Struktur Ekonomi "Tidak Sehat" Sebabkan Rupiah Terpuruk
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1686
Nilai tukar rupiah menembus angka 15 ribu rupiah per dolar AS dalam beberapa pekan terakhir. Nilai ini termasuk terendah dalam tahun ini, bahkan terendah sejak krisis Asia pada tahun 1998.
Sejumlah kebijakan pun telah diluncurkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Meski begitu masih terlalu dini menyimpulkan ancaman krisis sudah lewat. Merosotnya nilai rupiah yang diikuti merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memunculkan sejumlah pertanyaan terkait soal fundamental ekonomi Indonesia.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro, M.Soc., Sc, mengatakan terpuruknya nilai rupiah dan anjloknya IHSG dikarenakan struktur ekonomi Indonesia yang sejak lama "tidak sehat". Meski sempat diberi obat oleh IMF, namun tidak ampuh dam nampaknya masih perlu menambah "obat lagi" agar mampu menyembuhkan Indonesia dari penyakit kronis.
"Melemahnya rupiah dan IHSG tentu perlu dicari akar masalahnya. Faktor ekternal sesungguhnya hanyalah pemicu, karena sumber penyakit kronis yang membikin struktur ekonomi "tidak sehat" itulah yang perlu diprioritaskan dan kemudian dipilih obatnya," katanya di ruang sidang Dewan Guru Besar UGM, Selasa (16/10) pada diskusi bulanan bertema "Strategi Upaya Menguatkan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dolar."
Tanpa ada kenaikan bunga di AS pun, neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang tidak sehat telah mengakibatkan pelemahan rupiah. Jika tidak ada perubahan mendasar kebijakan makro dan sektoral, maka ancaman krisis di pasar modal dan valas, cepat atau lambat akan merembet ke semua sektor, termasuk tradisional dan Usaha Kecil Mikro (UKM).
Menurut Mudrajat penyakit kronis yang menggerogoti ekonomi Indonesia dan membuat tidak sehat adalah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang terus berlanjut. Posisi defisit transaksi berjalan (current account deficit) di kuartal II tahun 2018 sebesar US$ 8 miliar atau 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka ini dinilai membengkak dibanding triwulan IV 2017 yang USD 5,8 miliar (2,2 persen dari PDB), apalagi pada triwulan IV 2016 hanya USD 1,8 miliar (0,7 persen dari PDB). Meningkatnya defisit ini diakibatkan oleh menyusutnya surplus neraca perdagangan nonmigas serta meningkatnya defisit neraca perdagangan migas dan neraca jasa.
Sementara, surplus neraca perdagangan nonmigas menurun karena impor nonmigas meningkat melampaui peingkatan ekspor nonmigas. Defisit neraca perdagangan migas meningkat, terutama didorong oleh peningkatan impor minyak yang lebih besar dari peningkatan ekspor minyak.
"Kenaikan defisit neraca jasa terutama dipengaruhi oleh peningkatan defisit jasa transportasi seiring kenaikan impor barang," papar Mudrajat.
Mudrajat menandaskan terjadinya defisit transaksi berjalan karena didorong terus menurunnya ekspor akibat pelambatan ekonomi global, penurunan tajam harga komoditas global ditengah masih tingginya impor, baik migas maupun nonmigas. Selain itu, adanya pembayaran bunga utang yang cukup besar sejak triwulan II-2013.
"Akhir Mei 2015, cadangan devisa sebesar US$ 110,77 miliar, yang ekuivalen dengan 7, 1 bulan impor. Bandingkan dengan posisi cadangan devisa akhir Juni 2018 yang tercatat US$ 118,06 miliar, yang menurun dibandingkan dengan posisi akhir Januari 2018 yang mencapai US$ 131,98 miliar," ucapnya.
Untuk masalah ini, kata Mudrajat, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, diantaranya menerapkan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 22) untuk 1.147 komoditas, mandatori penggunaan biodisesel 20 persen untuk mengurangi penggunaan solar agar mampu menghemat impor US$ 2,2 miliar dalam 4 bulan kedepan. Disamping itu, upaya meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di berbagai lini industri, menggenjot pendapatan devisa dari sektor pariwisata untuk mengeruk devisa dari wisatawan mancanegara.
Dalam otoritas moneter, sejumlah langkah dilakukan BI untuk menjaga stabilitas rupiah. Terkait ini, melalui UU No. 6/2009 memberi mandat kepada BI menjaga kestabilan nilai rupiah dengan menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (inflation targeting framework) dengan menganut sistem nilai tukar mengambang.
Bagi Mudrajat, pemerintah perlu memprioritaskan sejumlah "pekerjaan rumah" terkait dengan rantai ekspor dan sejumlah faktor penyebab ekonomi biaya tinggi. Diantaranya biaya mengurus kontainer di pelabuhan masih tertinggi di ASEAN, Pungli, Industri dihadapkan tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara dan komponen untuk seluruh industri sebesar 28-90 persen.
Sebesar 80 persen ekspor nonmigas adalah produk industri manufaktur maka industri perlu diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing. Juga mengaitkan pengembangan industri kecil dan menengah, menciptakan struktur industri yang sehat, percepatan pengembangan industri di luar Jawa.
"Menghapus 93,39 persen pos tarif, 6.683 dari 7.156 pos tarif di jalur normal dan bahkan 100 persen tahun 2012. Rencana pemerintah untuk meningkatkan bea masuk produk impor perlu dikaji lebih mendalam, apalagi jika produk impor ini digunakan sebagai bahan baku utama industri dan UKM seperti kedelai, kapas, gula, perak dan bijih besi," ungkapnya.
Sumber: Agung/UGM