EBNEWS - Literatur akuntansi masih sering mempersoalkan apakah disiplin akuntansi itu merupakan seni atau ilmu.1 Kesepakatan tidak selalu tercapai karena tidak definitifnya kriteria klasifikasi. Karakterisasi disiplin akuntansi sebagai seni atau ilmu mempunyai konsekuensi pada pemaknaan teori akuntansi (positif versus normatif) dan bahkan sampai pada orientasi penelitian akuntansi (kuantitatif-deskriptif versus kualitatif-interpretif).
Dengan kondisi pendidikan akuntansi dewasa ini, akademisi akuntansi juga menanyakan apakah disiplin akuntansi itu merupakan disiplin akademik.2 Masalah keakademikan muncul karena akuntansi masuk sebagai disiplin (seperangkat pengetahuan) yang diajarkan di perguruan tinggi yang idealnya berorientasi akademik. Sementara itu, seperangkat pengetahuan akuntansi juga diajarkan di lembaga pelatihan profesional dan vokasional yang berorientasi kompetensi profesional dan keterampilan.
Kalau akuntansi dikarakterisasi sebagai seni, maka yang dimaksud adalah bagaimana menerapkan pengetahuan akuntansi dalam praktik (seperti ungkapan "mengajar itu seni"). Seni adalah kemampuan yang memerlukan perasaan, intuisi, pengalaman, bakat, dan pertimbangan yang secara keseluruhan membentuk kearifan. Dalam akuntasi, seni ini dapat berupa keahlian dan pengalaman untuk memilih perlakuan atau kebijakan terbaik dalam rangka mencapai suatu tujuan akuntansi (pada level perusahaan atau negara) dengan mempertimbangkan faktor nilai (moral, ekonomik, dan sosial).
Sebagai seni, akuntansi merupakan bidang pengetahuan keterampilan, keahlian, dan kerajinan yang mengandalkan pengetahuan dan praktik untuk menguasainya. Kebijakan akuntansi dalam bentuk standar akuntansi harus didasarkan atas pertimbangan yang sehat dan bila perlu akademik agar validitas argumen yang melandasi dapat dipertanggungjelaskan secara logis dan akademik. Kalau dipandang demikian, kajian teori akuntansi akan bersifat normatif untuk menjustifikasi perlakuan akuntansi dalam standar. Validitas justifikasi didasarkan pada kelayakan argumen atau penalaran logis.
Ilmu (sains)3 adalah pengetahuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala alam dan sosial seperti apa adanya dengan metoda ilmiah yang bertujuan untuk menguji dan menetapkan kebenaran (validitas ilmiah) penjelasan suatu masalah. Watts dan Zimmerman menyebutkan: "The objective of accounting theory is to explain and predict accounting practice".4 Agar ilmiah (sebagai ilmu), tujuan menjelaskan dan memprediksi praktik atau fenomena akuntansi menuntut metoda yang mengemulasi metoda ilmu alam untuk menghasilkan hipotesis-hipotesis tentang fenomena amatan yang harus diuji secara empiris dan ilmiah. Akuntansi dipandang sebagai ilmu sosial dan fenomena akuntansi yang menjadi pengamatan adalah perilaku orang yang berkepentingan dengan akuntansi khususnya manager dan akuntan.
Kalau akuntansi dikarakterisasi sebagai ilmu, akuntansi akan merupakan bidang pengetahuan yang menjelaskan fenomena akuntansi secara objektif, apa adanya, dan bebas nilai. Validitas penjelasan dan penyimpulan dituntun oleh kaidah atau metoda ilmiah. Cara pandang inilah yang mendasari berkembangnya teori akuntansi positif sebagai tandingan teori akuntansi normatif. Karena berbasis penelitian dengan metoda ilmiah, teori akuntansi positif akhirnya dimaknai sebagai metoda penelitian kuantitatif-positif sebagai paradigma dalam pengembangan ilmu yang ditandingkan dengan paradigma kualitatif-nonpositif (sering disebut pendekatan alternatif dengan berbagai variasinya).
Sterling mengkritik teori akuntansi positif dalam dua hal yaitu fenomena yang dipelajari dan asumsi bebasnilai.5 Sterling berargumen bahwa teori akuntansi positif telah mengalihkan pokok bahasan akuntansi dari pelaporan keuangan ke praktik para akuntan atau orang-orang di balik pelaporan keuangan. Dengan kartografi sebagai analogi, Sterling menegaskan bahwa teori akuntansi positif telah merancukan antara peta dengan teritori yang dipetakan. Alih-alih mempelajari bagaimana memetakan teritori (kondisi keuangan perusahaan), teori akuntansi mengalihkan perhatian ke map dan orang yang memetakan (analogi akuntan dan manager). Dengan kata lain, alih-alih mempelajari bagaimana membuat peta yang andal, teori akuntansi positif lebih tertarik menjawab atau menjelaskan mengapa pembuat peta lebih suka memakai dasi biru daripada merah.
Dengan mengalihkan perhatian terhadap pokok bahasan, Christenson6 menamai teori akuntansi positif sebagai sosiologi akuntan atau manusia yang terlibat dalam akuntansi. Lebih lanjut dia menjelaskan perbedaan antara teori akuntansi normatif dan positif dari aspek pokok bahasan dan masalah fundamental. Masalah normatif menuntut adanya proposal, preskripsi, atau solusi sedangkan masalah positif menuntut adanya proposisi atau hipotesis. Pengalihan pokok bahasan ini menimbulkan penelitian-penelitian yang topiknya aneh-aneh dan menyimpang jauh dari memberi solusi atau acuan untuk memperbaiki disiplin maupun praktik akuntansi.
Karena beberapa masalah yang berkaitan dengan karakterisasi akuntansi sebagai ilmu (teori akuntansi positif) untuk mengembangkan teori (sebagai ilmu murni), beberapa penulis memaknai akuntansi sebagai teknologi.7 Sudibyo berargumen bahwa seni dan ilmu bukan klasifikasi yang kontinum karena keduanya merupakan kelas dalam taksonomi ilmu pengetahuan. Dengan memahami karakteristik akuntansi secara saksama, kelas yang paling pas untuk menyifati akuntansi adalah teknologi (ilmu terapan) dan akuntansi harus dikembangkan sesuai dengan sifatnya sebagai teknologi. Akuntansi merupakan "perekayasaan informasi dan pengendalian keuangan".8
Kalau dipandang sebagai teknologi, akuntansi akan bersifat utilitarian dan dapat memanfaatkan ilmu lainnya untuk perekayasaan dalam rangka mencapai tujuan pelaporan keuangan. Akuntansi, misalnya, dapat memanfaatkan properitas aljabar/matematika, linguistika, psikologi, dan teori komunikasi untuk kepentingan perekayasaan tanpa harus menjadikan akuntansi sebagai cabang atau turunan dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan menempatkan akuntansi sebagai teknologi, defi nisi akuntansi yang cukup luas harus dikenalkan kepada para pemula di perguruan tinggi agar tidak timbul kesan keliru bahwa akuntansi hanya membahas masalah pencatatan dengan aturan debitkredit.9
Akuntansi merupakan disiplin yang diajarkan di perguruan tinggi yang menghasilkan sarjana akuntansi dan sekaligus merupakan praktik yang dijalankan oleh akuntan. Akuntansi dan praktik akuntansi (juga sarjana akuntansi dan akuntan) memang merupakan dua pengertian yang sangat lekat dan bahkan sering dirancukan. Dari aspek pendidikan tinggi yang idealnya berorientasi pengembangan ilmu pengetahuan, status akademik akuntansi menjadi problematik dan diujung tanduk karena tanpa sadar orientasi dapat bergeser ke profesional bahkan vokasional.
Dalam artikel terpisah, Demski dan Fellingham menengarai bahwa pendidikan akuntansi di universitas dewasa ini sangat vokasional, bahkan hubungan pendidikan akuntansi dan profesi sangat mendalam dan profesi sangat merasuki pendidikan perguruan tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan penyusunan kurikulum yang tunduk pada profesi. Pengembangan dan pemeliharaan kapital intelektual manusia dipercayakan kepada pendidikan profesional di luar perguruan tinggi (secara seloroh Demski menyebutnya PWC University). Kurikulum terlalu banyak bermuatan pengajaran kompetensi akuntan agar lulusan menjadi cocok dengan kebutuhan kompetensi tenaga kerja. Secara spesifik, Demski menuduh keadaan ini sebagai "... Systematically substituting immediate for long-term fundamentals reduces our place at the university .... It omits a variety of exciting, intellectually challenging opportunities, a virtual feast, and commits us, if you will, to intellectual anorexia".
Fellingham menegaskan bahwa akuntansi merupakan program yang menikmati status perguruan tinggi (akademik) tetapi para akademisi tidak bertanggung jawab untuk menghasilkan kontribusi kesarjanaan atau akademik. Selanjutnya, Felingham menyatakan: "This reduces accounting’s ability to speak as a respected source on university and scholarly matters. Absent well-respected sholarly contributions, accounting scholarly credibility is decreased". Dengan kata lain, pendidikan akuntansi di universitas telah kehilangan kedaulatan akademiknya dalam pengembangan disiplin ilmu.
Kondisi di Indonesia seakan-akan merefleksi apa yang dinyatakan Demski dan Fellingham bahkan mungkin lebih parah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/ KMK.01/2011, yang memberi kekuasaan penuh kepada profesi (Institut Akuntan Publik Indonesia/IAPI) untuk menghasilkan akuntan publik, tidak lagi mewajibkan pendidikan universitas sebagai prasyarat sertifikasi akuntan publik. Lagi pula, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagi organisasi akuntan berusaha untuk menguatkan status profesionalnya dengan “mensponsori” Rencana Peraturan Menteri Keuangan tentang Register Negara Untuk Akuntan yang mewajibkan akuntan tidak hanya berregister tetapi juga bersertifikat profesional dengan sebutan Certified Accountant (CA). Program studi akuntansi di universitas menanggapi semua itu dengan antusias dan mencanangkan perubahan kurikulum yang mengarah ke kompetensi dalam profesi. Kedaulatan akademik seakanakan terganggu dengan regulasi untuk profesi tersebut padahal seharusnya tidak.
IAPI dan IAI adalah organisasi profesional para akuntan dan sekarang ini sepertinya belum ada organisasi para akademisi di bidang akuntansi semacam American Accounting Association (AAA) di Amerika. Ini mungkin karena perancuan antara akuntansi (accounting) sebagai disiplin dengan akuntan (accountant) sebagai profesi dan karena perjalanan sejarah pendidikan akuntansi di Indonesia. Organisasi akademisi akuntansi sekarang ini diwadahi dalam Kompartemen Akuntan Pendidik (KAPd) di bawah IAI. Terjadi perancuan antara akademisi akuntansi dan akuntan pendidik. Akadmisi akuntansi sudah lama bergeming (diam saja) mengenai kooptasi dan makna akuntan pendidik. Makna akuntan pendidik adalah akuntan yang mendidik atau mengajar dan makna ini lebih cocok diterapkan untuk para akuntan (CA atau CPA) yang menjadi instruktur dalam pelatihan dan pendidikan profesional, meskipun mereka dapat saja diudang ke universitas untuk menjadi pengajar.
Itulah sebabnya, Demski menuduh bahwa buku teks akuntansi sangat memalukan (embarrassing), bahkan mungkin menyinggung perasaan intelektual (intellectually insulting), yang di Indonesia dapat diartikan buku teks akuntansi menggunakan jargon profesional yang semata-mata karena kesepakatan oleh profesi (dengan alasan pragmatik agar pemelajar tidak bingung, meskipun jargon tidak tepat makna) alih-alih menggunakan istilah akademik (alasan ideal jangka panjang). Ini berarti dunia akademik menganggap organisasi profesi merupakan autoritas final dalam pengembangan ilmu. Ini juga menunjukkan kooptasi yang kuat dunia akademik oleh dunia profesi sehingga hilanglah kemurnian (sanctity) atau kedaulatan akuntansi sebagai disiplin akademik.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebenarnya memberi arah yang jelas mengenai jalur pendidikan yaitu akademik, profesional, vokasional, dan pengalaman. Nafas dan filosofi pendidikan akademik berbeda dengan pendidikan profesional atau vokasional tanpa harus menjadi menara gading.
Adanya perbedaan tersebut mengisyaratkan perlunya organisasi akademik untuk mewadahi kegiatan dan gagasan akademik demi pengembangan disiplin akademik sehingga tidak terjadi kooptasi oleh profesi. Di Indonesia organisasi ini mungkin dapat diberi nama Asosiasi Akademisi Akuntansi (AAA), tanpa kata akuntan, yang kalau diinggriskan menjadi Association of Accounting Academicians (AAA). Organisasi ini tentu saja bukan merupakan pesaing melainkan justru mitra bagi IAI atau IAPI untuk mengembangkan ilmu dan praktik (profesi) yang lebih baik di masa datang.
Catatan
1Misalnya, Wolk, Harry I., Michael G. Tearney, dan James L. Dodd. Accounting Theory: A Conceptual and Institutional Approach. Australia: South-Western College Publishing, 2001, hlm. 38-41.
2Hal ini dikemukakan oleh Demski, Joel S. "Is Accounting an Academic Discipline?" dan Fellingham, John C. "Is Accounting an Academic Discipline?". Accounting Horizons. Vol. 21 No. 2, pp. 153-157, 159-163.
3Suriasumantri berargumen bahwa istilah sains merupakan adopsi yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Alasannya adalah tidak konsisten dengan istilah ilmiah sebagai padanan scientific. Alasan lain adalah istilah sains terlalu sempit untuk mencakupi bidang pengetahuan sosial yang sebenarnya masuk dalam kategori ilmu. Oleh karena itu, dia lebih menganjurkan penggunaan kata ilmu dan ilmiah sebagai padanan science dan scientific. Lihat pembahasan dan argumen lebih lanjut dalam Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, hlm. 291-296.
4Watts, Ross L. dan Jerold L. Zimmerman. Positive Accouting Theory. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc, 1986, hlm. 2.
5Sterling, Robert R. "Positive Accounting: An Assessment." Abacus, Vol. 26, No. 2, 1990: 97-135.
6Christenson, Charles. "The Methodology of Positive Accounting." The Accounting Review, Vol.58, No. 1, 1983: 1-22.
7Misalnya, Littleton, A.C. Structure of Accounting Theory. New York: AAA, 1974, p. 7. dan Gaffikin, M.J.R. "Redefining Accounting Theory." Proceedings of the Second South East Asia University Accounting Teachers Conference di Jakarta 21-23 Januari 1991, p. 229.
8Sudibyo, Bambang. "Rekayasa Akuntansi dan Permasalahannya di Indonesia.” Akuntansi (Juni, 1987).
9Lihat contoh definisi berbasis teknologi dalam Suwardjono. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: BPFE, 2005, hlm. 10.
---
Artikel Dosen: Seni atau Ilmu: Menengok Kembali Properitas Akuntansi Sebagai Disiplin
Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 16 Tahun 2013