Minuman manis sudah lama menjadi favorit banyak orang Indonesia. Rasanya yang manis dan harganya yang relatif murah membuatnya semakin mudah dijangkau masyarakat. Namun, konsumsi minuman manis berlebihan ini justru membawa kerugian besar, bukan hanya bagi kesehatan individu, tetapi juga bagi negara?
Sebagai upaya mengadvokasi gaya hidup sehat sekaligus menekan angka diabetes, khususnya di kalangan anak muda, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) bersama Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB UGM), Fakultas Hukum (FH UGM), serta Health Promoting University (HPU UGM) menyelenggarakan acara CISDI Goes to Campus (CGTC). Mengusung tema “Si Manis Bikin Krisis: Menelisik Dampak Cukai MBDK dari Sisi Ekonomi, Kesehatan, dan Hukum,” acara ini berlangsung secara luring di Lantai 8 Pusat Pembelajaran FEB pada Selasa (23/9).
Dalam sesi talkshow interaktif menghadirkan sejumlah pembicara yaitu Dr. Novat Pugo Sambodo, S.E., MIDEC (Dosen Prodi Ilmu Ekonomi FEB UGM), Dr. Arvie Johan, S.H., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum UGM), dan Nida Adzillah Auliani, S.Gz., M.Sc. (Project Lead Food Policy CISDI) yang membahas mengenai pentingnya cukai MBDK dari perspektif kesehatan, ekonomi, dan hukum. Melalui penyelenggaraan acara ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan civitas akademika, terutama mahasiswa, terhadap bahaya konsumsi MBDK dalam jangka panjang. Lebih dari sekadar mendorong pola hidup sehat, kebijakan cukai ini juga menjadi strategi penting untuk meringankan beban pengeluaran negara akibat penyakit tidak menular yang terus meningkat di Indonesia.
Ketua Health Promoting University (HPU UGM), Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., menyampaikan isu mengenai cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sangat relevan untuk didiskusikan di lingkungan kampus, terutama bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik yang juga perlu menjaga pola hidup sehat. Ia menyoroti tren tingginya konsumsi gula, khususnya MBDK tinggi gula di masyarakat, yang sering kali dampaknya baru dirasakan dalam jangka panjang.
“Diskusi kali ini akan sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan kesadaran kita semua, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga dari sisi hukum dan ekonomi. Semoga dengan berlangsungnya acara ini dapat turut mempercepat implementasi kebijakan cukai MBDK di Indonesia,” ujarnya dalam sambutan.
Project Lead Food Policy CISDI, Nida Adzillah Auliani, S.Gz., M.Sc., menjelaskan bahwa cukai merupakan pungutan negara terhadap barang tertentu yang memiliki dampak negatif. Oleh karena itulah, cukai sering juga disebut sebagai “sin tax” atau “pajak dosa.” Dalam konteks MBDK, cukai dimaksudkan untuk mendorong masyarakat mengurangi konsumsi dan sekaligus mendorong industri untuk beradaptasi dengan memproduksi minuman yang lebih sehat.
Nida juga memaparkan urgensi di balik pentingnya penerapan cukai MBDK di Indonesia. Saat ini, Indonesia menempati posisi kelima sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes dewasa terbanyak di dunia, yaitu mencapai 20,4 juta orang. Dalam satu setengah dekade terakhir, jumlah penduduk dengan obesitas juga meningkat dua kali lipat, yaitu mencapai 23,4 juta orang pada 2023. Lebih lanjut, studi CISDI di tahun 2025 menunjukkan bahwa sekitar 68% rumah tangga di Indonesia mengonsumsi setidaknya satu jenis MBDK setiap minggunya. Hal ini semakin memperjelas peran MBDK sebagai salah satu penyebab utama penyakit tidak menular, seperti diabetes di Indonesia.
Nida menyampaikan bahwa beban negara akibat konsumsi MBDK juga cukup berat. Pembiayaan BPJS untuk penyakit katastropik terkait obesitas, diabetes, dan hipertensi meningkat hingga 43%, setara dengan Rp6-10 triliun rupiah. Mengonsumsi MBDK dapat meningkatkan berat badan, yang berujung pada obesitas, dan memicu risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan lainnya yang jika tidak dikendalikan akan semakin memperberat beban pembiayaan kesehatan negara. Oleh karena itu, dengan penerapan cukai, harga MBDK diharapkan akan naik sehingga menurunkan tingkat konsumsi, atau justru malah mendorong industri menciptakan produk yang lebih sehat.
Berdasarkan studi CISDI pada 2025, diperkirakan bahwa penerapan cukai sebesar 20% dapat menurunkan konsumsi MBDK hingga 18%. Proyeksi ini juga menunjukkan bahwa kebijakan cukai MBDK mampu mencegah 3,1 juta kasus baru diabetes tipe 2 serta 455 ribu kematian akibat diabetes hingga 2033. Sementara itu, secara ekonomi, terdapat potensi penghematan atas kerugian produktivitas sebanyak Rp40,6 triliun hingga 2033.
Cukai MBDK sendiri sebenarnya bukanlah hal baru. Saat ini, terdapat 108 negara di dunia yang telah menerapkannya dengan tiga model utama, yaitu ad valorem (persentase dari harga produk), spesifik berdasarkan volume, atau spesifik berdasarkan kandungan gula. Di Indonesia, wacana ini penerapan cukai MBDK sudah muncul sejak tahun 2020, namun baru pada 2025 pemerintah memberikan kepastian mengenai implementasinya yang dimulai di tahun depan.
Konsultan di Center for Policy Studies and Advocacy on Sustainable Development Inc., Filipina, Maria Fatima “Jofti” A. Villena, memberikan penjelasan mengenai penerapan cukai MBDK di negaranya. Filipina diketahui telah lebih dulu menerapkan cukai MBDK sejak 2013 melalui pajak ad valorem sebesar 10% untuk soft drink dan minuman berkarbonasi. Kemudian, di tahun 2018 Filipna memperkenalkan skema baru yang dinamakan TRAIN Law (Tax Reform for Acceleration and Inclusion), yang menghitung cukai spesifik berdasarkan volume. Namun, Jofti menjelaskan bahwa efektivitas kebijakan ini terus menurun akibat kenaikan tarif yang hanya dilakukan sekali tanpa memperhitungkan inflasi harga tahunan. Pada akhirnya, Filipina pun kini menghadapi tantangan serupa dengan Indonesia, yaitu tingginya angka kematian akibat penyakit terkait konsumsi MBDK.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals




