FEB UGM Menjadi Tuan Rumah Konferensi Tahunan IRSA ke-16: Kelembagaan, Sumber Daya Manusia, dan Pengembangan
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1071
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Indonesian Regional Science Association (IRSA) menyelenggarakan Konferensi Internasional Indonesian Regional Science Association ke-16. Konferensi tahunan ini diselenggarakan secara virtual melalui Zoom pada 12-13 Juli 2021. Konferensi ini adalah acara tahunan utama IRSA yang mempromosikan kemajuan penelitian di seluruh negeri. Konferensi ini memfasilitasi diskusi, transfer pengetahuan, strategi perumusan kebijakan, dan membangun jejaring di antara para ilmuwan dan pembuat kebijakan. Konferensi tahunan IRSA telah dihadiri oleh sejumlah besar akademisi, peneliti, dan pembuat kebijakan dari berbagai institusi di Indonesia. IRSA tak hanya berperan pada lingkup akademis melalui penelitian dan publikasi saja, tetapi juga berkontribusi pada kebijakan pembangunan berbasis penelitian (evidence based policy). Tema konferensi IRSA ke-16 tahun ini adalah Institutions, Human Capital, dan Development.
Konferensi telah dihadiri oleh Presiden IRSA, Dekan FEB UGM, Wakil Dekan FEB UGM, dosen dan penyelenggara, serta partisipan yang berasal dari kalangan akademisi maupun praktisi dari penjuru nusantara dan dunia. Sebelumnya, pada Sabtu (10/07/2021) dan Minggu (11/07/2021) telah diselenggarakan 3 kelas pre-conference workshop yaitu Pengantar Sistem Informasi Geografis (SIG) oleh ANU Project Indonesia dan University of Canberra, Pengantar Pemodelan Pilihan untuk Valuasi Ekonomi oleh EEI-Indonesia, serta Pengantar Desain Survei Online oleh J-PAL Asia Tenggara.
Dr. Gumilang Aryo Sahadewo, sebagai co-chair panitia lokal IRSA memberi sambutan pembuka untuk memulai konferensi.
"Selamat datang di konferensi internasional IRSA ke-16. Kami sangat bangga dapat memfasilitasi pertukaran ide, berbagi pengetahuan, learning and networking. Sebelum kami melaporkan kemajuan konferensi, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada para tenaga medis, relawan, dan komunitas di seluruh Indonesia yang telah bekerja sangat keras untuk memerangi pandemi Covid-19. Kami sangat bangga dengan Anda, kami berharap Anda sehat dan aman", tutur Gumilang.
Gumilang mengatakan bahwa dunia akademik memiliki kontribusi signifikan untuk mereproduksi bukti hasil, dan memberikan rekomendasi yang tepat waktu kepada pembuat kebijakan untuk memerangi pandemi Covid-19. Untuk itu, tema konferensi IRSA tahun ini adalah Institution, Human Capital, dan Development. Dengan sub topik pertumbuhan ekonomi, pertanian, budaya, sumber daya alam, pengembangan kelembagaan perdesaan, fokus pada hasil jangka panjang, dan lainnya.
"Panitia konferensi telah menerima 334 abstrak dari para ilmuwan dari seluruh Indonesia dan internasional. Dari jumlah tersebut kami memilih 217 paper yang dapat dipresentasikan secara langsung dan 65 dalam bentuk video poster. Ada lebih dari 400 peserta yang terdaptar dalam konferensi ini", ungkap Gumilang.
Selanjutnya, adalah sambutan sekaligus ucapan terima kasih dari Dr. Evi Noor Afifah, kepada penyelenggara dan partisipan.
"Saya mengucapkan terimakasih khususnya pada pengurus IRSA, tim penyelenggara, Dekanat, tendik, dosen, serta para pembicara. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada sponsor kami, serta mitra kami yaitu Indonesia Project ANU, EEI-Indonesia, JPAL Asia Tenggara, BKF Kemenkeu, Australia Government, Prospera, KSI, TNP2K, CEDS Unpad, LPEM FEB UI, IBER, dan Kompak", tuturnya.
Dr. Eko Suwardi, Dekan FEB UGM, turut menyampaikan rasa terima kasih dalam sambutannya. Ia mengatakan bahwa FEB UGM sangat berterimakasih telah mendapat kesempatan menjadi tuan rumah IRSA 2021 di Yogyakarta.
"Saya percaya bahwa konferensi ini akan relevan dengan situasi sekarang bahwa semua negara di dunia menghadapi pandemi yang sama. Tentunya kita memiliki kemampuan kapasitas yang berbeda dalam hal institusi dan sumber daya manusia, dan juga ekonomi, oleh karena itu konferensi internasional ini saya yakini dapat menjadi fasilitator untuk membahas berbagai hal tersebut. FEB UGM mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembicara, peserta, sponsor, dan panitia penyelenggara", ungkap Eko Suwardi.
Presiden IRSA, Prof. Arief Anshory Yusuf menyampaikan bahwa konferensi ini merupakan wujud kegigihan IRSA sebagai komunitas yang berjuang untuk para warga Indonesia yang sedang dalam situasi krisis ekonomi kesehatan.
"Krisis mungkin telah memisahkan semua aspek dalam kehidupan kita, tetapi kita telah membuktikan bahwa ini tidak akan menghancurkan semangat kita untuk menciptakan kehidupan bernegara dengan lingkungan ilmiah yang lebih baik, dan konferensi ini saya lihat adalah bagian dari upaya tersebut", terang Arief Anshory.
Sesi selanjutnya adalah plenary session 1 oleh Prof. Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia (UI), yang membahas topik meningkatkan daya saing di pendidikan vokasional dan perguruan tinggi.
"Jika kita melihat makrodata, industri Indonesia mulai tumbuh pesat di akhir tahun 60-an dan menjadikan negara ini sebagai eksportir yang signifikan di tahun 90-an, pangsa output yang tinggi di sektor manufaktur pada akhir 90-an, sayangnya krisis di tahun 99-an menghentikan kemajuan itu", terangnya.
Kuncoro mengatakan bahwa saat ini pasar tenaga kerja akan menghargai keterampilan sosial atau soft skill ketika ekonomi bergeser ke arah layanan, menghargai pemikiran kritis dan kreativitas, selain penguasaan teknologi, untuk mengembangkan sektor manufaktur yang kuat dan kompetitif. Oleh karena itu, menurutnya, jika Indonesia ingin tetap kompetitif di era digital, untuk meningkatkan produktivitas sisi penawaran akan membutuhkan peningkatan tidak hanya infrastruktur tetapi juga sumber daya manusia.
Kaitannya dengan pendidikan, menurut Kuncoro, jika pendidikan merupakan sinyal untuk produktivitas pekerja, maka Indonesia perlu meningkatkan kualitas tenaga kerjanya. Perubahan struktur ekonomi yang sedang berlangsung, yaitu menuju dominasi sektor modern dan teknologi maju Revolusi Industri Keempat. Pergeseran ke industri jasa dan teknologi tinggi telah menciptakan permintaan di pasar tenaga kerja untuk keterampilan yang lebih kompleks.
"Untuk menjawab tantangan ini, Indonesia tidak hanya harus memperluas akses pendidikan tetapi juga memastikan bahwa pendidikan yang diberikan sejalan dengan permintaan pasar tenaga kerja yang terus berubah", terangnya.
Oleh karena itu, Kuncoro berpendapat bahwa kerangka kebijakan pendidikan Indonesia untuk mendukung peningkatan kualitas manusia, harus berfokus pada lima bidang yakni akses ke pendidikan, kualitas pendidikan, sinergi antara pemerintah, industri, masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan, keterkaitan industri, serta insentif.
"Indonesia perlu mengembangkan kurikulum yang lebih adaptif, fleksibel dan dinamis yang memungkinkan mahasiswa untuk belajar di luar bidangnya dan mendapatkan wawasan interdisipliner dan transdisipliner", ungkapnya.
"Salah satu kurikulum yang adaptif adalah yang terdapat dalam reformasi kampus merdeka, yakni kebijakan untuk menderegulasi sistem pendidikan tinggi yang sebelumnya sangat diatur di Indonesia, bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang tidak kaku, lebih inovatif dan lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing universitas", tambahnya.
Sesi terakhir dalam plenary session adalah penyampaian dari Dr. Ariane Utomo dari University of Melbourne, membahas topik mengenai "Cinta, Pernikahan, dan Transisi Perubahan pada Keluarga".
"Dewasa ini disiplin demografi dalam perkembangan ekonomi secara lebih luas di Indonesia telah didominasi oleh pendekatan konvensional yakni melihat pada waktu dalam melakukan pernikahan pertama. Tingkat pendidikan perempuan dan pekerjaan sebagai penentuan usia menikah pertama ini dapat dipahami mengingat hal ini juga menentukan tingkat fertilitas, tetapi menurut saya lebih banyak faktor demografi daripada sekedar menghitung kelahiran, kematian, dan migrasi", terangnya.
Dengan adanya sifat sosial yang kompleks dari perubahan sosial, menurut Utomo, yang perlu diperhatikan pertama kali adalah ekspansi pendidikan dalam dekade terakhir, bagaimana kaum muda di Indonesia telah menghabiskan waktu yang lama di sekolah sehingga menunda waktu untuk masuk ke pasar tenaga kerja, dan juga pernikahan. Kemudian, terdapat perubahan sosial politik, dan munculnya globalisasi serta perubahan alam.
"Rentetan dimensi perubahan sosial ekonomi yang saling terkait di Indonesia, telah menimbulkan kontradiksi yang tercermin dalam perubahan pola perkawinan dan pembentukan keluarga.", ungkapnya.
Utomo berpendapat bahwa begitu banyak hal penting yang harus diidentifikasi, yaitu bagaimana perubahan sifat pekerjaan, kondisi ketidakamanan pekerjaan, dan kerawanan ekonomi yang mampu mempengaruhi perubahan pernikahan dan keluarga di dunia.
"Saya di sini juga mengajak untuk berkolaborasi dan memikirkan agenda penelitian. bagaimana kita memandang pernikahan sebagai jendela untuk memahami perubahan yang sangat kompleks yang terjadi di sekitar kita", tutupnya.
Reportase: Sony Budiarso/Kirana Lalita Pristy