akuntabilitas ekologis. Paradigma lama terkait akuntansi yang hanya berfokus pada keuangan dan keuntungan harus digantikan oleh narasi yang baru dengan mengedepankan akuntabilitas dampak lingkungan, keadilan antar generasi, serta perhitungan biaya karbon.
Susela menyebutkan peran akuntansi sebagai infrastruktur iklim dapat dilakukan melalui beberapa praktik. Beberapa praktik yang dapat dilakukan antara lain akuntansi karbon untuk melacak emosi, pelaporan keberlanjutan untuk membingkai apa yang dinilai berharga oleh organisasi, dan pengungkapan ESG untuk mengarahkan aliran investasi.
“Pada akhirnya, praktik akuntansi akan menentukan bagaimana kita akan mengukur, membayangkan, dan bertindak terhadap masa depan iklim,” imbuhnya.
Menutup paparannya, Susela menyoroti berbagai implikasi penting di dunia akademik dan praktik profesional untuk mulai mengeksplorasi melalui pendekatan interdisipliner yang lebih terbuka. Selain itu juga bagaimana menyampaikan laporan serta data akuntansi dengan kesadaran budaya, dan memanfaatkan media populer sebagai alat pengajaran yang relevan dengan perkembangan zaman.
“Pendekatan climate storytelling ini bukan hanya dapat memperkaya praktik akuntansi, namun juga mendorong refleksi kritis dan menjadi kunci untuk merespons tantangan lingkungan global saat ini,” pungkasnya.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals