
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi berencana menjadikan KB vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos). Wacana ini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), sekaligus Koordinator Bidang Kajian EQUITAS (Equitable Transformation for Alleviating Poverty and Inequality) Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D, menilai wacana menjadikan vasektomi sebagai persyaratan menerima bansos kurang tepat, meskipun memiliki niat baik.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan pada 4 Mei 2025 terkait polemik ini.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai wacana menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bansos ini?
Sebenarnya yang saya lihat niatnya itu baik. Kita memang mempunyai masalah di mana jumlah anggota rumah tangga lebih besar di kelompok masyarakat bawah dibandingkan dengan kelas atas. Hanya saja, kebijakan yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat agak ekstrem. Selain kontroversial, juga berisiko secara sosial ke depannya.
Memang dari segi tujuan, memang ada niat baik. Mungkin juga dari sisi gender, Kang Dedi Mulyadi melihat ini bukan hanya masalah perempuan atau istri, tetapi juga laki-laki. Oleh karena itu yang didorong adalah vasektomi laki-laki. Namun, menurut saya, kebijakannya terlalu cepat dan terlalu ekstrem. Jadi ada hal-hal yang seharusnya bisa dipikirkan lebih matang, dan mungkin ada alternatif lain yang lebih baik dibandingkan kebijakan ini.
Alternatif yang dimaksud seperti apa?
Ya, banyak sekali. Kita sebenarnya punya contoh sukses di masa Orde Baru, dengan mengaktifkan program keluarga berencana melalui BKKBN, dan itu cukup berhasil menekan angka pertumbuhan penduduk. Mungkin program itu bisa diaktifkan kembali. Selain itu, bisa juga dibuat program yang sifatnya sukarela.
Kalau melihat ke negara lain, banyak kebijakan yang tidak secara langsung menyasar angka kelahiran, tapi berdampak terhadap angka kelahiran. Misalnya di Amerika Serikat dan Inggris, ada aturan tentang tempat tinggal, di mana jumlah kamar harus sesuai dengan jumlah orang yang tinggal. Contohnya, jika hanya ada dua kamar, maksimal hanya boleh dihuni lima orang. Itu membuat orang berpikir ulang saat ingin menambah anggota keluarga. Jadi kebijakan seperti itu menurut saya lebih solutif dan tidak mengandung unsur pemaksaan.
Bagaimana wacana ini dilihat dari perspektif kebijakan sosial dan ekonomi inklusif?
Apabila dikaitkan dengan bansos akan muncul kesan pemaksaan. Narasi yang muncul bisa menjadi marginalisasi dan diskriminasi terhadap keluarga yang tidak mampu. Meskipun niatnya membantu, tetapi bisa menimbulkan eksklusivitas. Yang terpaksa ikut adalah mereka yang membutuhkan bansos.
Akhirnya, kebijakan bansos yang harusnya inklusif malah jadi tidak inklusif, malah eksklusif dan itu sangat berbahaya untuk masa depan keluarga tersebut. Apabila mereka tidak mau ikut vasektomi akan tidak mendapatkan bansos. Jika mereka ikut, kita tidak tahu apakah ke depan mereka tetap tidak ingin punya anak lagi. Dan yang perlu diperhatikan, vasektomi itu perubahan yang sifatnya permanen atau tidak bisa dikembalikan.
Bagaimana kaitannya dengan hak asasi manusia dan prinsip kesukarelaan dalam program KB?
Kalau kebijakan ini benar-benar diterapkan, dampaknya cukup terasa ke masyarakat miskin terasa diskriminatif. Secara prinsip, itu sangat diskriminatif. Karena otonomi tubuh seharusnya dimiliki oleh individu. Negara tidak seharusnya mengatur tubuh seseorang. Negara cukup membuat aturan dan kebijakan, tapi tidak perlu memaksa orang untuk ikut vasektomi. Prinsipnya kesukarelaan
Apakah pendekatan seperti ini efektif dalam pengendalian jumlah penduduk atau justru menimbulkan masalah baru?
Menurut saya pendekatan ini kurang efektif jika nantinya benar-benar diterapkan dan akan menimbulkan berbagai masalah baru seperti yang saya jelaskan tadi. Jika ingin mencontoh keberhasilan Indonesia di masa Orde Baru, khususnya pada periode 1970–1990-an, salah satu program yang terbukti efektif dalam menurunkan angka pertumbuhan penduduk adalah program Keluarga Berencana (KB). Keberhasilan ini dicapai bukan melalui pendekatan koersif, melainkan dengan metode persuasif. Program KB saat itu dijalankan secara sukarela, dengan masyarakat diundang, diajak, dan disosialisasikan mengenai pentingnya perencanaan keluarga. Karena pendekatannya partisipatif dan edukatif, masyarakat pun berkomitmen untuk mengikuti program ini, dan hasilnya cukup signifikan dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk.
Apakah ada risiko moral hazard dari kebijakan ini?
Kebijakan tersebut akan memunculkan moral hazard, terutama ketika masyarakat mencari jalan pintas seperti klinik ilegal atau memalsukan dokumen bukti sterilitas. Hal ini bisa terjadi karena adanya tekanan atau keterpaksaan yang membuat program justru menimbulkan eksploitasi terhadap masyarakat. Oleh karena itu, dibandingkan dengan pendekatan koersif, kebijakan sebaiknya didesain berbasis insentif positif. Misalnya, keluarga yang hanya memiliki dua anak dapat memperoleh insentif khusus seperti pelayanan kesehatan gratis di bidan. Pendekatan ini diyakini lebih efektif karena membuat masyarakat merasa dihargai dan memiliki pilihan, bukan merasa dipaksa.
Bagaimana seharusnya pemerintah merancang kebijakan kependudukan?
Kebijakan yang dibuat seyogyanya manusiawi dan partisipatif. Sebaliknya, jika kebijakan diambil secara represif atau memaksa, justru akan menimbulkan banyak masalah baru. Misalnya, munculnya klinik ilegal atau masyarakat mencari cara untuk menghindari aturan seperti menolak vasektomi secara diam-diam. Hal ini menunjukkan bahwa pemaksaan dapat mendorong masyarakat untuk melanggar atau mencari celah, yang akhirnya lebih berbahaya.
Pendekatan yang memaksa juga berisiko melanggar hak asasi manusia, khususnya hak reproduksi, yang merupakan hak dasar setiap individu. Negara sebetulnya tidak punya kewenangan untuk membatasi hak tersebut. Yang dapat dilakukan adalah menyediakan edukasi yang baik, memberikan insentif, serta menciptakan lingkungan yang mendorong masyarakat untuk mengambil keputusan secara sadar dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, jika ingin mengaktifkan kembali program KB secara efektif, pendekatan yang lebih tepat adalah membangun kesadaran, memberikan edukasi, dan menawarkan insentif, bukan dengan paksaan. Banyak cara alternatif yang dapat ditempuh untuk mendukung keberhasilan program ini, dibanding langsung mengambil jalan ekstrem seperti mewajibkan vasektomi, yang berpotensi menimbulkan penolakan besar dari masyarakat.
Adakah contoh negara lain yang menerapkan kebijakan serupa?
Program seperti ini sebenarnya pernah ada di negara lain, seperti India dan China. Di Tiongkok, dulu pernah diberlakukan kebijakan satu anak. Masalah sosial yang muncul akibat kebijakan ini cukup serius. Salah satunya adalah fenomena missing girls, yaitu hilangnya generasi anak perempuan. Karena hanya diperbolehkan memiliki satu anak, banyak keluarga lebih memilih anak laki-laki yang dianggap kelak akan punya pekerjaan lebih baik dan akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Akibatnya, anak perempuan jadi didiskriminasi. Hal ini berdampak buruk bagi masa depan negara tersebut. Saat ini, mereka menghadapi ketimpangan jumlah laki-laki dan perempuan, sehingga angka kelahiran pun semakin menurun. Ini menjadi masalah jangka panjang yang harus kita pelajari.
Di India, situasinya serupa. Pemerintah sempat melakukan digitalisasi massal untuk program pengendalian penduduk pada tahun 1970-an. Namun, banyak penolakan dan protes dari lembaga-lembaga HAM serta masyarakat umum. Akhirnya, program tersebut dihentikan karena dinilai melanggar hak asasi manusia.
Dari dua negara itu, pendekatan yang bersifat pemaksaan tidak ada yang berhasil. Yang terbukti berhasil justru program di Indonesia pada era Orde Baru, sekitar tahun 1970–1990-an. Saat itu, pemerintah menggunakan pendekatan persuasif lewat program Keluarga Berencana (KB) dan hasilnya cukup efektif dalam menurunkan angka pertumbuhan penduduk.
Bagaimana dampak jangka panjang terhadap kepercayaan publik terhadap program bantuan pemerintah?
Kebijakan vasektomi ini jika dipaksa maka akan memunculkan antipati. Vasektomi niat baik cuma ketika dipaksa akan buat orang bertanya-tanya. Selain itu, kebijakan koersif dikhawatirkan akan berdampak negatif dalam jangka panjang terhadap kepercayaan publik kepada pemerintah. Ketika masyarakat merasa bahwa negara terlalu mengatur kehidupan pribadi mereka, hal ini bisa menimbulkan antipati dan ketidakpercayaan, bahkan terhadap program-program pemerintah lain yang sebenarnya baik. Ini menimbulkan pertanyaan di benak rakyat apakah mereka masih punya hak menentukan hidup sendiri, atau semuanya diatur negara. Untuk itu, sangat penting agar kebijakan yang dibuat bersifat manusiawi dan partisipatif. Pemerintah sebaiknya mendengarkan kebutuhan masyarakat dan memberikan edukasi menyeluruh mengenai dampak memiliki banyak anak, seperti risiko kurang gizi dan beban ekonomi. Dengan begitu, masyarakat bisa memahami manfaat perencanaan keluarga secara sukarela, bukan karena tekanan atau paksaan.
Rekomendasi bagi pemerintah dalam menyelaraskan kebijakan kependudukan, kesejahteraan, dan hak individu secara adil?
Rekomendasi bentuk kebijakan pertama hidupkan KB, voluntary family planning, sosialisasikan kebijakan reproduksi. Isu anak banyak bukan hanya soal anak tetapi jug pernikahan dini. Harusnya ke arah situ jadi kunci
Ada catatan selain edukasi reproduksi. Hindari paksaan, karena koersif menimbulkan distrust. Lalu, mendorong peningkatan kesejahteraan jika mengikuti KB, bukan karena finansial namun pilihan dengan memperluas social protection atau social security dan lain-lain. Setelah melakukan edukasi bisa membuat inovasi seperti insentif KB jumlah anak yang sekarang mulai hilang. Contohnya seperti di AS, bisa mendapatkan kontrasepsi gratis hingga voucher untuk mengikuti summer activity.
Wawancara: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals