
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah menuai pro dan kontra. Dengan anggaran awal Rp71 triliun dan berpotensi akan membengkak, kebijakan ini memicu kekhawatiran akan potensi pemangkasan anggaran di sektor lain, termasuk pendidikan dan kesehatan. Apakah program ini benar-benar bermanfaat atau justru menjadi beban anggaran negara?
Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan (EQUITAS) FEB UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., M.A., Ph.D., menilai program ini dapat memberikan manfaat signifikan jika dijalankan tepat sasaran seperti fokus pada kelompok rentan. Ia menyebutkan program MBG berpotensi meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi dan kesehatan anak. Data Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics 2023 melaporkan bahwa anak-anak yang menerima makanan gratis berpeluang lebih tinggi memiliki ketahanan pangan dan kesehatan yang lebih baik. Selain itu, laporan dari Brookings Institution tahun 2021 menyatakan bahwa program makan gratis berdampak pada peningkatan kinerja siswa di sekolah.
Dalam jangka panjang, program ini juga dapat berdampak positif pada produktivitas tenaga kerja. Namun, dalam konteks penanganan stunting, Wisnu menilai bahwa dampaknya masih perlu dikaji lebih lanjut.
“Pencegahan stunting harus dimulai sejak usia dini, yaitu sebelum usia lima tahun atau pada golden age of children,” jelasnya.
Meski memiliki manfaat, program MBG juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam aspek distribusi dan pengadaan bahan makanan. Wisnu mengungkapkan bahwa program berskala nasional ini berisiko mengalami pemborosan karena sifatnya yang universal, di mana anak-anak dari keluarga mampu juga menerima manfaatnya meskipun tidak membutuhkannya. Selain itu, pemantauan kualitas makanan juga menjadi tantangan tersendiri. Sulit untuk memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan benar-benar memenuhi standar gizi dan kualitas yang ditetapkan.
Pembelajaran dari Negara Lain
Wisnu menjelaskan program pemberian makan gratis bagi anak sekolah juga dijalankan oleh beberapa negara di luar negeri. Salah satunya, Amerika Serikat menjadikan program pemberian makan gratis sebagai bagian dari kebijakan nasional dengan skema Farm to Table. Program ini didanai oleh Sustainable Agriculture Research and Education (SARE) dan melibatkan petani, peternak, pendidik, serta komunitas-komunitas di Amerika Serikat.
“Program ini bertujuan untuk mengembangkan sistem distribusi yang lebih inovatif, memberikan akses terhadap makanan lokal yang bergizi kepada anak sekolah, serta membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah sehingga ongkos logistik lebih murah dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih terjamin,” jelas Wisnu.
Program lainnya yang dilakukan di Amerika Serikat adalah National School Lunch Program (NSLP) yang berperan penting dalam menyediakan makanan bergizi bagi jutaan anak di Amerika Serikat, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah. NSLP menetapkan standar gizi sesuai dengan Healthy, Hunger-Free Kids Act (HHFKA) 2010, antara lain menggunakan makanan lokal dan menyesuaikan menu agar lebih sesuai dengan Pedoman Diet Amerika Serikat.
“Pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung program ini, dengan melibatkan dapur dan pemasok makanan lokal yang terpercaya agar kualitas gizi tetap terjaga,” tambahnya.
Namun, Wisnu menekankan bahwa program semacam ini harus dikelola dengan baik agar tidak justru merugikan petani kecil dan bisnis lokal. Apabila program ini terlalu sentralistik, hanya vendor besar yang akan mendapatkan keuntungan, sementara petani kecil dan UMKM lokal akan tersingkir.
Alternatif Kebijakan
Agar lebih efektif, Wisnu menyarankan agar pemerintah memprioritaskan daerah dan sekolah dengan tingkat food insecurity tertinggi. Dengan anggaran yang terbatas, program ini sebaiknya difokuskan pada anak-anak dari keluarga kurang mampu terlebih dahulu.
“Solusi lainnya adalah dengan memberikan subsidi bahan pangan bagi keluarga miskin, voucher makanan, atau insentif bagi sekolah untuk menyediakan makanan bergizi dengan pendanaan yang lebih fleksibel,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran program ini. Salah satu cara untuk memastikan efektivitas anggaran adalah melalui audit independen serta keterlibatan masyarakat dalam pengawasan.
“Pendekatan desentralisasi bisa menjadi strategi yang lebih efektif karena pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan wilayahnya dan dapat memberdayakan UMKM lokal dalam penyediaan bahan pangan,” tutup Wisnu.
Sebagai bentuk efisiensi sebetulnya pemerintah dapat menggunakan skala prioritas anggaran yang lebih baik. Alternatif pendanaan mencakup peningkatan efisiensi belanja pemerintah dengan pemangkasan anggaran sebaiknya dilakukan secara hati-hati agar tidak merugikan sektor penting. Apabila efisiensi harus dilakukan, pemangkasan dapat diberlakukan pada belanja birokrasi, perjalanan dinas, pajak progresif untuk kelompok kaya, dan proyek infrastruktur yang tidak mendesak.
Tidak hanya itu, Wisnu menyebutkan perlunya dilakukan pengawasan secara ketat untuk memastikan efektivitas anggaran dan mencegah penyimpangan. Transparansi dan akuntabilitas juga perlu diperkuat, misalnya dengan sistem audit independen serta keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan program.
“Selain itu, pendekatan desentralisasi bisa menjadi strategi yang lebih efektif, karena pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan wilayahnya serta dapat memberdayakan UMKM lokal dalam penyediaan bahan pangan,” ujarnya
Wisnu berharap bahwa program ini tidak hanya menjadi kebajikan populis dalam jangka pendek. Lebih dari itu, program diharapkan dapat menciptakan dampak nyata.
“Harapannya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tentunya dengan dukungan mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dan efisien,” pungkasnya.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals