fbpixel Mengenal Lebih Dekat Teori Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economic) - FEB UGM

EBNEWS - Akhir-akhir ini perdebatan pemikiran ekonomi yang mainstream dan non-mainstream kembali menarik. Salah satunya adalah perdebatan Ilmu Ekonomi  Kelembagaan Lama (Old Institutional Economics atau OIE), Ekonomi Neo Klasik  (Neo Clasical Economcis atau NCE) dan Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics atau NIE). Perdebatan muncul sejak pemberian hadiah nobel ekonomi kepada Ronald Coase pada tahun 1991 dengan tulisannya yang berjudul ‘The Nature Of The Firm’ (1937) dan ‘The Problem Of Social Cost’ (1960), Douglas C. North pada tahun 1993 dengan isu-isu Kelembagaan dan Komitmen yang Kredibel (Institutions and Commitment Credibility), sampai dengan dianugerahkannya hadiah nobel di bidang ekonomi tahun 2009, kepada Elinor Ostrom dalam analisis Ekonomi Tata Kelola, terutama Kepentingan Umum (Economic Governance, especially Commons) dan Oliver E. Williamson dalam analisis Ekonomi Tata Kelola terutama Batasan Perusahaan (Economic Governance, especially Boundaries of the Firm).

Tidak dapat dipungkiri, materi-materi bahan ekonomika kelembagaan banyak disarikan dari berbagai jurnal terpilih seperti: American Economic Review, The Journal of Institutional and Theoretical Economics, Journal of Economic Perspectives, Journal of Economic Literature, dan The Journal of Law and Economics. Perkembangan NIE semakin meningkat dengan munculnya masyarakat dunia pencinta teori NIE seperti International Society for New Institutional Economics (ISNIE) dan European School on the New Institutional Economics (ESNIE).

Teori OIE merupakan cabang Ilmu Ekonomi yang tidak memiliki teori dasar ekonomi ortodoks ekonomi klasik ataupun neoklasik. Mereka menentang pemikiran neoklasikal karena dianggap tidak memasukkan sisi-sisi humanistic dalam pendekatannya (Haris, et al., 1995 dan North, 1990). Mereka mengatakan bahwa teori OIE bukan lembaga secara fisik melainkan perilaku ekonomi yang didorong oleh pertimbangan dan perasaan yang secara umum berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu. Sedangkan  teori NCE masih mendominasi sebagai mainstream pemikiran ekonomi  yang masih menekankan kepada mekanisme pasar. NCE dibangun dengan pendekatan teori dan  banyak menggunakan asumsi-asumsi. Asumsi tersebut antara lain adanya informasi yang sempurna (perfect information) yang didapatkan oleh pelaku ekonomi dan tidak adanya biaya transaksi (zero transaction cost). Asumsi lain yang digunakan NCE adalah lingkungan yang kompetitif yang dihadapi oleh pelaku ekonomi, atau persaingan sangat sempurna (perfect competition). NCE juga menganggap setiap pelaku menghadapi situasi yang sama (stagnan rational behaviour) dan mereka bebas keluar masuk pasar (Furubotn and Richter, 1993 dan  North, 1990).

Teori NIE hadir karena mampu memodifikasi, mengembangkan, dan membuka kotak hitam (black box) dari lemahnya aplikasi penggunaan teori NCE di dalam memecahkan persoalan persoalan ekonomi dalam dunia nyata. NIE mengambarkan adanya ketidaksempurnaan informasi dan adanya biaya transaksi. Setiap pelaku ekonomi tidak dapat secara bebas keluar masuk dalam pasar karena tidak semua pelaku memiliki informasi yang sama. Informasi yang tidak sempurna menimbulkan konsekuensi biaya transaksi (transaction cost). Semakin informasi tidak sempurna (adanya asymmetric information) semakin tinggi biaya transaksi yang dikeluarkan pelaku ekonomi. Dalam pandangan NIE, perlu adanya usaha-usaha untuk meminimalkan biaya transaksi. Ada tiga alasan yang mendasari pentingnya peran NIE. Pertama, NIE merupakan suatu teori yang muncul dengan kerangka NCE, tetapi menawarkan jawaban untuk menyempurnakan dan mengembangkan teori tersebut. Kedua, NIE penting dalam konteks kebijakan ekonomi tahun 90-an karena NIE menentang dominasi peran pasar oleh kaum ortodoks NCE. Ketiga, NIE penting karena merupakan teori yang dibangun dengan menyesuaikan perubahan institusi dalam kaitannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Furubotn and Richter, 1993 dan Harris, et al.,1995).

Perdebatan ketiga teori tersebut semakin menarik apabila dilihat dari paradigma metodologi penelitian yang dipergunakan (Creswell, 2003, Darlinton dan Scott, 2002, Hussey dan Hussey, 1997). Selama sepuluh tahun mengamati hasil-hasil penelitian ketiga teori OIE, NCE, dan NIE, paradigma metodologi penelitian teori OIE lebih cenderung fenomonologis yang dicirikan dengan sampel kecil, studi kasus, induktif, observasi langsung, kualitatif, dan bertujuan ingin memodifikasi teori daripada menguji teori. Sedang paradigma metodologi penelitannya NCE cenderung positivis yang dicirikan dengan sampel besar, deduktif, kuantitatif, modeling, dan bertujuan untuk menguji hipotesis atau tes teori. Berbeda dengan OIE dan NCE, paradigma metodologi penelitian NIE strukturnya  lebih bersifat formal dan informal atau cenderung campuran antara positivis dan fenomonologis. Paradigma ini dicirikan dengan penggabungan metodologi kuantitatif dan kualitatif, menggunakan data trianggulasi dan bertujuan untuk memodifikasi teori.

Pada tahun 2000, Williamson telah memperkenalkan evolusi teori NIE melalui empat level analisis sosial seperti di Gambar 1. Garis panah penuh menunjukkan hubungan antara yang lebih tinggi dan yang lebih rendah di mana level yang lebih tinggi menentukan kendala pada level di bawahnya. Garis panah putus-putus menunjukkan hubungan berkebalikan yang menghubungkan level lebih rendah dan level lebih tinggi.

Williamson (2000) menjelaskan level kelembagaan paling awal adalah level I, yaitu teori sosial (social theory) yang merupakan aturan informal yang telah melekat dalam masyarakat, seperti tradisi, agama, norma, adat, dan konvensi keterkandungan atau mindset (embeddedness). Analisis level I sangat dipengaruhi oleh sejarah ekonomi dan ilmu pengetahuan sosial lainnya. Pada level ini, perubahan terjadi sangat lambat,  spontan, dan alamiah pada hitungan abad sampai milenium.

Menurut Williamson, level II terkait dengan lingkungan kelembagaan (institutional environment). Level II menekankan ekonomi kepemilikan (economics of property rights) yang terdiri dari aturan main (hukum), politik dan birokrasi yang meliputi fungsi eksekutif, legislatif, hukum, maupun fungsi birokrasi pemerintahan. Definisi hak milik (property rights) dan hukum kontrak (contract law) merupakan gambaran penting. Pada level ini biasanya disebut ‘level aturan main hak dan kewajiban’ atau ‘level menuju lingkungan kelembagaan ekonomisasi order pertama’.

Level III menekankan struktur tata kelola yang menekankan kontrak dan biaya transaksi (transaction cost economics). Meskipun hak milik tetap penting, fungsi sistem hukum mendefinisikan hukum kontrak dan perlindungan kontrak tidak bisa diabaikan. Pada level ini, biasanya disebut level bagaimana aturan main hak dan kewajiban dimainkan atau ‘level menuju struktur tata kelola ekonomisasi order kedua’.

Level IV menekankan efisiensi sumber daya dan struktur insentif yang merupakan kerangka kerja neoklasik. Analisis marjinal dikembangkan di mana digambarkan sebagai fungsi produksi. Penyesuaian harga dan output bersifat lebih atau kurang kontinu.  Pada level ini, biasanya disebut ‘level menuju kondisi marjinal eonomisasi order ketiga’.

