EBNEWS - Introduksi
Sejak reformasi bergulir yang diawali dengan jatuhnya pemerintahan orde baru yang berkuasa lebih dari tiga dekade kata 'akuntabilitas' sangat sering digunakan di sektor publik. Istilah akuntabilitas mengandung makna yang kompleks dan multi dimensi serta memiliki definisi yang beragam jika digandengkan dengan kata lain, seperti dalam akuntabilitas keuangan, akuntabilitas kinerja, akuntabilitas politik, akuntabilitas internal, akuntabilitas eksternal, akuntabilitas vertikal, akuntabilitas horisontal, dan sebagainya. Salah satu definisi dasar akuntabilitas adalah: "those acting on behalf of another person or group, report back to the person or group, or are responsible to them in some way" (Hughes, 2003, hal.237). Dalam dua dekade terakhir, akuntabilitas sektor publik telah menjadi topik yang hangat dibicarakan di berbagai forum dunia. Banyak negara yang telah mengintegrasikan konsep ini ke dalam tatanan regulasi dan perundang-undangan (Hyndman dan Anderson, 1995). Salah satu aspek penting dalam akuntabilitas sektor publik adalah pelaporan kinerja dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan pemangku kepentingan lainnya. Di Indonesia, pengukuran kinerja juga telah menjadi bagian penting dari reformasi manajemen sektor publik (Podger dan Perwira, 2004). Di era reformasi ini, institusi pemerintah daerah, misalnya, memiliki tanggung jawab melaporkan kinerjanya kepada pemerintah di atasnya (vertical accountability) dan juga kepada publik (horizontal accountability) melalui dewan perwakilan rakyat daerah (Mardiasmo, 2002).
Akuntabilitas organisasi sektor publik umumnya disampaikan melalui media laporan keuangan dan laporan kinerja. Dengan demikian, indikator kinerja memiliki peran yang signifikan dalam pengendalian manajemen untuk menjamin bahwa organisasi dikelola dengan baik guna melayani para pemangku kepentingannya sebaik mungkin. Oleh karena itu, pengukuran kinerja menjadi sangat vital untuk mewujudkan akuntabilitas eksternal dan internal (Tilbury, 2006). Akuntabilitas eksternal terwujud jika organisasi publik memberikan pertanggungjawaban kepada pihak luar (Boyne et al, 2002), sementara akuntabilitas internal dilakukan di dalam mata rantai birokrasi (Mejier, 2003). Banyak definisi yang diberikan untuk pengukuran kinerja sektor publik. Salah satu yang populer adalah: "the systematic assessment of how well services are being delivered to a community –both how efficiently and how effectively" (Hatry, 1980,hal. 312).
Hubungan antara input yang diperlukan dengan output yang dihasilkan diukur dengan terminologi efficiency, sementara hasil dan kualitas pelayanan diukur dengan effectiveness. Osborne dan Gaebler (1992) dalam karya monumental mereka reinventing government menyatakan bahwa jika ingin memenangkan dukungan publik, pejabat pemerintah perlu menunjukkan hasil yang dicapai. Mengelola dan mengukur kinerja telah menjadi salah satu kunci penting dalam reformasi sektor publik (Gianakis, 2002).
Setelah lebih dari satu dekade berlalu, sudahkah akuntabilitas dan kinerja pemerintah yang diamanahkan oleh reformasi terwujud di negeri ini? Jawabannya sudah pasti akan sangat beragam tergantung pada pihak mana yang memberikan jawabannya. Aparat pemerintah kemungkinan besar akan menjawab serentak ‘tentu sudah’, mengingat sejak awal reformasi institusi pemerintah, pemda memang sudah secara formal membuat dan menyerahkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Institusi Pemerintah (LAKIP) sesuai dengan Inpres No.7/1999. Di lain pihak, DPR/DPRD, dunia usaha, dan sebagian besar masyarakat luas nampaknya masih merasakan hal yang berlawanan dengan pengakuan pemerintah. Hal ini bisa kita saksikan dengan mudah di dalam kehidupan sehari-hari di mana ketidakpuasan masih lebih dominan daripada kepuasan publik. Perseteruan antara lembaga legislatif dan eksekutif di berbagai level pemerintahan semakin sering terjadi. Dunia usaha juga sering melontarkan keluhan tentang kekurangtanggapan pemerintah
terhadap kebutuhan pelaku bisnis sehingga menghambat laju pertumbuhan dunia usaha.
