
Kepatuhan penyampaian laporan pajak orang pribadi mengalami penurunan. Apakah kondisi ini berdampak pada penurunan penerimaan pajak negara?
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE., menilai penurunan kepatuhan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2024 wajib oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) belum tentu menurunkan penerimaan pajak.
“Penurunan pelaporan SPT tidak serta-merta berdampak langsung pada penurunan penerimaan pajak dalam jangka pendek,” jelasnya baru-baru ini.
Rijadh menjelaskan bahwa kinerja penerimaan pajak pada dasarnya diukur dari total nominal pajak yang berhasil dikumpulkan, bukan dari rasio jumlah pelaporan SPT terhadap total populasi WPOP. Penurunan pelaporan SPT lebih layak dipandang sebagai sinyal yang perlu diwaspadai pemerintah, terutama jika tren ini berlanjut dari tahun ke tahun daripada sebagai penyebab langsung turunnya penerimaan pajak.
Faktor Penyeimbang
Dalam praktiknya, Dosen pada Program Studi Akuntansi FEB UGM ini menyebutkan masih terdapat beberapa faktor penyeimbang yang dapat menahan dampak negatif dari menurunnya pelaporan SPT. Pertama, penerimaan negara tetap dapat meningkat melalui sistem pemotongan pajak langsung (withholding tax). Jika pendapatan masyarakat meningkat, misalnya melalui gaji, bunga deposito, atau dividen, maka pajak yang dipotong secara langsung oleh pemberi kerja, bank, atau institusi lainnya. Kedua, peningkatan daya beli masyarakat mendorong konsumsi, yang pada gilirannya meningkatkan penerimaan dari pajak tidak langsung seperti PPN dan PPnBM. Apalagi, tarif PPN dijadwalkan naik menjadi 12% pada 2025. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang sehat dan membaiknya kinerja korporasi juga meningkatkan basis pajak badan, sehingga penerimaan dari PPh Badan dapat mengimbangi penurunan dari sektor orang pribadi.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak, jumlah total SPT Tahunan yang diterima hingga batas akhir pelaporan pada tahun ini tercatat sebanyak 14.053.221 SPT, turun sebesar 1,09 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 14.207.642 SPT. Penurunan ini terutama terjadi pada Wajib Pajak Orang Pribadi, yakni sebesar 1,21 persen dari 13.159.400 SPT menjadi 12.999.861 SPT. Sebaliknya, pelaporan SPT dari Wajib Pajak Badan justru mengalami kenaikan tipis sebesar 0,49 persen, dari 1.048.242 menjadi 1.053.360 SPT.
Penyebab Penurunan Pelaporan
Rijadh mengatakan penurunan pada SPT WPOP ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya, meningkatnya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau perubahan status pekerjaan yang membuat penghasilan WPOP tidak lagi melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Di sisi lain, gangguan teknis pada sistem Coretax DJP yang sempat terjadi mendekati tenggat waktu pelaporan juga menjadi penyebab terganggunya proses pelaporan.
“Meskipun dampak jangka pendek terhadap penerimaan mungkin dapat dikendalikan, penurunan kepatuhan pelaporan SPT tetap membawa risiko jangka panjang yang serius,” ucapnya.
Tanpa pelaporan SPT, lanjutnya, potensi underreporting dan penghindaran pajak menjadi sulit terdeteksi, terutama dari segmen penghasilan yang tidak dipotong otomatis. Selain itu, penurunan kepatuhan ini memperbesar ketergantungan penerimaan pada sektor formal saja. Jika pertumbuhan ekonomi justru terjadi di sektor informal, seperti bisnis daring atau freelance tanpa NPWP, potensi penerimaan bisa stagnan atau bahkan menurun. Risiko lainnya adalah hilangnya hak WPOP untuk mengajukan koreksi atau restitusi atas pemotongan pajak yang berlebih, yang pada akhirnya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
“Yang paling mengkhawatirkan, penurunan kepatuhan pelaporan SPT bisa memicu erosi budaya patuh pajak secara sistemik. Jika dibiarkan, hal ini bisa memperbesar shadow economy dan menggerus basis pajak nasional di masa mendatang,” paparnya.
Lebih lanjut Rijadh menjelaskan penurunan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan oleh WPOP dapat disebabkan oleh kombinasi faktor perilaku, teknis, dan ekonomi makro. Dari sisi perilaku, rendahnya tax morale akibat persepsi negatif terhadap efektivitas dan transparansi penggunaan dana pajak, tingginya biaya psikologis karena sistem yang dianggap rumit, dan keterbatasan pemahaman mengenai manfaat pelaporan jangka panjang (bounded rationality), menjadi faktor dominan. Secara teknis, digitalisasi sistem perpajakan yang belum inklusif, kejenuhan dalam pengunggahan dokumen (data fatigue), serta gangguan sistem DJP Online dalam masa transisi ke Coretax, turut menyulitkan proses pelaporan. Dari sisi ekonomi makro, tekanan ekonomi dan perubahan status pekerjaan, seperti PHK atau penghasilan yang berada di bawah PTKP, membuat sebagian orang merasa tidak perlu melapor.
Startegi Meningkatkan Kepatuhan
Untuk mengatasi penurunan ini, Rijadh mengatakan bahwa pemerintah dapat mempertimbangkan tipologi motivasi wajib pajak sebagaimana dikemukakan oleh Paleka & Vitezić (2023). Wajib pajak dengan motivasi ekstrinsik (extrinsically motivated) dapat ditingkatkan kepatuhannya melalui penguatan sanksi, intensifikasi audit, dan penyederhanaan sistem pelaporan. Sementara itu, kelompok yang terdorong secara moral (morally committed) perlu didekati dengan membangun kepercayaan melalui transparansi penggunaan pajak, edukasi nilai, dan peningkatan kredibilitas institusi pajak. Untuk wajib pajak dengan motivasi finansial (financially motivated), strategi insentif konkret, reformasi tarif yang adil, dan penonjolan manfaat langsung dari pembayaran pajak menjadi kunci. Sedangkan kelompok dengan komitmen sosial (socially committed) akan merespons baik terhadap kampanye berbasis komunitas, partisipasi sosial, dan narasi kolektif tentang manfaat pajak.Rijadh menyampaikan bahwa pemerintah dapat menerapkan berbagai langkah strategis. Salah satunya menggunakan prinsip nudge theory dalam sistem pelaporan seperti menyisipkan pesan sosial yang mendorong konformitas, membangun kesadaran pajak sejak dini melalui pendidikan untuk menciptakan “tax citizenship“, dan menyederhanakan pelaporan SPT dengan pendekatan berbasis pengalaman pengguna (UX), seperti sistem one-click filing bagi pegawai tetap. Disamping itu juga mengintegrasikan pelaporan pajak dengan ekosistem ekonomi digital seperti e-commerce dan aplikasi ride-hailing guna menjangkau pelaku ekonomi informal. Penerapan model presumptive taxation bagi sektor informal dengan administrasi sederhana seperti tarif final 0,5% untuk UMKM juga dapat menjadi solusi efektif.
“Selain itu, pemberian insentif bagi pelapor tepat waktu seperti akses prioritas layanan publik, potongan administrasi, atau percepatan restitusi akan efektif mendorong kepatuhan, terutama dari kelompok yang sensitif terhadap insentif,” pungkasnya.
Reportase: Orie Priscylla Mapeda Lumalan
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)