fbpixel

EBNEWS - Bagaimana mengharapkan anak-anak muda menjadi entrepreneur yang bekerja keras mengembangkan usaha, bila hasil yang bisa didapatkan dari kerja keras tersebut jauh lebih kecil dari pendapatan seorang petualang politik? Bagaimana mengharapkan perusahaanperusahaan domestik berinovasi dan berekspansi mengejar pangsa pasar global, bila dengan marking-up dan menyuap pejabat sudah cukup untuk mendapatkan return yang fantastis?

Mungkin Prabowo Subianto, mungkin juga Joko Widodo. Namun, siapapun dari kedua calon presiden tersebut yang terpilih pada 9 Juli 2014 nanti, pasti tak akan bisa dengan mudah mengarahkan Indonesia menuju bangsa yang makmur, adil, maju dan mandiri. Setidaknya, tak akan semudah ungkapan-ungakapan janji tim sukses mereka saat berkampanye.

Indonesia memang telah masuk ke dalam sepuluh besar perekonomian dunia berdasarkan perhitungan purchasing power parity (PPP) versi Bank Dunia atau lima belas besar perekonomian dunia berdasarkan perhitungan nilai tukar berlaku terhadap dolar Amerika Serikat. Namun, pendapatan nasional perkapita Indonesia masih sekitar 3,42 dolar atau hanya beberapa poin lebih tinggi dari ambang batas antara negara-negara berpendapatan rendah (low income countries) dengan negaran-egara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income countries).

Untuk bisa segera mengurangi ketertinggalan dari negara-negara yang berpendapatan lebih tinggi, Indonesia harus tumbuh secara konsisten minimal 7 persen per tahun. Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia justru menurun. Publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Mei 2014 lalu bahkan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia year-on-year kuartal pertama hanya 5,21 persen atau terendah sejak tahun 2010. Itu pun dengan catatan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tercapai masih fakir kualitas. Bukan hanya tak banyak menciptakan lapangan kerja atau mengurangi angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang dicapai selama ini juga diikuti oleh naiknya derajat kesenjangan, baik kesenjangan antar kelompok pendapatan maupun kesenjangan antar wilayah.

Upaya untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi terbentur kendala-kendala klasik seperti keterbatasan kapasitas infrastruktur, kapasitas teknologi dan kapabilitas inovasi. Terkait kapasitas infrastruktur, catch-up index yang dipublikasikan oleh Kelompok Kerja untuk Daya Saing Indonesia (KKDSI), Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa Indonesia hanya berada pada peringkat ke-47 dari 50 perekonomian utama dunia. Kapasitas infrastruktur mencakup ketersediaan jaringan jalan raya, rel kereta api dan bandar udara, baik yang dinyatakan secara keseluruhan maupun per kapita. Begitu juga, kapasitas infrastruktur mencakup tingkat konektivitas perhubungan laut, jaringan telepon kabel dan telepon seluler, jaringan internet, proporsi pengguna internet dan akses terhadap energi listrik dan energi primer. Sementara, terkait kapasitas teknologi dan kapabilitas inovasi, peringkat Indonesia masing-masing berada pada urutan ke-47 atau nomor ke-4 dari bawah.

Langkah presiden terpilih untuk untuk meningkatkan kapasitas infrastruktur, kapasitas teknologi dan kapabilitas inovasi tak akan mudah mengingat kemampuan anggaran pemerintah juga terbatas. Pertama, rasio penerimaan pajak pemerintah masih relatif kecil. Berdasarkan data Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya berkisar 12%. Padahal, rata-rata rasio penerimaan pajak di negaranegara berpendapatan rendah saja sudah mencapai 14,3 persen dan di negara-negara berpendapatan menengah bawah mencapai 19 persen. Kedua, ruang fiskal yang dimiliki oleh pemerintah justru terus menyempit. Dari total 100 persen anggaran belanja dalam APBN, sekitar 85 persen di antaranya sudah terkapling-kapling, dalam arti harus dialokasikan untuk belanja-belanja tertentu yang mengikat.

Merujuk bunyi Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, pemerintah berkewajiban mengalokasikan 20 persen anggaran belanja untuk pendidikan. Pemerintah juga berkewajiban menyisihkan anggaran untuk tunjangan fungsional, tunjangan profesi, maslahat tambahan dan tunjangan khusus untuk guru sesuai Pasal 49 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 16 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lebih jauh, pemerintah harus mengalokasikan 5 persen dari anggaran belanja untuk kesehatan sesuai Pasal 171 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Terkait dengan pertahanan nasional, Pasal 25 Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mewajibkan pemerintah mengalokasikan anggaran belanja untuk pengadaan dan pemeliharaan alat utama sistem persenjataan.

Di samping itu, sesuai amanat Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, pemerintah juga berkewajiban mengalokasikan minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto untuk dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil dan dana otonomi khusus. Terakhir, dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah juga harus mengalokasikan sebagian anggaran belanja APBN untuk masyarakat desa.

Besarnya anggaran belanja yang harus dialokasikan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah. Tahun ini, nilai subsidi BBM diperkirakan akan membengkak dari Rp 210,7 triliun menjadi Rp 246,49 triliun atau sebesar 22 persen dari total keseluruhan APBN yang berjumlah sekitar Rp 1.842,5 triliun.

Persoalan kelembagaan juga menjadi kendala tersendiri. Meskipun penciptaan stabilitas politik dan keamanan telah relatif berhasil, tetapi tata pemerintahan, efisiensi birokrasi dan penegakan hukum secara umum masih jauh dari harapan. Konsekuensinya, tidak hanya kegiatan investasi dan bisnis terhambat, tetapi yang lebih gawat adalah rusaknya struktur insentif dalam perekonomian, di mana reward dan punishment jatuh kepada individu-individu atau perilaku-perilaku yang salah.

Bagaimana mengharapkan anak-anak muda menjadi entrepreneur yang bekerja keras mengembangkan usaha, bila hasil yang bisa didapatkan dari kerja keras tersebut jauh lebih kecil dari pendapatan seorang petualang politik? Bagaimana mengharapkan perusahaan-perusahaan domestik berinovasi dan berekspansi mengejar pangsa pasar global, bila dengan marking-up dan menyuap pejabat sudah cukup untuk mendapatkan return yang fantastis?

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya tentu berharap bahwa presiden terpilih akan segera membawa banyak perbaikan. Akan tetapi, secara obyektif tidak realistis untuk menggantungkan harapan terlalu tinggi. Terlebih, dengan ketatnya persaingan pemilihan presiden, semua kubu harus mengakomodir dukungandukungan, termasuk dari para politisi dan pengusaha bermasalah yang pada waktunya nanti pasti akan meminta "imbalan" sesuai kepentingan masing-masing. Perilaku rent seeking mungkin berlanjut, rules of the game yang bersifat ekstraktif (lihat, Acemoglu & Robinson 2012) mungkin juga tetap berjalan.

Pemilihan presiden merupakan amanat konstitusi. Tetapi bukan berarti bahwa semua energi harus dihabiskan untuk memikirkannya, apalagi sampai membiarkan diri larut ke dalam konflik dukung-mendukung salah satu dari kedua calon. Ketimbang sibuk menyebarkan black campaign atau memberikan pembenaran yang berlebihan dan tak masuk akal atas janji-janji utopis tim sukses calon presiden, akan lebih baik bila kita tetap fokus bekerja dan berkontribusi untuk kemajuan bangsa.

Nanti, ketika tiba waktu pelantikan, kita dukung siapa pun presidennya. Mungkin dengan pujian, mungkin juga dengan kritikan!

---

Artikel Dosen: Presiden Terpilih dan Tantangan Ekonomi
Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 18 Tahun 2014