Institusi pemerintahan hadir untuk melayani kebutuhan segenap pemangku kepentingannya, terutama masyarakat luas. Untuk dapat melayani dengan baik, institusi pemerintah memerlukan tata kelola yang mampu mewujudkan sebuah pelayanan yang disediakan secara transparan, akuntabel, adil, efektif, dan efisien (Good Government Governance atau GGG). Akuntabilitas merupakan salah satu pilar penting dari GGG. Di berbagai belahan dunia, akuntabilitas dengan pengukuran kinerja sebagai salah satu pilar pendukungnya telah menjadi topik yang hangat dan sangat menarik untuk didiskusikan oleh para praktisi maupun akademisi. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga tidak bisa lepas dari permasalahan GGG ini, terlebih sejak digulirkannya reformasi tuntutan masyarakat yang semakin menguat agar institusi pemerintah lebih akuntabel dan berkinerja bagus.
Institutional Isomorphism
Studi tentang pengukuran kinerja di dalam organisasi pemerintahan muncul sebagai akibat dari kehadiran reformasi di sektor publik. Oleh karena itu, sangat tepat jika kita merujuk pada konsep isomorphism (Pilcher, 2007). Konsep ini menggambarkan sebuah proses homogenisasi organisasi dalam sebuah lingkungan tertentu (DiMaggio dan Powell, 1983). Definisi isomorphism adalah: "is a constraining process that forces one unit in a population to resemble other units that face the same set of environmental conditions" (DiMaggio dan Powell, 1983, hal.149).
Ada dua tipe isomorphism, yaitu competitive isomorphism dan institutional isomorphism. Yang pertama berhubungan dengan kompetisi pasar dan yang kedua berhubungan dengan sebuah situasi di mana sebuah organisasi juga harus berkompetisi untuk mendapatkan dukungan politik dan legitimasi kelembagaan. Tulisan ini membahas konsep yang kedua karena organisasi pemerintah tidak berada dalam kompetisi pasar yang bebas dan terbuka sepenuhnya. Ada tiga tipe isomorphism, yaitu: (1) coercive isomorphism, yang muncul sebagai akibat dari pengaruh tekanan kekuatan politik guna memperoleh legitimasi bagi sebuah organisasi, (2) mimetic isomorphism, yang merupakan reaksi organisasi atas ketidakpastian yang hadir di lingkungan tempatnya beroperasi, dan (3) normative isomorphism, yang diasosiasikan dengan proses homogenisasi organisasi melalui proses pendidikan dan asosiasi organisasi profesional.
Penggunaan pengukuran kinerja dalam organisasi pemerintah bergantung pada tarik-menarik kekuatan antarkonstituennya. Misalnya, sangat mungkin sekali bahwa pelaksanaan pengukuran kinerja dan penyusunan LAKIP di daerah dilakukan karena adanya rasa ketergantungan kepada pemerintah pusat, terutama berkaitan dengan alokasi dana APBD. Dalam konteks inilah coercive isomorphism kemungkinan besar hadir dalam tata kelola organisasi pemerintahan di Indonesia.
Ada 500-an pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang secara organisasional kondisinya cukup heterogen baik dari sisi luas wilayah, populasi, SDM, jumlah aset maupun kemampuan keuangan dan manajerialnya. Dalam hal praktik manajemen pemerintahan seperti pengukuran dan pelaporan kinerja, kemampuan mereka juga tidak sama. Sebagian besar, terutama di luar Jawa, masih berada pada level yang sangat elementer, meskipun sudah ada juga yang telah memiliki kemampuan menengah dan lanjut. Konsekuensinya, dalam meningkatkan kualitas LAKIP, pemerintah daerah tertentu bisa mengambil pelajaran dari koleganya yang telah lebih maju baik secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu, mimetic isomorphism diduga kuat juga hadir di Indonesia.
Mengingat kemampuan SDM pemerintah, terutama di daerah, yang umumnya masih relatif rendah, pada saat ini sudah muncul kecenderungan yang baik dari pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas SDM mereka melalui berbagai jalur. Berbagai pelatihan teknis nongelar sampai dengan jalur akademik bergelar (diploma, strata satu dan magister) telah digunakan untuk meningkatkan kemampuan SDM-nya. Sudah banyak alumni dari berbagai institusi pendidikan tinggi yang kembali bekerja ke daerahnya masing-masing dengan membawa ilmu dan kemampuan baru untuk meningkatkan kualitas manajemen pemerintahan daerah mereka masing-masing. DiMaggio dan Powell (1983) memberikan arguman bahwa semakin berpendidikan SDM yang dimiliki organisasi, semakin besar kemungkinan organisasi tersebut menjadi mirip satu sama lain dalam hal praktik manajemen. Di sini nampaknya normative isomorphism juga akan atau mungkin sudah mulai hadir di Indonesia.
Untuk melihat indikasi kehadiran institusional isomorphism perlu dikaji lebih jauh tentang proses pennyusunan dan penggunaan indikator kinerja di dalam organisasi pemerintah. Hasil survey terhadap pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia disajikan dalam Tabel 1 dan 2.
Table 1. Penyusunan Indikator Kinerja
Dari empat faktor yang diteliti dalam studi ini, ada satu faktor yang berada di ambang batas signifikansi, yaitu pengetahuan teknis. Sementara komitmen manajemen merupakan faktor yang memiliki signifikansi tertinggi dalam penyusunan indikator kinerja.
Jika untuk pengembangan indikator kinerja hampir semua faktor memiliki pengaruh, hal serupa tidak terjadi untuk penggunaan indikator kinerja. Hanya ada dua faktor yang memiliki signifikansi, yaitu komitmen manajemen dan regulasi. Seperti sebelumnya, sekali lagi, komitmen manajemen adalah faktor yang paling tinggi signifikansinya dalam penggunaan indikator kinerja.
Tabel 2. Penggunaan Indikator Kinerja
Hasil studi ini menunjukkan bahwa komitmen manajemen berpengaruh sangat signifikan terhadap praktik pengukuran kinerja. Dalam praktik pelaporan kinerja terlihat bahwa faktor regulasi lebih signifikan daripada faktor pengetahuan teknis. Hal ini mengindikasikan bahwa coercive isomorphism lebih dominan daripada normative isomorphism.
Konklusi
Dalam proses pengukuran kinerja organisasi sektor publik di Indonesia, baik dalam tahap penyusunan indikator maupun saat penggunaannya, hal yang patut dicermati adalah adanya dominasi faktor komitmen manajemen dan regulasi atas pengetahuan teknis dan kesulitan pengukuran yang mengindikasikan bahwa penyusunan dan pelaporan indikator kinerja lebih disebabkan oleh keberadaan peraturan yang mewajibkan organisasi pemerintah untuk membuatnya, bukan karena hadirnya kesadaran akan arti penting laporan itu bagi kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan. Sekali lagi, komitmen di sini lebih disebabkan oleh kepatuhan pada regulasi, bukan karena kesadaran dan pemahaman yang benar tentang manfaat penyusunan dan penggunaan indikator kinerja bagi organisasi pemerintah. Dengan demikian, maka pernyataan yang dibuat oleh Barreto dan Baden-Fuller (2006) yang mengatakan bahwa indikator kinerja yang dibuat oleh organisasi tidak memiliki pengaruh yang berarti dalam operasi internalnya karena hanya dibuat untuk menaati regulasi yang memang wajib untuk dipatuhi. Dengan kata lain, semua itu dilakukan untuk memenuhi kewajiban formal -atau bahkan seremonial- belaka guna meraih legitimasi kelembagaan yang semu, bukan untuk tujuan yang lebih substansial untuk peningkatan kinerja pelayanan publik yang sangat diharapkan oleh masyarakat. Ringkasnya, it’s to simply conform not to perform (Akbar et al., 2012).
Referensi
Akbar, R., R. Pilcher, and B. Perrin. 2012. Performance Measurement in Indonesia: The Case of Local Government. Pacific Accounting Review 24 (3) EarlyCite pre-publication article (date online
16/10/12). http://www.emeraldinsight.com/journals
Barreto, I., and C. Baden-Fuller. 2006. To Conform or to Perform? Mimetic Behaviour, Legitimacy-Based Groups and Performance Consequences. Journal of Management Studies 43 (7): 1559-1581.
Boyne, G., et al. 2002. Plans, Performance Informations and Accountability: the Case of Best Value. Public Administration 80 (4): 691-710.
DiMaggio, P. J., and W. W. Powell. 1983. The Iron Cage Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields. American Sociological Review 48: 147-160.
Gianakis, G. A. 2002. The Promise of Public Sector Performance Measurement: anodyne or placebo? Public Administration Quarterly 26 (1): 34-64.
Hatry, H. P. 1980. Performance Measurement: Principles and Techniques. Public Productivity Review December: 312-339.
Hughes, O. E. 2003. Public Management and Administration. 3th ed. New York, N.Y.: Palgrave Macmillan.
Hyndman, N. S., and R. Anderson. 1995. The Use of Performance Information in External Reporting: An Empirical Study of UK Executive’s Agencies. Financial Accountability and Management
11 (1): 1-17.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Offset.
Meijer, A. J. 2003. Transparent Government: Parliamentary and Legal Accountability in An Information Age. Information Policy 8 (1/2): 67-78.
Osborne, D., and T. Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Pilcher, R. A. 2007. Preliminary Empirical Evidence of Institutional Isomorphism in Local Authorities. In Annual Meeting of the International Association for Business and Society. Research Paper. Curtin University of Technology, Australia.
Podger, O., and I. Perwira. 2004. Review of Legislation on Planning and Budgeting. In Discussion Paper. Jakarta. Bappenas and ADB.
Tilbury, C. 2006. Accountability via Performance Measurement: The Case of Child Protection Services. Australian Journal of Public Administration 65 (3): 48-61.
---
Artikel Dosen: Institutional Isomorphism dalam Akuntabilitas Kinerja Sektor Publik di Indonesia
Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 13 Tahun 2012