Infrastruktur Bisa Semakin Memadai Berkat Public Private Partnerships
- Detail
- Ditulis oleh Santini
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2189
Dalam sambutannya, Eko Suwardi M.Sc., Ph.D., Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) menggambarkan sedikit manfaat dari adanya Public Private Partnerships (3Ps) apabila diimplementasikan secara tepat di Indonesia. Mulai dari pembangunan infrastruktur yang akan semakin memadai hingga penunjang kebutuhan masyarakat yang kelak terpenuhi, seperti kesehatan dan pendidikan. Beliau juga sempat menyinggung tentang peresmian Mass Rapid Transportation (MRT) di Jakarta waktu lalu yang menandakan Indonesia kian canggih layaknya negara Inggris. Mengapa ia bisa berkata demikian? Karena pada Senin (25/03) di Ruang Audio Visual lantai 1 FEB UGM sedang diselenggarakan Public Lecture yang bertemakan Public Private Partnerships: Trends and Issues pukul 13.00 WIB. Kuliah umum ini diadakan melalui kerja sama FEB UGM dengan University of Hull, United Kingdom (UK).
Sebagai pembicara dalam acara tersebut, Lynne Barrow, Ph.D. yang merupakan seorang Associate Dean menunjukkan sebuah model sederhana Penyampaian Layanan Sektor Publik. 3Ps prinsipnya digunakan sebagai alat ekonomi makro. Bahwasanya ketika publik dan swasta melakukan investasi, maka terdapat pengembalian (return) kepada masing-masing pihak. Lebih lanjut, dia menggarisbawahi pergeseran dari penyediaan layanan publik langsung ke arah penyediaan layanan kolaboratif dan kontrak di Inggris & Internasional selama 30 tahun terakhir. Sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an, banyak pemerintah Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) terutama pemerintah Inggris konservatif berkomitmen untuk mengurangi ukuran dan peran sektor publik, memercayai akan kurang efektif daripada sektor swasta. Inilah penyebab terjadinya pergeseran fundamental.
Di UK sendiri, supaya tetap efektif, layanan publik harus merespon kebutuhan perubahan masyarakat. Laporan terakhir oleh CBI (2014) mengestimasikan 450.000 tempat primer baru akan dibutuhkan di Inggris di tahun 2015, populasi UK secara keseluruhan akan meningkat lebih dari 73 juta pada 2037, jumlah pendudukan yang berumur melebihi 85 akan berlipat ganda di tahun 2035, dan IFS memperkirakan total pengeluaran terkait usia akan meningkat sebesar 1,6% dari pendapatan nasional, menghasilkan pengeluaran publik sebesar 44,5% dari pendapatan nasional pada tahun 2057/58. Bagaimanapun, pengeluaran departemen telah dipotong lebih dari 18% secara riil antara 2010 dan 2017.
Lalu, apa itu Private Finance Initiative (PFI)? Kebanyakan akademisi menggunakan istilah PPP secara sinonim dengan PFI yang mana bentuk paling aslinya didefinisikan sebagai sebuah design, build, finance, and operate system (DBFO). Lynne pun menambahkan PFI/PPPs pada umumnya adalah profil tinggi secara publik dan politik, melibatkan sejumlah besar pendanaan dan biasanya digunakan untuk menyediakan aset dan layanan infrastruktur. Sampai krisis keuangan tahun 2008, kebanyakan PFI dibiayai oleh kombinasi 10-15% modal saham yang mengandung risiko dan 85-90% pinjaman bank.
Terdapat berbagai manfaat kepada sektor publik terkait penerapan 3Ps yang diutarakan Lynne. Sebagian dari mereka, yaitu nilai untuk uang karena biaya keseluruhan untuk layanan publik akan dikurangi, transfer risiko kepada sektor swasta, berguna untuk pengadaan keterampilan sektor swasta, bagus untuk memproduksi 'optimism bias', dan pengurangan dalam peminjaman publik. Tidak hanya itu, keunggulan yang dirasakan juga terlihat pada disiplin dan insentif dalam pengaturan kontrak pasar sehingga dapat menyuntikkan efisiensi yang lebih besar ke dalam penyediaan infrastruktur.
Sementara di Indonesia, 3Ps sebenarnya telah disampaikan sejak 1998, tetapi legal konsepnya baru dikenalkan pada tahun 2005 untuk meningkatkan pembelian melalui proses tender kompetitif. Lagipula, kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi celah infrastruktur kritis Indonesia adalah sebuah masalah utama yang sering didebatkan sepanjang kampanye Presiden. Lynne, sebagai penutup kuliah umumnya, bertanya, "If you don’t invest to infrastructure, so how will you compete with other ASEAN countries?"
Sumber: Santini Dewi Putri