
Oleh: Muhammad Edhie Purnawan, PhD (Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada)
Prolog
Adalah pada sebuah panggung—tempat Donald Trump berdiri tegak—dengan gaya bahasanya yang seperti biasanya: antusiastik dan penuh percaya diri, memegang palu besar bertuliskan “Tarif Resiprokal,” siap menerjang negara manapun yang tak sejalan dengan visinya.
Pada 8 April 2025 kemarin, dalam Sarasehan Ekonomi di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menatap panggung Trump itu dengan sorot mata penuh refleksi. Lalu Beliau menyatakan, “It’s purely transactional, enggak ada landasan ilmu ekonominya. Jadi, teman-teman ini ada ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di sini, mohon maaf, tidak berguna Pak, ilmunya hari-hari ini”. Ini seolah Beliau menjelaskan bahwa ilmu ekonomi yang kita pelajari bertahun-tahun, jadi barang usang, tak mampu menjelaskan logika Trump yang liar—tarif 32% untuk baja, otomotif, tekstil, dan alas kaki Indonesia, dan ancaman tarif lebih besar, hingga retaliasi sengit dari Tiongkok dan Canada.
Pragmatisme dan realisme yang kini diduga menggerakkan dunia. Apa benar demikian? Mari kita lihat bersama-sama.
Kita, sebagai ekonom yang dibesarkan oleh buku-buku teks reference ilmu ekonomi, oleh angka-angka, serta oleh equations, proposition, lemma, optimum solutions, mendengar pernyataan itu dengan hati yang masygul. Mengapa? Karena barangkali to some extent, ada nada getir Ibu Menkeu yang telah kita lihat bersama—Beliau dengan pengalaman di kursi keuangan negara yang sangat panjang, tak terbantahkan lagi.
Namun, sesungguhnya, kalau kembali membaca textbook ilmu ekonomi khususnya teori perdagangan internasional, sebenarnya ini adalah purely ilmu ekonomi yang sedang diperagakan oleh Presiden Trump.
Mari kita refleksikan sejenak, dan bedah permainan ini dengan pisau analisis yang lebih tajam dan kritis—dengan Teori Perdagangan Internasional dan Game, dua senjata yang saya yakin berkebalikan dengan yang telah kita dengarkan kemarin.
Kita sebagai ekonom tidak perlu menjelaskan lagi, bahwa Robert C. Feenstra (dalam bukunya Advanced International Trade: Theory and Evidence) yang kuat penjelasan Model H-O dan heterogenitas perusahaan (Melitz). H-O menjelaskan tarif memengaruhi alokasi sumber daya; Melitz fokus pada dampak seleksi perusahaan. Jadi tarif 32% pada baja Indonesia melindungi sektor capital intensive Amerika, tapi meningkatkan biaya input dan menyaring eksportir kecil sampai sedang. Skema trade diversion ke negara lain juga logik per gravity model.
Tak perlu pula kita mengingatkan, tentang Optimal Tariff Argument—dimana negara besar bisa gunakan tarif untuk meningkatkan terms of trade, meski tetap terbuka risiko pembalasan (Avinash Dixit dan Victor Norman, The Theory of International Trade)
Lalu boleh juga kita membuka kembali Jagdish Bhagwati dalam Lectures on International Trade, terutama tentang Specific-Factors Model—tarif untungkan sektor spesifik tapi rugikan perekonomian secara luas. Bhagwati ini anti-proteksionisme, sehingga dengan 32% tarif kepada Indonesia, ini jelas untungkan baja AS tapi bebankan konsumen dan industri lain.
Juga, Peter J. Lloyd (University of Melbourne, salah satu dari mantan pembimbing Ph.D., kami) yang masyhur dengan Effective Rate of Protection, yang sedikit banyak (meski tidak sama) menjelaskan tarif yang memproteksi nilai tambah domestik; dan dampaknya bergantung pada struktur industri. Tarif ini tentu akan meningkatkan ERP baja AS, tapi jika industri Indonesia padat karya, ekspor jatuh karena biaya tak terserap (Dixit dan Norman, The Theory of International Trade).
Trump: Sang Pengatur Permainan
Beberapa hari yang lalu terpapar, bahwa Trump bukan sekadar Presiden; ia adalah pengatur papan catur dagang yang tak suka berkompromi. Ia memukul banyak negara, termasuk Indonesia dengan tarif 32%, menggenggam defisit dagang sebagai tameng, lalu melangkah maju tanpa menoleh. Dalam dunia Game Theory, ini bukan kekacauan acak—ini adalah non-cooperative game yang disengaja. Amerika di bawah Trump bermain sebagai Stackelberg Leader, pemimpin yang menentukan langkah pertama dan memaksa kita—Indonesia—jadi pengikut yang terdesak. Logikanya sederhana sekaligus brutal: “America First,” kemenangan mutlak, tak peduli siapa yang jatuh.
Tapi Trump tak berhenti di situ. Ia membumbui strateginya dengan Brinkmanship—berjalan di tepi jurang sambil mengacungkan obor menyala. Ancaman tarif yang melonjak tiba-tiba, cuitannya yang bikin was-was, dan sikap tak terduga adalah bagian dari permainan ini. Ia ingin dunia melihatnya sebagai “madman” ala Richard Nixon—seseorang yang cukup nekat untuk membakar semuanya, termasuk ekonominya sendiri, demi memaksa lawan berlutut. Dalam istilah Chicken Game, Trump melaju kencang dengan truk raksasa, berharap kita yang mengendarai mobil kecil menepi ketakutan.
Pertanyaannya: apakah kita benar-benar harus menyerah?
Dengan segala hormat, ketika Beliau bilang ilmu ekonomi “tak berguna hari-hari ini,” saya mendengar nada kejujuran seorang praktisi yang lelah dengan teori yang kaku. Tapi saya yakin, ilmu ekonomi sesungguhnya tak pernah benar-benar mati; ia hanya menunggu kita membukanya dengan cara baru. Trump boleh bermain secara mengejutkan, tapi Game bisa jadi kompas kita untuk berinteraksi dengannya.
Namun, alih-alih membalas dengan tamparan tarif yang gegabah, kita duduk di meja perundingan dengan strategi Nash Bargaining. Kita ajak Amerika bicara, tawarkan sesuatu yang menarik—akses pasar ICT atau energi, misalnya—sambil menjaga sikap teguh. Ini bukan pertanda lemah, melainkan sebuah strategi memperbesar kue dagang bersama. Membangun bersama, bukan merusak bersama. Atau, jika Trump terus memukul, kita balas dengan langkah kecil tapi tegas—tarif terbatas pada kedelai atau pesawat AS—sebagai bagian dari tit-for-tat dalam repeated game. Kita tunjukkan bahwa Indonesia tak suka ribut, tapi juga tak mau diinjak-injak. Paling tidak kita mau subgame perfect equilibrium, sebuah keseimbangan yang lahir dari ketegasan terukur.
Lalu, ada celah lain, Trump tak selalu jelas. Dokumen USTR penuh kabut, dan di situlah kita bisa berselancar. Tunda respon keras, dorong perundingan, bahkan arahkan ke tarif nol banding nol zero-for-zero seperti Europe. Dalam Bayesian game, kita ubah persepsi Amerika—Indonesia bukan mangsa, tapi mitra yang tangguh sekaligus terbuka. Ilmu ekonomi tak cuma hidup di sini; ia jadi nyawa strategi kita.
Jadi, apa langkah nyata kita? Pertama, putar kemudi ekspor. Usahakan diplomasi ekonomi optimal agar Trump ke Indonesia lebih ringan. Ini pintu emas untuk tetap mempertahankan pasar Amerika, sekaligus membantu konsumen mereka juga tentunya. Kedua, jangan berjalan sendiri. Genggam tangan ASEAN, bangun koalisi dagang lewat TIFA atau CPTPP, dan buat Amerika mempertimbangkan ulang sebelum memukul lebih keras. Ketiga, mainkan kartu licin: kaitkan tarif dengan urusan besar seperti keamanan Indo-Pasifik. Ini bukan sekadar dagang; ini adalah tawar-menawar di panggung dunia dari banyak perspektif kepentingan. Termasuk kepentingan Amerika yang bisa kita dukung.
Epilog
Saya kembali menatap pernyataan Ibu Sri Mulyani dengan rasa hormat yang mendalam. Beliau benar: Trump membawa dunia ke ranah pragmatisme yang bikin teori perdagangan klasik seolah tak berguna. Tapi, tunggu dulu, dengan izin beliau, saya ingin menyampaikan bahwa ilmu ekonomi bukan korban yang telah layu dan dibuang di sudut ruangan. Ia tergantung kita; ia bisa menjadi pedang yang menanti tangan kita untuk mengayunkannya.
Trump boleh bergaya randomized, madman, dan brinkmanship, namun Indonesia tak perlu terperangkap. Dengan game sebagai penerang, dan Classical International Trade Theory yang tetap jadi landasan kuat, kita bisa bekerjasama dengan Amerika menjadi jauh lebih baik, apalagi ditambah dengan diplomasi berdasarkan ilmu ekonomi yang saling menguntungkan, adil, dan setara. Kita negara kuat. Kita memahami Amerika. Dan kita yakin sepenuhnya bisa bekerjasama mutualisme dengan kepala tegak. Ilmu ekonomi tak mati, dan tak pernah tak berguna. Ia menantikan kita untuk membuktikan bahwa ilmu ini lebih dari sekedar assumption, lemma, proposition, dan proof—namun ilmu ekonomi adalah nyawa perjuangan kita semua.
Secara demikian, with all due respect, tarif yang terkesan sebagai langkah politik—dimana itu benar sebagian, namun justifikasi ekonominya begitu jelas. Terakhir kami mendoakan semoga Presiden Prabowo selalu bisa memberi semangat, dan Ibu Menkeu tidak terlalu kelelahan bekerja merespon Sang Don, supaya tidak terlupa tentang ilmu ekonomi yang dahulu telah lama ditekuninya.
Salam hormat.