Transformasi digital menghadirkan tantangan baru dalam sistem perpajakan global. Banyak negara kehilangan hak pemajakan karena perusahaan lintas negara dapat beroperasi tanpa kehadiran fisik. Dalam konteks ini, kebijakan pajak minimum global sebesar 15 persen (Global Minimum Tax) menjadi langkah strategis untuk menegakkan keadilan fiskal di tengah praktik penghindaran pajak yang semakin kompleks.
Isu ini menjadi sorotan dalam Seminar Nasional GloBE Rules: Pajak Minimum Global 15% dalam Perspektif Teoritis dan Praktik di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) melalui Public Sector Studies and Taxation serta Research and Development Unit for Societal Impact, Jumat (3/10).
Dosen Departemen Akuntansi FEB UGM, Aviandi Okta Maulana, S.E., M.Acc., Ph.D., Ak., CA., ACPA., APCIT., menyampaikan pajak merupakan perwujudan nyata dari kedaulatan negara.
“Perpajakan identik dengan status hukum negara dan hak pungutan karena setiap pemerintah memiliki hak untuk memungut pajak dari warga negara maupun aktivitas ekonomi di wilayahnya,” tuturnya.
“Setiap pemerintah memiliki hak untuk memungut pajak atas aktivitas ekonomi di wilayahnya. Namun, sistem perpajakan internasional yang berbasis pada keberadaan fisik kini tidak lagi relevan di era digital,” jelasnya.
Ia juga memaparkan bagaimana perpajakan internasional konvensional masih berbasis pada keberadaan fisik, seperti kantor cabang maupun pabrik dan konsep yang dikenal dengan konsep Permanent Establishment (PE). Dalam konteks ekonomi digital, hal ini berakibat banyak negara pasar kehilangan hak pemajakannya karena perusahaan dapat beroperasi secara virtual lintas batas tanpa memenuhi kriteria tersebut.
Lebih lanjut, Aviandi menjelaskan bahwa dalam perpajakan internasional prinsip yang digunakan umumnya berbasis pada domisili (residence-based) dan sumber penghasilan (source-based). Namun, transformasi digital telah mengubah cara perusahaan beroperasi lintas negara secara adil agar tidak hanya berfokus di negara dengan tarif pajak rendah (tax haven).
“Global minimum tax adalah dampak dari aspek historis yang panjang termasuk dari proyek BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) dan bukan muncul secara tiba-tiba. Aturan ini menjadi penting di era digital karena memastikan bahwa laba yang dihasilkan perusahaan lintas negara tetap dikenai pajak secara adil,” tuturnya.
Dalam kesempatan tersebut, Aviandi juga memperkenalkan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 1.0 yang mencakup 15 Action Plans dirancang untuk menutup celah dalam sistem perpajakan internasional dan mencegah praktik pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak rendah (tax haven). Sebagai kelanjutan dari proyek ini, OECD dan G20 mengembangkan BEPS 2.0 yang bertujuan untuk menciptakan keadilan fiskal (fair share) dan menghentikan praktik race to the bottom, yaitu persaingan tidak sehat antarnegara dalam menurunkan tarif pajak demi menarik investasi.
“BEPS 2.0 terbagi menjadi dua pilar. Pilar pertama berfokus pada alokasi ulang hak pajak ke negara pasar dan pilar kedua memperkenalkan kebijakan pajak minimum global sebesar 15 persen (Global Anti-Base Erosion/GloBE Rules) bagi perusahaan multinasional,” jelasnya.
Djohan Pinnarwan Jusuf, S.E., Ak., CPAdari PwC Indonesia menjelaskan perkembangan dan dampak penerapan kebijakan pajak minimum global sebesar 15% di berbagai negara terhadap praktik pelaporan keuangan dan perpajakan perusahaan multinasional. Kebijakan ini berlaku bagi kelompok usaha global dengan pendapatan konsolidasi minimal €750 juta dan mulai diterapkan di Indonesia melalui PMK Nomor 136 Tahun 2024 efektif 1 Januari 2025. Beberapa negara yang telah mengimplementasikan kebijakan serupa adalah Inggris, Irlandia, Jerman, Australia, Singapura, dan Malaysia,” jelasnya.
Djohan turut menjabarkan tiga mekanisme utama dalam penerapan Global Minimum Tax atau GloBE Rules, yaitu Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), Income Inclusion Rule (IIR), dan Undertaxed Payment Rule (UTPR) yang berfungsi menentukan urutan pemungutan pajak tambahan (top-up tax) agar setiap entitas dalam grup perusahaan multinasional membayar pajak minimum sebesar 15 persen.
Gayatri Permatasari, S.E., dari PwC juga menyoroti implikasi terhadap penerapan pilar kedua terhadap pelaporan akuntansi. Berdasarkan standar IAS 12, pajak penghasilan yang timbul akibat kebijakan Global Minimum Tax wajib diakui dalam laporan keuangan interim atau laporan berkala. Perusahaan juga diwajibkan untuk mengungkapkan penerapan pengecualian atas pajak tangguhan yang terkait dengan pilar dua serta melaporkan secara terpisah beban atau penghasilan pajak yang berasal dari penerapan kebijakan tersebut. Langkah ini bertujuan memastikan transparansi dan akurasi informasi fiskal dalam laporan keuangan perusahaan multinasional.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals
