Oleh: Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A.
Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM
Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko Kesra/PMK RI 2010-2014
Makan Bergizi Gratis atau MBG sejatinya merupakan ide yang bagus, belajar dari pengalaman di negara maju. Program ini memberikan banyak manfaat setidaknya, pertama memperbaiki gizi anak di usia pertumbuhan melalui asupan yang cukup. Kedua, membangun kohesi sosial karena anak mendapatkan makanan yang sama setidaknya sekali selama sekolah. Harapannya akan tumbuh empati dan kepedulian sosial. Ketiga, mengajari anak untuk tertib mengantri saat mengambil makanan, membersihkan makanan. Keempat, anak bertanggung jawab untuk mengambil secukupnya, bertanggung jawab tidak membuang-buang makanan. Kelima, memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan. Keenam, tercipta lapangan kerja serta mencegah urbanisasi.
Tantangan Implementasi
Persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan muncul. Jika dilihat dari sasaran yang ingin dicapai, setidaknya terdapat 28,2 juta siswa SD/MI; 13,4 juta siswa SMP/MTs; 12,2 juta siswa SMK/MA/SMA; dan Dikmas/SLB 2,3 juta siswa sehingga total sekitar 55,1 juta yang harus dilayani. Semua itu tersebar di 329 ribu satuan pendidikan. Belum termasuk lebih dari 20 ribu pesantren. Dengan anggaran Rp15 ribu per siswa, maka setidaknya dibutuhkan dana sebesar Rp247,95 triliun.
Implementasi program MBG dengan dana Rp247,95 triliun ini jauh lebih besar dari dana desa 2025 sekitar Rp71 triliun. Anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah tahun 2025 setidaknya ada Rp347 triliun, sehingga terdapat Rp665,95 triliun dana berputar di daerah. Jumlah yang sangat besar itu akan mendongkrak konsumsi dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi.
Kembali ke pertanyaan awal riuhnya program MBG, persoalan muncul pada delivery mechanism. Sudah banyak berbagai program yang sasaran dan basisnya siswa serta masyarakat tidak mampu seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau bansos. Selama ini menyasar setidaknya 20% keluarga tidak mampu. Tahun 2010 penyaluran BOS juga sempat mengalami persoalan dan akhirnya didistribusikan langsung ke satuan pendidikan. BOS diberikan ke sekolah/madrasah/satuan pendidikan berbasis pada besar kecilnya siswa.
Jadi mengapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada? Bukankah UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa “pendidikan” merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan? Kabupaten/Kota mengelola SD/SMP, Provinsi mengelola SMK/SMA dan pendidikan berbasis agama masih dibawah Kemenag. Oleh sebab itu, beri kewenangan kepada daerah sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring. Berdayakan Pemerintahan Daerah, dan dengan cara demikian maka koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik.
Belajar dari Praktik Baik Negara Maju
Praktek baik MBG di negara maju dilakukan melalui kantin sekolah dan banyak keuntungan dibanding dengan sistem yang dipakai di Indonesia. Melalui kantin sekolah, makanan masih fresh, menghindari makanan basi, skalanya relatif kecil dan lebih terkontrol. Mestinya ini bisa dilakukan di Indonesia, sekolah bersama komite sekolah mampu mengelola dengan baik.
Kebutuhan bahan baku dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah, sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik. Sekolah mendapatkan dana utuh sebesar Rp15.000 per porsi bukan yang terjadi selama ini hanya sekitar Rp7.000 per porsi. Alternatif kedua adalah, dana diberikan secara tunai kepada siswa. Biarkan orang tua membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada putra putrinya. BGN hanya perlu menyusun panduan teknis saja dan melakukan pengawasan.
Guru di sekolah melakukan pengawasan, jika ada anak yang tidak dibawakan bekal, diberi peringatan, hingga satu bulan kemudian orang tuanya dipanggil dan jika masih terjadi penyimpangan maka dihentikan. Cara seperti ini tidak saja menanggulangi praktek pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif. Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau seperti penyaluran BOS jika MBG dilakukan melalui kantin sekolah.
Menghentikan Praktik Rente, Perpendek Rantai Distribusi
Persoalan keracunan jika dirunut terjadi karena panjangnya rantai penyaluran MBG. Selain itu penyaluran MBG melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG), hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program mulia ini. Sungguh menyedihkan jika unit cost Rp15.000 per porsi per anak, akhirnya tinggal hanya Rp7.000 saja? Program Makan Bergizi Gratis benar-benar menjadi “Makan Bergizi Gratis” bagi pengusaha besar. Karena mendapat keuntungan yang besar secara “gratis”. Jika margin per porsi diambil Rp2.000 dan satu SPG melayani Rp3.000 porsi, maka per bulan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp150 juta atau Rp1,8 M per tahun. Secara nasional margin Rp2.000 dari Rp15.000 atau sekitar 13% satu jumlah yang besar.
Sehingga implementasi MBG dengan memberikan tunai kepada siswa akan mampu menekan dan menghilangkan “kebocoran/keuntungan pemburu rente” sebesar Rp33,3 triliun. Masih belum terlambat, mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. MBG harus benar-benar Makan Bergizi Gratis bagi siswa.







