• Tentang UGM
  • SIMASTER
  • SINTESIS
  • Informasi Publik
  • SDGs
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
  •  Tentang Kami
    • Sekilas Pandang
    • Sejarah Pendirian
    • Misi dan Visi
    • Nilai-Nilai
    • Pimpinan Fakultas
    • Pimpinan Senat
    • Pimpinan Departemen
    • Pimpinan Program Studi
    • Pimpinan Unit
    • Dewan Penasihat Fakultas
    • Laporan Tahunan
    • Fasilitas Kampus
    • Identitas Visual
    • Ruang Berita
    • Dies Natalis ke-70
  • Program Akademik
    • Program Sarjana
    • Program Magister
    • Program Doktor
    • Program Profesi
    • Program Akademik Singkat
    • Program Profesional & Sertifikasi
    • Program Sarjana Internasional (IUP)
    • International Doctorate in Business (IDB)
    • Kalender Akademik
    • Ruang dan Kegiatan
  • Fakultas & Riset
    • Keanggotaan Fakultas
    • Akreditasi Fakultas
    • Jaringan Internasional
    • Dosen
    • Profesor Tamu dan Rekan Peneliti
    • Staf Profesional
    • Publikasi
    • Jurnal Yang Diterbitkan
    • Makalah Kerja
    • Bidang Kajian
    • Unit Pendukung
    • Kemitraan Konferensi Internasional
    • Call for Papers
    • Pengabdian Kepada Masyarakat
    • Perpustakaan
  • Pendaftaran
  • Home
  • Suara Akademisi

Ibu Sri Mulyani, Masak Lupa Teori Ekonomi, sih?

  • Suara Akademisi
  • 10 April 2025, 14.22
  • Oleh : shofihawa
Dosen FEB UGM, Muhammad Edhie Purnawan, memberikan pandangan tentang diplomasi ekonomi Indonesia di tengah proteksionisme AS.

Oleh: Muhammad Edhie Purnawan, PhD (Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada)

Prolog
Adalah pada sebuah panggung—tempat Donald Trump berdiri tegak—dengan gaya bahasanya yang seperti biasanya: antusiastik dan penuh percaya diri, memegang palu besar bertuliskan “Tarif Resiprokal,” siap menerjang negara manapun yang tak sejalan dengan visinya.

Pada 8 April 2025 kemarin, dalam Sarasehan Ekonomi di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menatap panggung Trump itu dengan sorot mata penuh refleksi. Lalu Beliau menyatakan, “It’s purely transactional, enggak ada landasan ilmu ekonominya. Jadi, teman-teman ini ada ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di sini, mohon maaf, tidak berguna Pak, ilmunya hari-hari ini”. Ini seolah Beliau menjelaskan bahwa ilmu ekonomi yang kita pelajari bertahun-tahun, jadi barang usang, tak mampu menjelaskan logika Trump yang liar—tarif 32% untuk baja, otomotif, tekstil, dan alas kaki Indonesia, dan ancaman tarif lebih besar, hingga retaliasi sengit dari Tiongkok dan Canada.

Pragmatisme dan realisme yang kini diduga menggerakkan dunia. Apa benar demikian? Mari kita lihat bersama-sama.

Kita, sebagai ekonom yang dibesarkan oleh buku-buku teks reference ilmu ekonomi, oleh angka-angka, serta oleh equations, proposition, lemma, optimum solutions, mendengar pernyataan itu dengan hati yang masygul. Mengapa? Karena barangkali to some extent, ada nada getir Ibu Menkeu yang telah kita lihat bersama—Beliau dengan pengalaman di kursi keuangan negara yang sangat panjang, tak terbantahkan lagi.

Namun, sesungguhnya, kalau kembali membaca textbook ilmu ekonomi khususnya teori perdagangan internasional, sebenarnya ini adalah purely ilmu ekonomi yang sedang diperagakan oleh Presiden Trump.

Mari kita refleksikan sejenak, dan bedah permainan ini dengan pisau analisis yang lebih tajam dan kritis—dengan Teori Perdagangan Internasional dan Game, dua senjata yang saya yakin berkebalikan dengan yang telah kita dengarkan kemarin.

Kita sebagai ekonom tidak perlu menjelaskan lagi, bahwa Robert C. Feenstra (dalam bukunya Advanced International Trade: Theory and Evidence) yang kuat penjelasan Model H-O dan heterogenitas perusahaan (Melitz). H-O menjelaskan tarif memengaruhi alokasi sumber daya; Melitz fokus pada dampak seleksi perusahaan. Jadi tarif 32% pada baja Indonesia melindungi sektor capital intensive Amerika, tapi meningkatkan biaya input dan menyaring eksportir kecil sampai sedang. Skema trade diversion ke negara lain juga logik per gravity model.

Tak perlu pula kita mengingatkan, tentang Optimal Tariff Argument—dimana negara besar bisa gunakan tarif untuk meningkatkan terms of trade, meski tetap terbuka risiko pembalasan (Avinash Dixit dan Victor Norman, The Theory of International Trade)

Lalu boleh juga kita membuka kembali Jagdish Bhagwati dalam Lectures on International Trade, terutama tentang Specific-Factors Model—tarif untungkan sektor spesifik tapi rugikan perekonomian secara luas. Bhagwati ini anti-proteksionisme, sehingga dengan 32% tarif kepada Indonesia, ini jelas untungkan baja AS tapi bebankan konsumen dan industri lain.

Juga, Peter J. Lloyd (University of Melbourne, salah satu dari mantan pembimbing Ph.D., kami) yang masyhur dengan Effective Rate of Protection, yang sedikit banyak (meski tidak sama) menjelaskan tarif yang memproteksi nilai tambah domestik; dan dampaknya bergantung pada struktur industri. Tarif ini tentu akan meningkatkan ERP baja AS, tapi jika industri Indonesia padat karya, ekspor jatuh karena biaya tak terserap (Dixit dan Norman, The Theory of International Trade).

Trump: Sang Pengatur Permainan
Beberapa hari yang lalu terpapar, bahwa Trump bukan sekadar Presiden; ia adalah pengatur papan catur dagang yang tak suka berkompromi. Ia memukul banyak negara, termasuk Indonesia dengan tarif 32%, menggenggam defisit dagang sebagai tameng, lalu melangkah maju tanpa menoleh. Dalam dunia Game Theory, ini bukan kekacauan acak—ini adalah non-cooperative game yang disengaja. Amerika di bawah Trump bermain sebagai Stackelberg Leader, pemimpin yang menentukan langkah pertama dan memaksa kita—Indonesia—jadi pengikut yang terdesak. Logikanya sederhana sekaligus brutal: “America First,” kemenangan mutlak, tak peduli siapa yang jatuh.

Tapi Trump tak berhenti di situ. Ia membumbui strateginya dengan Brinkmanship—berjalan di tepi jurang sambil mengacungkan obor menyala. Ancaman tarif yang melonjak tiba-tiba, cuitannya yang bikin was-was, dan sikap tak terduga adalah bagian dari permainan ini. Ia ingin dunia melihatnya sebagai “madman” ala Richard Nixon—seseorang yang cukup nekat untuk membakar semuanya, termasuk ekonominya sendiri, demi memaksa lawan berlutut. Dalam istilah Chicken Game, Trump melaju kencang dengan truk raksasa, berharap kita yang mengendarai mobil kecil menepi ketakutan.

Pertanyaannya: apakah kita benar-benar harus menyerah?
Dengan segala hormat, ketika Beliau bilang ilmu ekonomi “tak berguna hari-hari ini,” saya mendengar nada kejujuran seorang praktisi yang lelah dengan teori yang kaku. Tapi saya yakin, ilmu ekonomi sesungguhnya tak pernah benar-benar mati; ia hanya menunggu kita membukanya dengan cara baru. Trump boleh bermain secara mengejutkan, tapi Game bisa jadi kompas kita untuk berinteraksi dengannya.

Namun, alih-alih membalas dengan tamparan tarif yang gegabah, kita duduk di meja perundingan dengan strategi Nash Bargaining. Kita ajak Amerika bicara, tawarkan sesuatu yang menarik—akses pasar ICT atau energi, misalnya—sambil menjaga sikap teguh. Ini bukan pertanda lemah, melainkan sebuah strategi memperbesar kue dagang bersama. Membangun bersama, bukan merusak bersama. Atau, jika Trump terus memukul, kita balas dengan langkah kecil tapi tegas—tarif terbatas pada kedelai atau pesawat AS—sebagai bagian dari tit-for-tat dalam repeated game. Kita tunjukkan bahwa Indonesia tak suka ribut, tapi juga tak mau diinjak-injak. Paling tidak kita mau subgame perfect equilibrium, sebuah keseimbangan yang lahir dari ketegasan terukur.

Lalu, ada celah lain, Trump tak selalu jelas. Dokumen USTR penuh kabut, dan di situlah kita bisa berselancar. Tunda respon keras, dorong perundingan, bahkan arahkan ke tarif nol banding nol zero-for-zero seperti Europe. Dalam Bayesian game, kita ubah persepsi Amerika—Indonesia bukan mangsa, tapi mitra yang tangguh sekaligus terbuka. Ilmu ekonomi tak cuma hidup di sini; ia jadi nyawa strategi kita.

Jadi, apa langkah nyata kita? Pertama, putar kemudi ekspor. Usahakan diplomasi ekonomi optimal agar Trump ke Indonesia lebih ringan. Ini pintu emas untuk tetap mempertahankan pasar Amerika, sekaligus membantu konsumen mereka juga tentunya. Kedua, jangan berjalan sendiri. Genggam tangan ASEAN, bangun koalisi dagang lewat TIFA atau CPTPP, dan buat Amerika mempertimbangkan ulang sebelum memukul lebih keras. Ketiga, mainkan kartu licin: kaitkan tarif dengan urusan besar seperti keamanan Indo-Pasifik. Ini bukan sekadar dagang; ini adalah tawar-menawar di panggung dunia dari banyak perspektif kepentingan. Termasuk kepentingan Amerika yang bisa kita dukung.

Epilog
Saya kembali menatap pernyataan Ibu Sri Mulyani dengan rasa hormat yang mendalam. Beliau benar: Trump membawa dunia ke ranah pragmatisme yang bikin teori perdagangan klasik seolah tak berguna. Tapi, tunggu dulu, dengan izin beliau, saya ingin menyampaikan bahwa ilmu ekonomi bukan korban yang telah layu dan dibuang di sudut ruangan. Ia tergantung kita; ia bisa menjadi pedang yang menanti tangan kita untuk mengayunkannya.

Trump boleh bergaya randomized, madman, dan brinkmanship, namun Indonesia tak perlu terperangkap. Dengan game sebagai penerang, dan Classical International Trade Theory yang tetap jadi landasan kuat, kita bisa bekerjasama dengan Amerika menjadi jauh lebih baik, apalagi ditambah dengan diplomasi berdasarkan ilmu ekonomi yang saling menguntungkan, adil, dan setara. Kita negara kuat. Kita memahami Amerika. Dan kita yakin sepenuhnya bisa bekerjasama mutualisme dengan kepala tegak. Ilmu ekonomi tak mati, dan tak pernah tak berguna. Ia menantikan kita untuk membuktikan bahwa ilmu ini lebih dari sekedar assumption, lemma, proposition, dan proof—namun ilmu ekonomi adalah nyawa perjuangan kita semua.

Secara demikian, with all due respect, tarif yang terkesan sebagai langkah politik—dimana itu benar sebagian, namun justifikasi ekonominya begitu jelas. Terakhir kami mendoakan semoga Presiden Prabowo selalu bisa memberi semangat, dan Ibu Menkeu tidak terlalu kelelahan bekerja merespon Sang Don, supaya tidak terlupa tentang ilmu ekonomi yang dahulu telah lama ditekuninya.

*Telah dipublikasikan di infobanknews.com

Sustainable Development Goals
SDG 8 SDG 9 SDG 10 SDG 16 SDG 17

Views: 2,008
Tags: SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan SDG 16: Perdamaian Keadilan Dan Kelembagaan Yang Tangguh SDG 17: Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan SDG 8: Pekerjaan Layak Dan Pertumbuhan Ekonomi SDG 9: Industri Inovasi Dan Infrastruktur SDGs

Related Posts

Softskill - Interview Skill FEB UGM 2025

Alumni FEB UGM Bagian Tips Sukses Wawancara Kerja Bagi Mahasiswa

Berita Jumat, 14 November 2025

Kemampuan berkomunikasi efektif, memahami diri, dan menyampaikan nilai secara meyakinkan menjadi kunci sukses dalam proses wawancara kerja. Kesadaran inilah yang ingin ditumbuhkan melalui kegiatan Mandatory Soft Skills: Interview Skills, yang digelar Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM bersama Lutfi Anggriawan, MR 5, CFP, CHRM, Branch Office Head (Assistant Vice President) BRI Cabang Yogyakarta Cik Ditiro yang juga alumni Manajemen FEB UGM.

Lutfi, menyampaikan interview skills merupakan kemampuan kandidat untuk mempresentasikan diri dan kompetensinya secara efektif dalam proses wawancara, termasuk dalam komunikasi verbal, non-verbal, serta kemampuan menjawab pertanyaan dengan tepat dan terarah.

Tim Basket Putra FEB UGM

Tim Basket FEB UGM Raih Emas dan Perak Porsenigama 2025

Prestasi Jumat, 14 November 2025

Tim Basket Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) kembali menorehkan prestasi gemilang di Pekan Olahraga dan Seni Universitas Gadjah Mada (Porsenigama) 2025.

Pengukuhan Guru Besar Gugup Kismono

Prof. Gugup Kismono Dikukuhkan Guru Besar, Soroti Work Life Balance di Era Gig Economy

Berita Kamis, 13 November 2025

Dunia kerja masa kini tengah menghadapi tantangan besar akibat perubahan orientasi hidup generasi muda dan meningkatnya tekanan digital. Perubahan besar dalam dunia kerja ini menuntut cara pandang baru terhadap keseimbangan hidup.

Entrepreneurs Table

Tiga Ide Bisnis Inovatif Mahasiswa FEB UGM Pemenang Program Pra-Inkubasi YES! 2025

Berita Rabu, 12 November 2025

Kelompok LAZE, RB Nusantara, dan Bantoo dinobatkan sebagai tiga pemenang Program Pra-Inkubasi Young Entrepreneur Show! (YES!) 2025 yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen (IKAMMA) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM).

Berita Terkini

  • Alumni FEB UGM Bagian Tips Sukses Wawancara Kerja Bagi Mahasiswa
    14 November, 2025
  • Tim Basket FEB UGM Raih Emas dan Perak Porsenigama 2025
    14 November, 2025
  • Prof. Gugup Kismono Dikukuhkan Guru Besar, Soroti Work Life Balance di Era Gig Economy
    13 November, 2025
  • Tiga Ide Bisnis Inovatif Mahasiswa FEB UGM Pemenang Program Pra-Inkubasi YES! 2025
    12 November, 2025
  • Milky Moo, Usaha Mahasiswa FEB UGM dengan Sentuhan Sehat dan Ramah Lingkungan
    12 November, 2025

Agenda

  • 14Nov Public Lecture: Private Equity Introduction
All Events
Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada
Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Jln. Sosio Humaniora No.1, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281

Peta & Arah
Informasi Kontak Selengkapnya

Direktori Fakultas

  • Informasi Publik
  • Manajemen Ruang
  • Manajemen Aset
  • Manajemen Makam

Mahasiswa

  • Komunitas Mahasiswa
  • Layanan Mahasiswa
  • Asrama Mahasiswa
  • Pengembangan Karir
  • Paparan Internasional
  • Beasiswa
  • Magang

Alumni

  • Komunitas Alumni
  • Layanan Alumni
  • Pelacakan Studi
  • Pekerjaan & Magang
  • Beasiswa

Social Media

© 2025 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Kebijakan PrivasiPeta Situs

💬 Butuh bantuan?
1
FEB UGM Official WhatsApp
Halo 👋
Bisakah kami membantu Anda?
Buka percakapan
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju