Peran Pemerintah Terhadap Nasib Para Petani Tembakau Belum Optimal
- Detail
- Ditulis oleh Kirana
- Kategori: Berita
- Dilihat: 4437
Mempersembahkan sebuah topik yang cukup kontroversial terkait ekonomika tembakau, pada Jumat (26/11) Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bersama dengan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) dan Forum Kajian Pembangunan (FKP) menggelar Seminar dan Kuliah Umum (SinarKU) dengan tema "Penghidupan Petani Tembakau dan Kebijakan Pendukung di Tengah Pusaran Kebijakan Cukai."
Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara, yaitu Dr. Gumilang Arya Sahadewo, selaku akademisi dari FEB UGM, dan Dr. Rochiyati Murniningsih, selaku akademisi dari Universitas Muhammadiyah Magelang. Tak hanya dari kalangan akademisi saja, dalam sesi seminar kali ini turut pula menghadirkan Pak Tuhar dan Pak Istanto selaku mantan petani tembakau untuk menjadi pembicara.
Pembahasan pada seminar ini dilatarbelakangi oleh kebijakan kontroversial dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mempengaruhi kehidupan para petani tembakau di Indonesia, terlebih lagi kontribusi tembakau masih cukup minor dalam GDP (sekitar 0,3%). Maka dari itu, hal tersebut menjadi hal yang menantang bagi kesejahteraan petani tembakau di Indonesia jika terdapat perubahan cukai yang disponsori oleh Kemenkeu.
Pada tahun 2020, Cukai Hasil Tembakau (CHT) sudah naik sekitar 11% dan terdapat wacana menjelang 2022 ini CHT akan ditingkatkan sebesar kurang lebih 12,5%. Tentu hal ini kurang ideal untuk petani tembakau karena jika kita lihat pada tahun 2021, musim kemarau diwarnai dengan hujan sehingga mendisrupsi jumlah produksi serta kualitas tembakau yang dihasilkan. Untuk memitigasi kerugian yang diderita petani, Kemenkeu menerapkan adanya kompensasi yang disebut Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Diskusi diawali dengan penyampaian penelitian berjudul "Ekonomika Pertanian Tembakau di Indonesia: Hasil Survei Gelombang Ketiga" oleh Dr. Gumilang Arya Sahadewo. Urgensi dari penelitian ini diantaranya adalah masih terjadinya inkonsistensi terkait kebijakan cukai rokok dan adanya narasi dampak negatif kebijakan cukai rokok terhadap penghidupan petani. Metode penelitian dilakukan dengan survei kepada petani tembakau di daerah penghasil tembakau terbesar, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB.
Hasilnya dapat disimpulkan bahwa pendapatan petani tembakau cenderung lebih fluktuatif dibandingkan pendapatan petani non-tembakau yang salah satunya diakibatkan faktor cuaca eksternal. Selain itu, petani tembakau harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk input pertanian dan demikian juga dengan biaya kesempatan ekonomi yang ditanggung secara umum. Beberapa rekomendasi kebijakan juga disampaikan, diantaranya pemerintah perlu menyediakan modal usaha melalui program yang tersedia dan juga menetapkan insentif finansial maupun non-finansial terkait budidaya tanaman non-tembakau.
Selanjutnya, diskusi kedua oleh Dr. Rochiyati Murniningsih melengkapi pemaparan sebelumnya dengan membahas penelitian terkait pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) yang ada di Indonesia beserta tantangannya. Di awal pembahasan, beliau bercerita bahwa peran pemerintah terhadap nasib para petani tembakau belum optimal akibat kebijakan impor tembakau yang menyebabkan harga tembakau petani jatuh dan kenaikan cukai rokok yang menjadi alasan industri rokok tidak membeli tembakau dari petani. Dari sisi pemerintah daerah pun juga tidak ada intervensi untuk mengatasi permasalahan.
Terkait persepsi tentang pemanfaatan DBHCHT, realitanya pemerintah daerah, dalam kasus kali ini Kabupaten Magelang, merasa kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah menghasilkan kebingungan dalam proses pemanfaatannya. Problematika lain dari sisi petani adalah ketidaktahuan mengenai besaran alokasi DBHCHT untuk petani sebesar 50%. Para petani merasa belum banyak menerima pemanfaatan DBHCHT, biasanya hanya bantuan dalam bentuk pupuk anorganik yang bahkan tidak setiap tahun diterima petani. Di akhir diskusinya, Rochiyati menyampaikan beberapa rekomendasi seperti perlu adanya evaluasi kebijakan cukai dan juga perlu ditingkatkannya keterlibatan/peran pemerintah bersama petani.
Acara berlanjut ke sesi diskusi dengan Pak Tuhar dan Pak Istanto selaku mantan petani tembakau yang membahas persepsi terkait diversifikasi tanam dan perkembangan DBHCHT dari sudut pandang para petani. Pak Tuhar bercerita bahwa selama 10 tahun terakhir kebanyakan petani tembakau juga turut menanam berbagai komoditas lain tergantung musim. Bahkan, para petani juga menyatakan bahwa tembakau kini banyak dijadikan sebagai tanaman sampingan. Terkait perkembangan DBHCHT, para petani berharap agar DBHCHT dapat dimanfaatkan sesuai dengan hak yang diberikan secara kontinyu tiap tahunnya. Mereka juga berharap adanya pendampingan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan DBHCHT supaya hasilnya dapat benar-benar menyejahterakan petani.
Reporter: Kirana Lalita Pristy/Sony Budiarso.