Revrisond Baswir: Ekonomi Kerakyatan Harus Dijalankan Secara Benar
- Detail
- Kategori: Berita
- Dilihat: 7402
Pengamat ekonomi kerakyatan UGM, Drs. Revrisond Baswir, M.B.A., menekankan agar pemerintah yang akan datang harus menerapkan ekonomi kerakyatan secara benar dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
“Apabila ekonomi kerakyatan diterapkan secara benar, maka potensi peningkatan kesejahteraan masyarakat jauh lebih besar,” ujar staf pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) yang akrab disapa Bung Sony saat dihubungi wartawan di kampus UGM, Rabu (27/5).
Lebih jauh dijelaskan oleh mantan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM ini, dalam pelaksanaan ekonomi kerakyatan yang diutamakan adalah ke arah pencapaian kemakmuran masyarakat dan bukan orang per orang sebagaimana dalam ekonomi neoliberalisme.
“Ekonomi kerakyatan adalah antitesis dari neoliberalisme. Ekonomi neoliberalisme dasarnya adalah individualisme, sementara ekonomi kerakyatan lebih kepada kemakmuran bersama,” jelasnya.
Dalam persiapan pengembangan ekonomi kerakyatan, kata Sony, masyarakat Indonesia memiliki potensi untuk melawan ekonomi neoliberalisme. Hal itu disebabkan 80 persen pelaku ekonomi berada di sektor informal. Di samping itu, secara makro, ekonomi Indonesia belum masuk ke jaringan ekonomi kapitalisme internasional.
“Angkatan kerja kita 70 persen masih bekerja di sektor informal. Hampir 90 persen dari total unit usaha adalah UKM sehingga saat Amerika, Jepang, Jerman, dan Singapura mengalami kontraksi 10 persen, maka ekonomi kita masih bisa tumbuh,” terangnya.
Disebutkan Sony, ketahanan ekonomi nasional terletak di pedesaan dan kaum miskin kota. Oleh karena itu, dibutuhkan kepemimpinan pemerintah yang memiliki agenda menjadi fasilitator antara kekuatan ekonomi menengah ke bawah agar dapat menjadi penyangga ketahanan ekonomi nasional.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sosiatri UGM, Prof. Dr. Susetiawan, mengatakan bahwa pemerintah nantinya harus mengubah cara pandang tentang program pengentasan kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sejak era Soekarno hingga era reformasi selalu mengartikan kemiskinan sebagai kurangnya sesuatu atau kebutuhan. Dengan demikian, pengentasannya pun dengan cara memberikan sesuatu kepada masyarakat.
“Harus ada perubahan paradigma mengenai konsep kemiskinan. Miskin tidak harus didefinisikan kurangnya kebutuhan, tapi miskin cerminan dari ketidakmampuan untuk berkreasi,” jelasnya.
Sumber : www.ugm.ac.id