Tidak ada institusi yang kebal terhadap krisis. Ketika tidak dikelola dengan baik, krisis dapat mengguncang reputasi lembaga, menimbulkan kerugian ekonomi, dan menurunkan tingkat kepercayaan publik. Karena itu, cara sebuah institusi merespons krisis sangat krusial dalam menekan dampak krisis.
Strategic Communication Consultant, Winda Mizwar Pratiwi, S.E., M.Ikom., menegaskan bahwa organisasi yang mengambil langkah proaktif sejak awal krisis dapat mengurangi kerugian reputasi hingga 30 persen dibandingkan organisasi yang merespons secara reaktif. Hal ini ia sampaikan dalam pelatihan Manajemen Krisis dan Komunikasi Publik yang diselenggarakan melalui kolaborasi FEB UGM dan Sekretariat Universitas UGM pada Jum’at (14/11/2025) di Djarum Hall, FEB UGM.
Dalam workshop yang diikuti oleh staf profesional FEB UGM ini, Winda mengajak staf profesional FEB UGM untuk berlatih mengelola, merespon, dan membentuk narasi dalam menghadapi krisis. Melalui upaya ini diharapkan saat terjadi krisis, nantinya institusi tidak hanya bertahan namun muncul lebih kuat dan semakin dipercaya.
“Stop bertindak reaktif saat menghadapi krisis. Mulai untuk reflektif dan mengubah krisis menjadi kesempatan,” ucapnya.
Winda menyebutkan hasil studi yang dilakukan Edelman Trust Barometer (2022) menunjukkan bahwa respon empatik dalam 24 jam pertama meningkatkan pemulihan reputasi hingga 42%. Lalu etika dasar seperti apa yang dibutuhkan saat menghadapi isu dan krisis? Winda menekankan institusi harus melihat sudut pandang tepat agar publik tidak keliru. Berikutnya, mendengarkan karena diam yang penuh empati lebih kuat daripada seribu pembelaan. Tidak kalah penting saat menghadapi krisis adalah menenangkan manusia di dalamnya, serta menghubungkan fakta dengan rasa, data dengan empati, kebijakan dengan kebutuhan manusia.
“Setelah krisis, yang dibutuhkan bukan hanya perbaikan citra, tetapi narasi masa depan. Bahwa kita belajar, kita berubah, dari badai itu lahir komitmen baru,” paparnya.
Lebih lanjut Winda menjelaskan tiga tahap dalam fase krisis. Pertama, membangun budaya kesiapan bukan panik atau mengabaikan. Kedua adalah tentang komunikasi, transparansi, dan ekspektasi. Tahap ketiga adalah paca krisis, yakni pemulihan citra dan empati publik.
Ia pun mencontohkan upaya yang perlu dilakukan institusi termasuk FEB jika terjadi krisis. Sejumlah prosedur operasional standar yang harus diambil adalah melakukan aktivasi tim krisis fakultas, melakukan konsolidasi fakta dan kronologi, menyiapkan narasi resmi, menyiapkan FAQ media, mengelola komunikasi dengan keluarga korban atau pihak terkait, menentukan juru bicara, dan koordinasi dengan humas universitas.
Winda juga menekankan pentingnya untuk memahami bagaimana audiens akan merespon informasi yang disampaikan baik melalui siaran pers maupun saluran komunikasi lainnya. Oleh sebab itu penting melakuan pemetaan audiens mulai dari segmentasi demografis, pemilihan nada pesan hingga kanal distribusi pesan yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing audiens agar informasi yang disampaikan dapat dengan efektif.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum



