Isu Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin menjadi perhatian penting di dunia bisnis. Perusahaan tidak hanya dituntut menyajikan laporan keuangan yang andal, tetapi juga melaporkan upaya keberlanjutan mereka. Namun, muncul pertanyaan besar yakni bagaimana memastikan bahwa laporan keberlanjutan benar-benar kredibel dan dapat dipercaya?
Dosen Prodi Akuntansi FEB UGM, Ahmad Zaki, S.E., M.Acc., Ph.D Ahmad Zaki, S.E., M.Acc., Ph.D., dalam podcast bertajuk Asuran ESG : Perlukah Audit Laporan Berkelanjutan? belum lama ini menjelaskan bahwa laporan keberlanjutan atau sustainability report, termasuk juga CSR report, hingga saat ini belum mendapatkan assurance secara formal dari Kantor Akuntan Publik (KAP).
“Ketika KAP melakukan audit terhadap laporan keuangan perusahaan, yang diaudit adalah laporan keuangannya saja. Jika di dalamnya ada disclosure sustainability, maka sustainability report itu sendiri memang tidak diberikan assurance,” terang Zaki yang mendalami kajian akuntansi sosial dan lingkungan ini.
Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE, dosen Prodii Akuntansi FEB UGM menambahkan bahwa assurance atas laporan keberlanjutan tidak serta-merta sama dengan audit laporan keuangan yang menghasilkan opini audit. Menurutnya, assurance dalam konteks ESG lebih bersifat review terbatas terhadap aspek pengungkapan. Ia menekankan bahwa meningkatnya permintaan dari investor telah mendorong perusahaan semakin aktif dalam mengungkapkan informasi ESG.
“Investor kini ingin melihat sejauh mana perusahaan taat pada prinsip-prinsip ESG, terutama dalam kaitannya dengan pembiayaan. Selain itu, ada juga tekanan dari regulator di negara maju. Uni Eropa sudah punya CSR Directive, sementara di Amerika Serikat, SEC bahkan mengusulkan climate disclosure rules,” ujar Rijadh.
Sementara Zaki menyebutkan di level internasional terdapat standar pelaporan keuangan yakni IFRS S1 dan IFRS S2. Indonesia juga telah membentuk Dewan Standar Akuntansi Keberlanjutan, yang diharapkan mampu mengadopsi standar global tersebut.
“Ketika nanti standar itu sudah ada, bentuk assurance atas disclosure akan lebih sistematis karena ada rujukannya yang jelas,” kata Zaki.
Namun, Zaki juga mengingatkan potensi masalah jika standar tersebut hanya dijadikan “kotak-kotak” yang harus dipenuhi perusahaan. Ia menekankan pentingnya standar yang adaptif. Menurutnya, jangan sampai perusahaan hanya mengejar standar untuk dipenuhi, tetapi kehilangan substansi dari aktivitas sosial, lingkungan, dan tata kelola yang seharusnya dilakukan.
“Dewan standar harus bekerja keras membuat standar yang terus berkembang, sehingga benar-benar membantu mempercepat tujuan, seperti penurunan emisi gas rumah kaca atau mitigasi dampak perubahan iklim,” tegasnya.
Rijadh menambahkan bahwa salah satu inisiatif global yang penting adalah hadirnya ISA 5000 (International Standard Sustainability Assurance). Standar ini, menurutnya, bersifat principle-based, bukan rule-based. Artinya, bukan berupa langkah-langkah prosedural kaku, tetapi lebih menekankan pada prinsip dan outcome. Dengan begitu, ruang lingkup assurance lebih fleksibel, sekaligus menuntut professional judgement dalam perencanaan dan pelaksanaan engagement assurance.
“Inilah yang menarik dari ISA 5000. Assurance bisa berbentuk limited assurance atau reasonable assurance, tergantung kebutuhan,” jelas Rijadh.
Zaki menambahkan bahwa keberadaan ISA 5000 sangat relevan karena perusahaan bisa menggunakan berbagai framework dalam menyusun laporan keberlanjutan baik Global Reporting Initiative (GRI), IFRS S1 dan S2, maupun kerangka lain. Artinya, pemberi assurance harus memahami spektrum framework yang luas.
“Kadang ini bisa membuat praktisi assurance merasa terbebani karena klien bisa datang dengan standar berbeda-beda. Tapi jika dilihat secara substansi, pada akhirnya topiknya tetap sama yaitu isu lingkungan, isu sosial, dan isu governance. Bedanya hanya di bahasa dan penekanan,” katanya.
Menurut Rijadh, inilah tantangan yang harus dipahami mahasiswa akuntansi maupun calon praktisi assurance. Pengetahuan tentang berbagai framework menjadi penting agar mereka siap menghadapi kompleksitas di lapangan.
Namun, Zaki juga menerangkan bahwa perbedaan framework seharusnya tidak menimbulkan kekhawatiran ketakutan kepada mahasiswa atau praktisi. Sebab substansi didalamnya tetap sama meski dengan framework berbeda.
ESG Assurance, lanjut Zaki, memberikan banyak manfaat seperti membuat laporan keberlanjutan lebih kredibel, meningkatkan compliance, dan menumbuhkan kepercayaan investor.
“Tantangan memang ada, mulai dari kompleksitas industri yang berbeda-beda, kualitas data, hingga ketersediaan informasi. Perusahaan masih menghadapi isu kesenjangan data. Tapi disinilah peran assurance professional dibutuhkan,” jelasnya.
Video Podcast Asuran ESG selengkapnya dapat diakses melalui: AsuranESGPerlukahAuditLaporanBerkelanjutan
Reportase: Orie Priscylla Mapeda Lumalan
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals






