
Perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) semakin tak terhindarkan, salah satunya dalam dunia akademik. Kehadiran AI apakah hanya menjadi sekedar alat bantu atau justru mengancam integritas akademik?
Dalam Podcast FEB UGM berjudul AI for Future Learning dalam episode Etika dan Tanggung Jawab AI dalam Akademik, Dosen Departemen Akuntansi FEB UGM, Ahmad Zaki, S.E., M.Acc., Ph.D., membahas lebih dalam soal etika dan tanggung jawab kecerdasan buatan dalam dunia akademik.
Zaki menyebutkan pemanfaatan AI seperti generative AI membawa dampak besar dalam meningkatkan efisiensi pekerjaan. Misalnya, dengan pemanfaatan AI dalam proses bisnis akuntansi menjadikan pencatatan jurnal transaksi yang biasanya membutuhkan waktu hampir satu jam untuk 100 transaksi kini bisa diselesaikan dalam hitungan detik. Selain itu, AI juga mampu merangkum analisis dari berbagai referensi dengan cepat dan mempercepat penyusunan laporan akademik.
Namun, di balik kemudahan tersebut muncul pertanyaan etis apakah hasil analisis yang dihasilkan mencerminkan kemampuan asli dari pengguna, terutama mahasiswa? Zaki menjelaskan bahwa dalam penggunaan AI membutuhkan kemampuan prompting yang baik yang tetap bergantung pada pengetahuan dasar penggunaannya.
“Meski efisien dan komprehensif, penggunaan AI tetap menjadi diskusi etis tergantung pendekatan yang digunakan, apakah menggunakan perspektif utilitarian (berbasis manfaat) atau pendekatan lainnya,” jelasnya.
Terkait etika, Zaki mengatakan bahwa aspek etika penting dalam penggunaan AI tergantung dari definisi dan pendekatan yang digunakan. Ia menyebutkan ada dua pendekatan yang sering digunakan dalam menimbang sebuah tindakan itu etis atau tidak dalam dunia bisnis. Pertama, pendekatan cost-benefit analysis yaitu tindakan dapat dinilai etis apabila manfaat positifnya lebih besar dibandingkan potensi dampak negatifnya. Kedua, pendekatan utilitarian approaches yaitu tindakan yang menghasilkan kebahagiaan atau kebaikan terbesar untuk sebanyak mungkin orang dengan menimbang efek moral dan kesejahteraan secara luas.
Ia mencontohkan praktik suap (bribery) dalam dunia bisnis. Meski dalam konteks tertentu, seseorang bisa saja mencoba membenarkan suap dengan alasan menghasilkan keuntungan. Namun, kebanyakan teoris utilitarian tetap menganggap suap sebagai tindakan tidak etis karena merusak integritas sistem, menimbulkan ketidakadilan, dan mencederai kepercayaan publik.
Lebih lanjut, Zaki menjelaskan dalam konteks bisnis, pendidikan, dan penelitian, pengguna AI perlu memperhatikan prinsip keotentikan karya. AI seharusnya digunakan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti proses berpikir kritis dan pembelajaran.
“Analogi yang digunakan adalah seperti batik tulis dan batik printing. AI ibarat batik printing, yang mempercepat proses produksi, namun apresiasi terhadap karya otentik tetap penting,” ungkapnya.
Sebagai institusi pendidikan, FEB UGM berkomitmen menyiapkan calon pemimpin masa depan yang mampu memanfaatkan AI secara etis. Oleh sebab itu, Zaki menekankan pentingnya mengasah kemampuan critical thinking mahasiswa, bukan sekadar membatasi penggunaan AI.
“Hal ini dapat diwujudkan dengan merevisi metode pembelajaran, seperti mengutamakan diskusi studi kasus di kelas daripada tugas-tugas tertulis yang mudah dikerjakan AI,” tambahnya.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals