Enam Puluh Persen Korupsi di Indonesia Terjadi di Sektor Swasta
- Detail
- Ditulis oleh Gloria
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3239
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Rimawan Pradiptyo, menyebutkan enam puluh persen korupsi yang terjadi di Indonesia terjadi di sektor swasta, bukan di sektor publik. Hal ini ia sampaikan dalam Research Dissemination Day FEB UGM, Sabtu (15/12) di Auditorium Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM.
"Selama ini Anda berpikir korupsi itu di sektor publik. Korupsi terbesar bukan di sektor publik, meskipun yang diatur itu 90 persen sektor publik. Korupsi terbesar ada di korporasi swasta, senilai 119,7 triliun dari tahun 2001-2015, itu sekitar 60 persen dari nilai yang dikorupsi," paparnya.
Dalam kesempatan ini, ia memaparkan hasil penelitian yang ia lakukan bersama Putu Sanjiwacika Wibisana dan Putu Arya Wigita berjudul "Is Ignorance Bliss? An Experimental Approach to Estimate the Impacts of Unregulated Corruption".
Nilai korupsi yang dilakukan korporasi swasta, ujarnya, jauh lebih tinggi dibandingkan korupsi yang dilakukan di sektor publik yang jumlahnya sekitar 74 triliun dalam periode yang sama. Namun, hukuman finansial yang diberikan kepada korporasi swasta masih relatif kecil.
Persoalan yang berkaitan dengan banyaknya jenis korupsi yang masih belum diatur di Indonesia mendorong mereka untuk mengukur jumlah serta dampak dari korupsi yang tidak diatur tersebut melalui eksperimen laboratorium.
"Di Indonesia banyak korupsi yang tidak diatur. Salah satunya adalah korupsi swasta, lalu ada illicit enrichment, trading of influence, dan foreign bribery, itu belum diatur dalam undang-undang di Indonesia meskipun kita sudah meratifikasi UNCAC," terang Rimawan.
Dalam eksperimen yang dilakukan, ketiga peneliti merancang skenario menggunakan Public-Good Embezzlement (PGE) dan Public-Goods Bribery (PGB) Games yang dapat merepresentasikan penyuapan, pemerasan, serta penggelapan.
Eksperimen tersebut menunjukkan beberapa hasil, di antaranya bahwa kontribusi masyarakat lebih tinggi dalam korupsi yang tidak diatur.
"Sepertinya orang justru stres dan tidak mau berkontribusi ketika ketahuan bahwa korupsinya diatur dan diumumkan ke publik bahwa ada orang yang mengambil uang Anda. Di satu sisi kalau korupsi hukuman semakin keras itu meningkatkan welfare efficiency, tetapi di sisi lain ketika ini terjadi pengukurannya dampaknya muncul revelation aversion ini," paparnya.
Kegiatan Research Dissemination Day ini sendiri diselenggarakan FEB UGM untuk menjawab tantangan dalam menghadapi kompleksitas perekonomian Indonesia serta sebagai wujud kepedulian terhadap pembangunan nasional.
Terdapat 8 penelitian yang dipresentasikan oleh para dosen, di antaranya penelitian Hengki Purwoto terkait siklus anggaran politik yang menilik bagaimana komposisi pengeluaran pemerintah merespons variabel politik seperti perubahan kepemimpinan atau pemilihan di tingkat daerah, serta penelitian Ahmad Akbar Susamto berjudul "Credit Risk in Islamic and Conventional Banking: More Evidence Using Bank Level Panel Data" yang menganalisis pentingnya determinan risiko kredit menggunalan sampel 118 bank komersial di Indonesia.
Selain itu, Muhammad Edhie Purnawan membahas salah satu isu penting yang menjadi perhatian di berbagai negara dunia, yaitu terkait prospek serta risiko Central Bank Digital Currency (CBDC). Penelitian yang ia lakukan melihat efek dari CDBC terhadap desain kebijakan moneter bank sentral, dengan hasil yang menunjukkan bahwa CBDC menyediakan instrumen moneter yang baru, memperbaiki inklusi keuangan, serta berpotensi memperbaiki transmisi kebijakan moneter.
Sumber: Gloria/UGM