
Inovasi lokal yang berangkat dari kepedulian pada lingkungan dan masyarakat ternyata mampu menciptakan dampak global. Dua sosok inspiratif, Dwi Martuti Rahayu (Owner KTW Pawon Gendis) dan Fauzan Abdulah Munib, S.Hum (Co-Founder Daur Resik) membuktikan bahwa pemberdayaan komunitas tidak hanya bisa menciptakan produk berkualitas, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif untuk menghadapi krisis lingkungan dan pangan secara berkelanjutan.
Melalui sesi pertama Sharing Sessions Series yang digelar Bidang Kajian Microeconomics Dashboard Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, keduanya menghadirkan cerita nyata tentang bagaimana perubahan besar dapat dimulai dari skala lokal, dengan kolaborasi dan komitmen sebagai kuncinya. Sharing Sessions Series #1yang berlangsung Rabu (28/05/2025) di FEB UGM ini mengangkat topik “Pembangunan Berbasis Komunitas: Pemberdayaan Komunitas dalam Pengolahan Sampah Berkelanjutan dan Pertanian Coklat Desa Wisata Banjarharjo”.
Dalam pemaparannya, Dwi membagikan kisah perjalanan berdirinya Wondis Cokelat. Wondis Cokelat merupakan brand lokal yang awalnya berinovasi mengolah tanaman herbal pegagan (Centella asiatica) menjadi 47 jenis produk olahan.
“Pada tahun 2013, tanaman pegagan lebih familiar dikonsumsi langsung sebagai lalapan dan diolah menjadi peyek atau kripik. Saya mencoba untuk membudidayakan dan mengolah tanaman ini dengan berbagai olahan,” jelasnya.
Keberhasilan ini mendorongnya untuk mengembangkan produk lainnya. Ia pun mencoba mengolah kakao lokal dari Kulon Progo. Setahun kemudian, ia berhasil memproduksi kakao dari pegagan. Setelah melalu rangkaian proses, pada tahun 2017 lahirlah Wondis, singkatan dari Pawon Gendis yang merupakan nama Kelompok Wanita Tani (KWT) yang menjadi cikal bakal brand tersebut.
“Wondis hadir untuk mendukung ketahanan dan swasembada pangan nasional melalui penerapan olahan dan perkebunan kakao berkelanjutan sekaligus mewujudkan kesejahteraan bersama melalui pemberdayaan masyarakat Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar usaha pengolahan cokelat, Wondis berkembang sebagai gerakan terpadu yang mencakup pendampingan petani kakao, wisata edukasi (agro-eduwisata), kedai coklat yang menyajikan aneka menu berbasis kakao lokal, dan sanggar untuk anak-anak. Dwi menambahkan bahwa Wondis tak hanya berfokus pada aspek produksi, tetapi juga melakukan pemanfaatan optimal pada seluruh bagian tanaman kakao demi mendukung pertanian berkelanjutan.
Mereka memanfaatkan kulit buah kakao menjadi pakan ternak dan pupuk organik. Sedangkan kulit cangkang kakao dibuat menjadi bahan pewarna alami untuk kain batik yang produknya telah sampai ke Jepang.
Sementara itu, Fauzan Abdulan Munib, S.Hum sebagai Co-Founder Daur Resik menyoroti tantangan pengelolaan sampah di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa 80 persen jenis sampah tidak diterima oleh industri maupun di tempat pembuangan akhir karena tidak bersifat sirkular.
“Sampah tidak sirkular itu ditolak oleh industri dan negara juga tidak peduli. Akibatnya, semakin terabaikan dan semakin kecil kemungkinan untuk dikelola. Padahal program CSR (Corporate Social Responsibility) seharusnya mewajibkan industri untuk bertanggung jawab sampai pada pengolahan akhir produknya,” jelas Fauzan.
Ia menerangkan bahwa bank sampah konvensional dapat menjadi solusi Hanya saja, bank sampah biasanya memerlukan tempat khusus, struktur pengurus, dan jadwal tertentu sehingga sistem ini kurang cocok untuk keluarga muda dengan kesibukan tinggi. Daur Resik hadir dengan solusi alternatif yang lebih fleksibel berupa layanan pengambilan sampah dari rumah, pemilahan hingga edukasi pengelolaan sampah.
“Dengan menggunakan pendekatan social entrepreneurship, kami tidak hanya peduli lingkungan, tapi juga menerapkan ekonomi yang berkelanjutan,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa Daur Resik bukan hanya soal daur ulang, tapi tentang membangun kesadaran. Daur Resik menerima sampah yang tidak sirkular dan menjadikannya sirkular dengan bergerak ke prinsip 11R, salah satunya adalah riset.
“Kami bergerak dari potensi masyarakat yang sadar, bukan dari paksaan. Perubahan hanya bisa dimulai dari mereka yang peduli,” pungkas Fauzan.
Melalui kisah Dwi Martuti Rahayu dan Fauzan Abdulah Munib, peserta diajak untuk melihat bagaimana inovasi lokal dan kesadaran kolektif mampu menjadi solusi nyata atas tantangan lingkungan dan sosial masyarakat. Kegiatan Sharing Sessions Series #1 ini bukan hanya menjadi ruang berbagi inspirasi, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya kolaborasi dalam mendorong pembangunan berkelanjutan.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
SDGs: 1, 2, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 17