Ekonomi Terus Melambat, BI Diminta Tekan Penurunan Nilai Tukar Rupiah
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2492
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA., mengatakan pertumbuhan ekonomi RI hingga akhir tahun ini hanya berkisar 4,7 persen. Hal itu menurutnya sesuai dengan prediksi dari IMF dan Bank Dunia. Melambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan faktor internal karena pertumbuhan investasi dan konsumsi yang cenderung menurun, serta lambatnya penyerapan APBN. Sementara faktor eksternal disebabkan melemahnya harga komoditas dan dampak negatif dari kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat. "Amerika tidak punya ruang moneter, bunga acuan hampir 0 persen. Sekarang mereka menciptakan ruang moneter secara pelan-pelan menaikkan suku bunga, tapi itu belum dilakukan, dampaknya pada nilai tukar rupiah," kata Bambang dalam Seminar Balancing Indonesia Economy yang dilaksanakan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM di Hotel Tentrem Yogyakarta, Sabtu (19/9).
Atas kondisi faktor internal dan ekternal itu, Bambang mengaku sudah menduga BI, IMF dan Bank Dunia merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi indonesia. Bahkan pertumbuhan ekonomi global juga direvisi dimana sebelumnya diprediksi tumbuh 3,5 persen lalu direvisi jadi 3 persen. Menyoroti kondisi ekonomi di tanah air, beberapa indikator yang menunjukkan melambatnya ekonomi indonesia diantaranya jumlah impor bahan baku hingga bulan april (jelang puasa dan lebaran) menurun hingga 22 persen dibanding tahun lalu. Hal itu disebabkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Bahkan jumlah ekspor RI yang menurun sejak 2011, tahun ini menunjukkan tren yang terus berlanjut. "Yang naik hanya ekspor sepeda motor, padahal penjualan otomotif di dalam negeri menurun hingga 16 persen, ekspor semen kita juga meningkat," katanya.
Melambatnya ekonomi dalam negeri dikatakan Bambang telah menguras cadangan devisa negara. Apabila pada periode bulan Desember tahun lalu cadangan devisa mencapai 111,9 milyar dollar, hingga bulan juni lalu jumlahnya menurun hingga 108 milyar dollar, "Bisa jadi sekarang 105 milyar dollar," katanya. Meski kondisi ekonomi tengah melambat, imbuh Bambang, angka consumer confidence masih di atas 100, "Masih ada optimisme," tuturnya.
Tidak hanya itu, surat hutang RI saat ini termasuk tetinggi di Asean dan jumlah hutang luar negeri yang terus bertambah sejak 2010, namun rasio hutang dinilai Bambang masih dalam kondisi baik yakni 33,48 persen. "Penyebab nilai hutang ini bertambah karena depresiasi rupiah, bila BI tidak berbuat apa-apa,kondisi rupiah terus melemah," terangnya.
Penurunan nilai tukar rupiah ini menurut prediksi Bambang akan terus berlanjut hingga ada kepastian bank sentral Amerika menaikkan suku bunga. "Nilai tukar rupiah terus tertahan atau tersandera oleh kebijakan bank sentral Amerika, masih akan lama ini gojang ganjing," sebutnya.
Dia mengatakan dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah dan melemahnya ekonomi tanah air kemungkinan akan berdampak pada angka pengangguran dan kemiskinan akan terus bertambah.
Pengamat ekonomi dari Australian National University Prof Hal Hill mengatakan pemerintahan di era presiden Jokowi memiliki pekerjaan rumah yang lebih besar dalam bidang ekonomi. Pekerjaan rumah yang dimaksud oleh Hall Hill adalah menaikkan pendapatan perkapita masyarakat. Menurutnya untuk urusan yang satu ini, Indonesia termasuk yang tertinggal dibanding dengan China dan India. Padahal di era tahun 60 an, pendapatan perkapita Indonesia sama dengan kedua negara tersebut. Namun berselang 40 tahun kemudian, pendapatan perkapita indonesia hanya naik 5,5 kali lipat. Sebaliknya China naik 12 kali lipat. Bahkan pendapatan per kapitan Indonesia kalah dari Malaysia yang naik 7,9 kali, dan Thailand yang naik 8 kali lipat. "Indonesia hanya unggul dari Filipina, dulu tahun 90-an pendapatan perkapita Indonesia pernah lebih tinggi dari China," katanya.
Meski begitu, ia menilai Indonesia termasuk negara yang berhasil menurunkan angka kemiskinan. Apabila di tahun 60-an angka kemiskinan mencapai 60 persen, selama 30 tahun bisa diturunkan hingga 10 persen. "Pernah sempat naik 15 persen saat krisis moneter 1998," katanya.
Kendati begitu, Hal Hill menilai penurunan angka kemiskinan saat ini tidak lagi signifikan seperti era presiden Soeharto dulu, "Bisa dikatakan laju pertumbuhan dengan penurunan angka kemiskinan tidak lagi beriring," pugkasnya.
Sumber: Gusti/UGM