Subsidi dan Kedaulatan Konsumen ala Kartu Prakerja
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1464
Pada Minggu (14/6) Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) kembali menggelar SinarKu: Seminar dan Kuliah Umum yang bertajuk "Kartu Prakerja: Teori, Kebijakan, dan Implementasinya". Diskusi dalam SinarKu kali ini membahas tentang Program Kartu Prakerja yang telah diluncurkan pemerintah pada April lalu. Mengingat kondisi karena pandemi Covid-19 saat ini, seminar dilaksanakan secara online melalui platform Webex. Kurang lebih 150 peserta hadir meramaikan seminar, baik itu dari kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Eny Sulistyaningrum, Ph.D. hadir sebagai moderator yang memimpin diskusi dengan dua narasumber, yaitu Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari, Ph.D. dan Elan Satriawan, Ph.D. sebagai Kepala Kelompok Kerja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Diskusi diawali dengan penyampaian tentang Program Kartu Prakerja oleh Denni Puspa Purbasari. Ia menjelaskan mengenai perbedaan Program Kartu Prakerja dengan Skema Reguler di pemerintahan. Denni mengutip kalimat dari Milton Friedman, "Jika kita ingin mendorong aktivitas positif, kita punya pilihan apakah mensubsidi produsen atau mensubsidi konsumen, dalam literatur kita ada yang namanya eksternalitas positif, maka itu yang akan menghasilkan subsidi". Ia mengungkapkan bahwa Kartu Prakerja memberikan subsidi bagi konsumen pelatihan dan konsumen memiliki kontrol untuk memilih (consumer sovereignty). Dengan begitu, Program Prakerja menghasilkan konsumen dan memberi subsidi pelatihan kepada konsumen dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga pelatihan yang kredibel.
Denni juga mengungkapkan alasan mengapa Program Prakerja saat ini menggunakan sistem online based atau e-marketplace, yaitu bisa memberikan kemudahan untuk mempertemukan supply dan demand, mengatasi asymmetric information, mengurangi searching dan transaction cost, dan e-marketplace dinilai dapat memberikan market equilibrium dengan lebih cepat. "E-marketplace juga memberikan referred system, yaitu lembaga pelatihan yang bagus mendapatkan banyak bintang dan yang sebaliknya mendapatkan sedikit bintang sehingga reputation game bisa diterapkan", ujar Denni. Ia berpendapat bahwa evaluator yang terbaik adalah dari peserta, karena ulasan dan rating yang diberikan akan memberikan informasi kepada yang lain sehingga pada akhirnya tetap good performer yang akan bertahan lebih lama di market.
Namun demikian, Denni juga meluruskan bahwa sebenarnya Program Prakerja awalnya didesain menggunakan sistem offline dan online based. Situasi yang tidak memungkinkan akibat pandemi saat ini, yang mengharuskan physical distancing dan pembatasan mobilitas, maka offline based yang seharusnya dilakukan dengan menggunakan pelatih profesional, sementara diubah menjadi online based dengan sistem operasional menggunakan e-marketplace atau platform digital seperti Ruang Guru, Tokopedia, BukaLapak, dll.
Ketika ditanya mengenai alasan pemerintah tidak membuat super platform dan meninggalkan kerja sama dengan sektor swasta, Denni menegaskan bahwa jika pemerintah membuat super platform, maka tidak akan ada kompetisi di market, tidak ada evaluasi dan tidak ada perbaikan untuk bersaing dengan kompetitor. Selain itu, alasan bekerja sama dengan swasta adalah karena swasta memiliki users experience serta memiliki jangkauan dan kapabilitas yang lebih mumpuni untuk memberikan pelatihan.
Terkait dengan kontroversi Program Prakerja yang dibandingkan dengan platform pelatihan tak berbayar, Denni menerangkan bahwa ada komisi atas jasa yang diberikan oleh penyedia jasa, yaitu oleh marketplace. Jika dihilangkan, maka mau tidak mau harus mengambil cost dari tempat lain. Selain itu, insentif tersebut juga berguna untuk memacu platform agar terus meningkatkan kualitas pelayanan. "Memang sekarang banyak lembaga yang menawarkan pelatihan gratis, tapi jika dilihat dari sisi cost, total cost positif maka total profit akan negatif, kualitas pelatihan kurang baik dan sustainability dari model ini bukan jangka panjang dan akhirnya akan mati", tambah Denni.
Diskusi SinarKu dilanjutkan dengan penyampaian informasi oleh Elan Satriawan. Ia mengutarakan mengenai masalah yang terkait dengan Program Prakerja. Program Prakerja, menurutnya, ditujukan sebagai salah satu cara untuk menemukan mismatch antara supply dan demand di market. Namun, ia berpendapat bahwa tidak semua masalah mismatch bisa diatasi dengan program tersebut. "Tidak bisa Program Prakerja diberikan mandat untuk semua mismatch yang terjadi. Khususnya dari sisi supply (pekerja) dan dari sisi demand-nya (employer-nya)", ungkap Elan.
Elan menambahkan bahwa di situasi pandemi Covid-19 saat ini, pemerintah juga harus mengisi gap untuk program perlindungan sosial. Khususnya bicara tentang bagaimana kelompok di tengah, yang dari sisi kesejahteraan mereka rentan. Menurutnya, pemerintah jangan hanya memberi support terhadap masyarakat kategori middle 40% karena ada kelompok lain yang juga sangat terpengaruh oleh Covid-19, khususnya dalam masalah kesehatan dan ekonomi.
Di akhir penyampaiannya, Elan memberi gambaran mengenai beberapa hal yang bisa diperbaiki dari Program Prakerja ke depannya. Ia berharap nantinya pelatihan yang dibuat juga menyediakan opportunity, memposting pekerjaan-pekerjaan, dan menyambungkan kebutuhan antara demand dan supply. Hal ini akan berguna untuk penerima manfaat agar mengetahui pekerjaan apa yang sedang dibutuhkan pasar sehingga penerima manfaat bisa menyelaraskan antara training dengan outcome yang diharapkan, khususnya terhadap peningkatan skill. Harapannya, penerima manfaat kemudian mendapat pekerjaan seperti tujuan awal peluncuran Program Prakerja.
Sumber: Sony Budiarso/Leila Chanifah Zuhri