
Pernahkah Anda berdiri di depan meja buffet dan merasa takjub pada barisan makanan yang seolah tiada habisnya? Namun, pernahkah Anda sadar, bahwa kekaguman itu sering berubah menjadi piring yang terlalu penuh. Akhirnya, tidak sedikit makanan yang terbuang.
Dosen Departemen Manajemen FEB UGM, Widya Paramita, Ph.D., bersama Arief Fathoni Argadian melakukan penelitian terkait konsumsi dengan penuh kesadaran (mindful consumption). Penelitian berjudul Awe at the Buffet: Turning Wonder into Mindful Consumption dilakukan untuk memahami rasa kagum (awe) dapat mempengaruhi cara seseorang mengonsumsi makanan di hotel buffet.
“Pengalaman sehari-hari, seperti makan di restoran, menyimpan pelajaran besar tentang perilaku manusia dan tanggung jawab kita terhadap lingkungan,” jelasnya.
Mita menyampaikan restoran buffet hotel identik dengan kelimpahan. Hidangan tersaji tanpa batas dan suasana makan dirancang untuk memanjakan. Namun, ada persoalan besar yang tersembunyi yaitu tentang plate waste. Makanan sudah diambil, tetapi akhirnya terbuang sia-sia.
“Fenomena ini bukan sekadar soal dapur, tetapi juga cermin perilaku konsumsi manusia. Pertanyaannya, apakah rasa kagum yang muncul di meja buffet bisa diarahkan menuju perilaku yang lebih mindful?,” ucapnya.
Mita menyampaikan jawaban atas persoalan tersebut adalah awe. Awe bukan sekadar rasa kagum, tetapi emosi mendalam. Biasanya awe muncul dari alam atau karya arsitektur. Namun dalam konteks ini, awe juga bisa hadir dari pengalaman buffet yaitu menu yang berlimpah, dekorasi yang memikat, atau pelayanan staf yang penuh perhatian.
“Dan dari perasaan itu potensi mindful consumption bisa tumbuh. Konsumsi yang lebih sadar, penuh tanggung jawab, dan tidak berlebihan,” jelasnya.
Lantas, bagaimana proses itu terjadi? Mita menjelaskan mindful consumption tumbuh melalui self-transcendence.Rasa kagum dapat membawa manusia pada kesadaran spiritual, empati pada mereka yang kelaparan atau kepedulian terhadap kelestarian bumi.
Berikutnya, melalui self-efficacy. Keyakinan bahwa manusia mampu mengendalikan diri, mampu mengambil secukupnya,dan percaya bahwa langkah kecil yang diambil memiliki dampak nyata.
Namun, hasil penelitian yang telah terbit dalam International Journal of Hospitality Management 2025 ini menunjukkan bahwa rasa kagum saja tidak cukup. Ia baru bermakna ketika berubah menjadi kesadaran dan keyakinan untuk bertindak.
“Peran environmental knowledge juga penting. Sebab, semakin tinggi pemahaman seseorang tentang isu lingkungan, semakin kuat pula hubungan antara awe dan mindful consumption,” imbuhnya.
Mita menyampaikan sejumlah responden penelitian menyatakan bahwa mereka melakukan mindful consumption karena ajaran agama. Berlebihan merupakan perilaku yang dilarang Tuhan. Alasan lain adalah menyisakan makanan sama dengan tidak menghormati mereka yang kelaparan. Ada pula yang berhasil mengontrol diri karena alasan diet atau kesehatan.
Namun, ada juga yang gagal karena tidak kuasa menolak kelezatan dessert yang terus tersaji. Mindful consumption bukanlah hal yang mudah, tetapi sebuah pergulatan antara impuls dan kendali diri.
“Dari sini kita belajar, bahwa hotel dan restoran tidak hanya menjual makanan, tetapi juga membentuk pengalaman emosional. Dengan desain interior yang menenangkan, variasi menu yang menggugah, dan edukasi lingkungan yang halus, awe dapat diarahkan menjadi perilaku konsumsi yang lebih bijak,” urainya.
Pembelajaran lain bagi konsumen adalah bukan hanya soal kenyang, tetapi juga rasa syukur. Setiap makanan yang dihabiskan adalah langkah kecil untuk bumi.
“Awe dapat menjadi jembatan antara kemewahan dan keberlanjutan. Dari pengalaman sederhana di meja buffet, kita bisa belajar mindfulness, kepedulian, dan tanggung jawab. Karena mindful consumption bukan sekadar tren, tetapi sebuah panggilan moral di tengah dunia yang penuh kelimpahan,” pungkasnya.