
Di era kemajuan teknologi saat ini, penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul pula kontroversi, terutama terkait kehadiran Generative AI (Gen AI). Kehadiran Gen AI ini menuai kritik karena dianggap rawan disalahgunakan dan berpotensi melanggar etika. Namun disisi lain, Gen AI bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat, termasuk bagi kalangan akademisi dan mahasiswa dengan penggunaan yang memperhatikan etika dan bertanggung jawab.
Menyadari pentingnya literasi mengenai Gen AI ini, Career and Student Development Center Unit (CSDU) FEB UGM bekerja sama dengan MyEduSolve menyelenggarakan workshop bertajuk “Generative AI for Academic Excellence and Career Preparation” yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom Meeting pada Jumat (9/5/2025).
Certified GenAI Instructor, Chandra Hidayat menjelaskan bahwa kecerdasan buatan atau AI merupakan kemampuan mesin atau sistem komputer untuk berpikir, belajar, dan mengambil keputusan seperti manusia. AI sendiri memiliki berbagai cabang, salah satunya adalah generative AI yang dirancang untuk menciptakan konten baru seperti teks, gambar, kode, atau musik berdasarkan data yang telah dipelajari sebelumnya. Berbeda dengan AI konvensional yang hanya menganalisis data, Gen AI mampu menghasilkan konten original yang menyerupai buatan manusia. Teknologi ini didukung oleh pembelajaran mendalam (deep learning) yang meungkinkan mesin mengenali pola data dan menghasilkan keluaran berdasarkan masukan pengguna. Oleh karena itu, semakin spesifik prompt atau data yang diberikan pengguna, maka hasil yang dihasilkan AI pun akan semakin relevan dan berkualitas.
Terlepas dari segudang manfaat dan potensinya, kehadiran Gen AI turut menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan pekerja kreatif. Sebab, dengan adanya Gen AI, gaya khas seorang seniman dapat dengan mudah direplikasi oleh AI. Hal ini kemudian menimbulkan isu etika dan menyoroti kembali mengenai perlunya regulasi yang jelas dalam pengawasan AI, agar di kemudian hari penggunaannya tidak menimbulkan kerugian untuk pihak manapun.
Chandra juga menjelaskan bahwa beberapa AI, seperti ChatGPT telah dilatih menggunakan Large Language Models (LLMs) atau model berbasis deep learning yang difokuskan pada bahasa. Sehingga, model ini mampu menjawab pertanyaan, menerjemahkan bahasa, dan menulis teks secara natural tanpa kekakuan khas keluaran mesin. Namun, pengguna juga perlu waspada terhadap halusinasi, yaitu fenomena ketika AI menghasilkan informasi fiktif atau tidak akurat. Hal ini sangat sering terjadi dan bisa menyesatkan, terutama jika pengguna tidak melakukan pengecekan ulang. Sebagai pengguna yang bijak, alangkah baiknya untuk tidak mengandalkan AI sebagai sumber informasi dan selalu melakukan pengecekan ulang untuk memastikan validitas informasi yang didapat.
Lebih lanjut Chandra menjelaskan terdapat sejumlah tools AI yang berguna untuk mendukung produktivitas dan pekerjaan sehari-hari. Misalnya, ChatGPT yang dapat digunakan untuk membuat, merevisi, dan memparafrase teks, serta dapat dikustomisasi agar lebih sesuai dengan gaya atau kebutuhan pengguna. Sementara itu, Perplexity AI lebih cocok digunakan untuk mencari data dan informasi dengan sumber yang jelas dan akurat, walaupun gaya bahasanya masih kaku.
Ada juga Google Gemini yang unggul karena telah terintegrasi dengan ekosistem Google Workspace, sehingga banyak dimanfaatkan untuk bisnis dan pemasaran digital. Serta, Copilot dari Microsoft 365 yang turut terintegrasi dengan ekosistem Microsoft serta sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas kerja.
Selain itu, ada juga Taskade yang membantu pengguna dalam menyusun to-do list dan memetakan prioritas tugas; Scite yang memudahkan proses penelitian dan literature review; Gamma dan Tome App yang dapat digunakan untuk membuat presentasi instan profesional, meskipun terdapat beberapa keterbatasan, seperti format file yang tidak dapat diubah, sulit dikustomisasi, ataupun memiliki visual yang kurang menarik. Terdapat juga Otter AI yang mampu mentranskripsi audio ke teks secara real-time dengan akurasi tinggi, walaupun membutuhkan koneksi internet yang stabil dan masih terbatas dari segi pilihan bahasa.
Terakhir, Chandra menyampaikan terkait kekhawatiran banyak orang terkait pekerjaan yang akan hilang dan digantikan oleh AI. Menurutnya, penting untuk menyadari bahwa tidak semua pekerjaan dapat digantikan oleh mesin. Pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan empati dan intuisi tinggi seperti guru, dokter, dan psikiater pastinya tetap memerlukan kehadiran manusia. Bahkan, perkembangan AI ini justru menciptakan banyak pekerjaan baru, seperti Data Engineer, AI Product Analyst, serta pekerjaan terkait lainnya.
“Bukan AI yang akan menggantikan pekerjaan manusia, melainkan manusia yang mampu memanfaatkan AI-lah yang akan bertahan dan unggul di masa depan,” pungkasnya.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Sustainable Development Goals