Model Williamson Empat Level Analisis Sosial dalam struktur ekonomi institusional baru dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1

Gambar 1

Dalam makalah ini, penulis mencoba menggunakan keempat level dari model Williamson untuk menganalisis organisasi publik di Indonesia (Jaya, 2010). Beberapa kesimpulan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pada organisasi publik, aturan informal yang merupakan tradisi, norma, adat, agama, dan kebiasaan baik yang bersifat produktif maupun tidak produktif, belum kompatibel dalam mendukung aturan formal. Budaya primordialisme, patron-klien, raja-raja kecil, pangreh praja, dan upeti adalah budaya informal yang melekat (embededness) sebagai mindset perilaku pelaku birokrasi menciptakan biaya tinggi. Budaya transaksional masih menonjol.

Kedua, hak kepemilikan (property rights) kewenangan belum optimal dalam tataran birokrasi  organisasi publik di zaman transisi perubahan paradigma sentralistis menuju desentralistis. Sistem aturan kewenangan (system of rules) yang  pada organisasi publik belum memberikan fungsi dan hak dan kewajiban yang jelas (lack clarity of function).

Ketiga, perilaku yang terbatas (bounded rationality) dan perilaku yang oportunis (oppourtunistic behaviour) menyebabkan hubungan kontrak tidak jelas di organisasi publik, berakibat  meningkatkan biaya transaksi ekonomi (transaction cost economics). Kebijakan birokrasi kontinu dan diskontinu telah menggeser pola penyalahgunaan kekuasaan ”abuse of power” oleh segelintir oknum di lembaga publik.

Keempat, kompleksitas permasalahan di organisasi publik seperti ketidakjelasan aturan kepemilikan kewenangan (institutional environment) dan ketidakjelasan tata kelola (institutional governance), seperti ketidakjelasan kontrak-kontrak hubungan kewenangan, dan ketidakjelasan hubungan principal-agent menghasilkan  ketidakjelasan struktur insentif.

Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep ekonomi kelembagaan baru dapat digunakan untuk memahami: (1) kompleksitas pengelolaan kebijakan organisasi publikyang berkelanjutan dan sekaligus dapat dijadikan ”umbrella” bagi masalah yang terjadi dalam kebijakan organisasi publik di Indonesia, (2) sistematisasi aturan-aturan yang menyangkut persoalan kewenangan, organisasi, penatausahaan, sumber daya manusia, keuangan, hubungan hierarki, pengawasan, serta prosedur perencanaan dan administrasi.

 

Daftar Pustaka

Coase, R.H., 1993. “Coase on Posner on Coase”. Journal of Institutional and Theoretical Economics 149, pp. 96-98.
Creswell, J.W., 2003. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. United State of America: Sage Publications, Inc.
Darlinton, I and Scott, D., 2002. Qualitative Research in Practice Stories from the Field. Crows Nest: Allen & Unwin.
Furobotn, E.G. and Richter, R., 1998. Institutions and Economics Theory, the Contribution of the New Institutional Economics. Michigan: the University of Michigan Press.
Haris, John, et al., 1995. “Introduction: Development and Significance of NIE” dalam John Harris, et al., The New Institutional Economics and Third World Development. London and New York: Routledge.
Jaya, Wihana K., 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Gadjah Mada Press.
North, D.C., 1990. Institutions: Institutional Change and Economic Performance. Cambridge: Press Syndicate of the University of Cambridge.
North, D.C., 1993. “Institutions and Credibility Commitment”. Journal of Institutional and Theoretical Economics 149:11-23.
Williamson, Oliver E., 2000. ”The New Institutional Economics: Taking Stock, Looking Ahead”. Journal of Economics Literature 38(3):595-613.

---
Artikel Dosen: Mengenal Lebih Dekat Teori Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economic)
Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 12 Tahun 2012