
Akuntabilitas sering disalahartikan sebagai upaya mencari pihak yang bisa disalahkan ketika hasil tidak sesuai harapan. Padahal, esensi akuntabilitas jauh lebih luas, bukan soal kesalahan, melainkan bagaimana tanggung jawab dijalankan.
Hal tersebut disampaikan oleh Christopher J. Napier, Profesor Emeritus di bidang Akuntansi di Royal Holloway, Universitas London, Jumat 27 Juni 2025 dalam konferensi internasional 4th Biennial Emerging Scholars Colloquium and Conference on Accounting and Accountability in Emerging Economies (AAEE). Dalam konferensi yang berlangsung di Sanur Prama Sanur Beach Hotel, Bali ini Napier mengajak peserta untuk menyelami makna dan evolusi akuntabilitas dari sudut pandang yang berbeda dalam pemaparannya yang bertajuk “Perspectives on Accountability: Religious, Political and Economic”.
Napier menyampaikan bahwa konsep akuntabilitas terus berkembang. Awalnya, akuntabilitas dimaknai sebagai kewajiban atau tanggung jawab untuk memberikan laporan atau pertanggungjawaban atas tindakan yang menjadi tanggung jawab seseorang. Laporan ini tidak selalu berkaitan dengan aspek keuangan. Sementara dalam pendekatan modern akuntabilitas terjadi ketika pengambil keputusan memiliki kewajiban atau secara faktual terdorong untuk memberikan pertanggungjawaban. Dalam konteks ini pihak yang terdampak oleh keputusan tersebut memiliki hak atau secara faktual mampu menuntut pertanggungjawaban atas tindakan atau kelalaian pengambil keputusan.
Lebih lanjut Napier mengatakan bahwa akuntabilitas bukan sekadar pelaporan, tetapi pelaporan yang harus membawa konsekuensi, baik berupa penghargaan maupun hukuman bagi pihak yang bertanggung jawab. Dalam praktiknya, akuntabilitas sering dipersepsikan secara negatif sebagai bentuk hukuman, padahal seharusnya juga mencakup peluang untuk mendapatkan apresiasi atau penghargaan. Pandangan ini penting dalam menganalisis hubungan akuntabilitas, termasuk dalam konteks korporasi.
Ia mencontohkan penerapan akuntabilitas di ranah publik yang sering kali hadir sebagai bentuk tindakan konkret seseorang atau institusi yang dimintai pertanggungjawaban. Misalnya, kasus yang ramai dibicarakan di Inggris, seperti anggota parlemen yang lolos dari sanksi meski kinerjanya buruk, presenter TV Gregg Wallace yang mengundurkan diri setelah tuduhan pelecehan, dan perusahaan Fujitsu yang terlibat dalam skandal sistem komputer bermasalah.
“Menariknya, tiga kasus ini menyoroti satu hal yang sama yakni akuntabilitas identik dengan hukuman, bukan dengan penghargaan,” ujar Napier, Jum’at (27/06).
Napier menambahkan bahwa kecenderungan ini tercermin dalam penggunaan bahasa. Salah satunya yaitu penggunaan frasa ‘held accountable’ (dimintai pertanggungjawaban) yang lebih sering didengar karena publik ingin melihat adanya akibat nyata seperti pemecatan, hukuman, dan penggantian kerugian.
Berangkat dari kasus ini, Napier menelusuri akar religius dari konsep akuntabilitas dengan mengangkat referensi dari teks-teks suci. Ia menyebutkan bahwa kata “accountable” pertama kali tercatat dalam bahasa Inggris melalui puisi The Vision of Piers Plowman pada tahun 1380 yang berbunyi “Every rich man will be accountable to Christ” yang artinya “Setiap orang kaya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Kristus”.
Tak hanya itu, Napier turut mengulas paradoks dalam ajaran Katolik dan Kristen tentang surga, neraka. Untuk menjawab paradoks tentang pengampunan dosa, Gereja Katolik Roma mengembangkan doktrin api penyucian, di mana meskipun dosa diampuni melalui kematian Kristus, pembersihan dosa tetap diperlukan sebelum seseorang dapat masuk surga. Sebaliknya, beberapa aliran Protestan menolak doktrin ini dan justru mendorong para penganutnya untuk menjaga “catatan spiritual” sebagai bentuk kesadaran akuntabilitas di hadapan Tuhan.
Napier lalu menjelaskan akuntabilitas dari agama Islam dengan konsep ‘hisab’ yang berarti perhitungan atau pertanggungjawaban yang digambarkan secara kuantitatif. Ia menyebut hari penghitungan (Yawm al-Hisab) sebagai momen ketika semua amal dan niat manusia ditimbang secara adil dan catatan perbuatan diberikan sebagai hasil akhir.
Ia pun menyoroti tentang fenomena “accountability sinks” yaitu situasi di mana tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara nyata. Akuntabilitas sering dipandang negatif oleh pihak yang dimintai pertanggungjawaban karena dianggap berisiko menimbulkan kritik atau sanksi. Dalam organisasi modern, tanggung jawab individu sering dikaburkan melalui prosedur kaku atau keputusan yang diambil oleh algoritma, sehingga sulit menentukan siapa yang benar-benar bertanggung jawab.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals