
Dalam hidup, manusia tentu tidak lepas dari masa-masa sulit atau perasaan sedih. Namun, di tengah situasi tersebut, sering kali muncul tuntutan untuk menekan atau mengabaikan emosi negatif dan menggantikannya dengan pikiran, sikap, serta ekspresi positif dalam setiap keadaan. Tanpa disadari, kebiasaan menekan atau mengabaikan perasaan negatif ini justru bisa berdampak buruk terhadap kesehatan mental dalam jangka panjang. Kondisi ini dikenal dengan istilah toxic positivity.
Psikolog Career and Student Development Unit (CSDU), Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Anisa Yuliandri, S.Psi., M.Psi., Psikolog., menjelaskan toxic positivity merupakan sebuah sikap atau pandangan yang memaksakan kebahagiaan dan optimisme secara berlebihan, sekaligus menyangkal atau menolak emosi negatif yang muncul. Hal ini tidak hanya terjadi dalam diri sendiri, tetapi juga dapat tercermin saat seseorang memberikan respons terhadap perasaan orang lain. Kalimat-kalimat seperti “Lihat sisi positifnya” atau “Semua orang juga punya masalah” sering kali terdengar ringan dan berniat baik, tetapi justru bisa menjadi bentuk penyangkalan atas pengalaman emosional yang sedang dialami seseorang.
Anisa menyampaikan kebiasaan menekan perasaan negatif dan memaksakan diri untuk terus berpikiran positif ini dapat memperburuk kondisi mental. Sebab, perasaan negatif, seperti cemas, kecewa, atau lelah merupakan bagian alami dari kehidupan serta langkah awal menuju penyembuhan dan kesejahteraan mental.
“Toxic positivity berbeda dari optimisme. Optimisme memberikan ruang bagi penerimaan dan validasi emosi, sedangkan toxic positivity tidak memberikan ruang bagi pikiran untuk memproses emosi, melainkan langsung mengabaikan dan menolak emosi-emosi yang dianggap tidak positif,” paparnya.
Anisa menekankan pentingnya kehati-hatian saat memberikan dukungan atau motivasi kepada seseorang yang sedang menghadapi emosi negatif. Ia mengingatkan bahwa meskipun niat kita baik, cara dan waktu penyampaian yang kurang tepat justru bisa membuat pesan tersebut terkesan mengabaikan atau meremehkan perasaan mereka. Misalnya, ungkapan seperti “Jangan terlalu galau, coba pikirkan sisi positifnya” mungkin terdengar menenangkan, tetapi dapat memunculkan kesan seolah-olah kesedihan yang mereka alami tidak valid atau tidak penting.
Lebih lanjut lagi, Anisa menjelaskan soal menurut regulasi emosi. Menurut pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), menekan atau mengabaikan emosi negatif tanpa memprosesnya hanya akan memperkuat pola pikir tidak sehat, karena tidak memberikan ruang bagi individu untuk memahami dan mengelola emosinya secara sehat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan gangguan psikologis lainnya, seperti kecemasan berlebih, stres, depresi, hingga burnout.
Cara Menghadapi Toxic Positivity
Untuk menjaga kesehatan mental, Anisa mengatakan penting bagi seseorang untuk memberi ruang pada semua bentuk perasaan yang muncul, baik itu perasaan negatif maupun positif. Sebab, menerima bahwa emosi negatif adalah bagian dari kehidupan manusia merupakan langkah awal yang sehat menuju pemulihan.
Selain itu, mengelola stres melalui mindfulness seperti meditasi, pernapasan, atau journaling juga bisa membantu seseorang menghadapi tekanan tanpa harus memaksakan diri untuk merasa baik-baik saja atau menolak emosi yang dirasakan. Di saat yang sama, belajar merespons emosi dengan sehat, baik milik sendiri maupun orang lain juga sangat penting.
“Hal ini dapat dilakukan bukan dengan menyuruh mereka untuk berpikir positif, melainkan cukup dengan mendengarkan, hadir, dan memvalidasi perasaan yang tengah mereka alami,” imbuhnya
Anisa kembali mengingatkan bahwa perasaan negatif, seperti sedih, kecewa, atau lelah bukanlah tanda kelemahan. Sebaliknya, perasaan tersebut justru merupakan sinyal bahwa kita butuh waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri sejenak. Mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja bukanlah bentuk kegagalan, melainkan bentuk keberanian untuk jujur pada diri sendiri dan langkah penting dalam mencintai serta merawat kesehatan mental kita.
FEB UGM melalui Career and Student Development Unit (CSDU) telah menyediakan layanan konseling gratis yang dapat diakses oleh semua mahasiswa FEB. Selain itu, tersedia juga Peer Support, yaitu teman sebaya yang siap menjadi pendengar dan pendamping untuk saling berbagi dan meringankan beban.
Sumber: CSDU
Ditulis Ulang: Najwah Ariella Puteri
Sustainable Development Goals