
Praktik manajemen laba atau earnings management masih menjadi isu penting dalam tata kelola perusahaan, terutama di negara berkembang dengan sistem pengawasan yang belum sepenuhnya kuat. Guru Besar bidang Akuntansi FEB UGM, Prof. Mahfud Solihin, Ph.D., menyampaikan kemampuan manajerial tinggi sering dianggap sebagai aset berharga bagi perusahaan. Namun, manajer dengan kemampuan tinggi berpotensi melakukan earnings management terlebih di lingkungan yang longgar terhadap pengawasan dan penegakan etika.
Fakta tersebut merupakan salah satu hasil penelitian yang dilakukan Mahfud bersama dengan dosen Departemen Akuntansi FEB UGM yaitu Dr. Puspita Ghaniy Anggraini dan Singgih Wijayana, Ph.D., yang berjudul “Managerial Ability, Sustainability-Ethics, and Earnings Management: Evidence from Indonesia”.
Dalam konferensi internasional 4th Biennial Emerging Scholars Colloquium and Conference on Accounting and Accountability in Emerging Economies (AAEE) yang berlangsung di Sanur Prama Sanur Beach Hotel, Bali (27/06/2025), Mahfud menjelaskan penelitian ini dilatarbelakangi oleh sejumlah temuan sebelumnya di perusahaan Amerika Serikat diketahui bahwa manajer dengan kemampuan tinggi cenderung menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas dan menghindari manipulasi laba. Namun, di negara dengan tata kelola yang lemah, seperti Indonesia, kemampuan tersebut justru berpotensi digunakan untuk melakukan earnings management atau manajemen laba karena adanya peluang dan dorongan untuk bertindak oportunistik. Selain itu, kondisi seperti lemahnya penegakan hukum, budaya kolektivisme, dan tingginya tingkat korupsi juga menjadi faktor penting dalam analisis.
Mahfud mengatakan penelitian ini menguji tiga hipotesis utama. Pertama, apakah kemampuan manajerial berkaitan dengan praktik manajemen laba. Kedua, apakah perusahaan dengan nilai etika dan keberlanjutan tinggi lebih sedikit melakukan manajemen laba. Ketiga, apakah kombinasi antara manajer yang mampu dan perusahaan yang memiliki etika tinggi dapat menekan praktik earnings management.
Data penelitian diambil dari seluruh perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia, kecuali sektor keuangan, properti, dan utilitas dalam rentang tahun 2003 hingga 2019. Variabel yang digunakan antara lain earnings management berbasis akrual, kemampuan manajerial (menggunakan MA score), sustainability-ethics (menggunakan ESG score), serta sejumlah variabel kontrol seperti leverage, kerugian, ukuran perusahaan, pertumbuhan penjualan, umur perusahaan, siklus operasional, dan penerbitan utang.
“Hasilnya menunjukkan manajer dengan kemampuan tinggi justru lebih besar kemungkinannya untuk melakukan earnings management berbasis akrual (ABEM),” jelasnya.
Di sisi lain, sustainability-ethics tidak menunjukkan hubungan signifikan terhadap penurunan praktik manajemen laba. Namun, ketika keduanya dikombinasikan yaitu manajer yang cakap di perusahaan yang memiliki nilai keberlanjutan dan etika tinggi praktik earnings management cenderung menurun.
Mahfud menambahkan bahwa sustainability-ethics memang memiliki pengaruh terhadap praktik real earnings management (REM), tetapi signifikansinya sangat lemah. Sementara itu, kemampuan manajerial justru berperan dalam mencegah praktik REM, terutama karena biaya dan risiko dari praktik ini lebih tinggi. Temuan menarik lainnya adalah interaksi antara mangerial ability (MA) dan sustainability-ethics yang menunjukkan bahwa kombinasi keduanya efektif dalam menurunkan praktik REM.
Mahfud mengatakan bahwa di konteks negara berkembang seperti Indonesia, kemampuan manajerial tidak otomatis berdampak positif. Justru dalam lingkungan kelembagaan yang lemah, kemampuan tersebut bisa digunakan secara oportunistik. Namun demikian, nilai-nilai etika dan keberlanjutan yang kuat di dalam perusahaan tetap memiliki peran penting dalam membatasi praktik manipulatif, terutama ketika diinternalisasi oleh manajer yang kompeten.
Reportase: Orie Priscylla Mapeda Lumalan
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals