
Meraih IPK nyaris sempurna yaitu 3,85 dengan deretan pengalaman organisasi dan magang di berbagai industri bukanlah pencapaian instan bagi Milzam Shidqi Ismanta (22). Lulusan Program Studi Manajemen FEB UGM ini membuktikan bahwa kesuksesan dibangun dari keberanian mengambil keputusan, tekad untuk terus bertumbuh, dan kesabaran dalam proses panjang.
Awalnya, Milzam bercita-cita menjadi seorang dokter. Selama SMA, nilai akademiknya mengarah kesana dengan nilai Ujian Nasional Matematika sempurna, hingga ditunjuk sebagai tutor sebaya IPA. Namun, refleksi mendalam membuatnya menyadari bahwa minatnya bukan di dunia medis.
“Saya menyadari bahwa passion sejati saya justru ada di bidang kepemimpinan, organisasi, dan pengambilan keputusan strategis,” ungkapnya.
Ini menjadi titik balik hidupnya untuk menyusun ulang arah kariernya. Ia pun semakin mantap mengubah haluan dan menargetkan program studi Manajemen di FEB UGM sebagai pijakan masa depan. Menurutnya program studi ini menawarkan ruang eksploraisi yang luas dan aplikatif sekaligus menantang.
Keterampilan kepemimpinan tidak lahir secara instan. Milzam menempuh perjalanan panjang berdinamika dan memimpin di organisasi sejak SMP saat menjabat sebagai ketua OSIS SMP Negeri 8 Yogyakarta dan ketua ekstrakurikuler marching band. Ia pun aktif berorganisasi dengan terlibat lebih dari 30 organisasi dan kepanitiaan.
“Pelajaran paling berkesan yang saya dapatkan adalah pentingnya emotional intelligence sebagai pondasi utama dalam berorganisasi, khususnya dalam konteks kepemimpinan,” jelasnya.
Salah satu pengalaman paling membekas bagi Milzam adalah saat menjadi Koordinator Subunit (Kormasit) KKN-PPM UGM “Kembara Tegallalang”. Peran ini menuntutnya untuk menjadi lebih dari sekadar fasilitator program, tetapi juga menjaga stabilitas tim, mediator konflik, hingga pengambil keputusan dalam berbagai situasi di lapangan. Ia belajar bahwa kedewasaan dalam berorganisasi dibentuk melalui akumulasi pengalaman, refleksi, dan keberanian untuk terus berkembang.
“Pengalaman ini membentuk saya menjadi pemimpin yang mampu bersikap tenang dan bijaksana. Tidak hanya sebagai pengarah strategi tetapi juga pendengar dan pemberi ruang tumbuh bagi anggota tim,” tambahnya.
Kisah Ketika Berkuliah
Baginya, berkuliah di program studi Manajemen FEB UGM memberinya ruang untuk menjalani proses belajar secara fleksibel dan menyeluruh. Bahkan, ia berkesempatan mengeksplorasi ilmunya di berbagai sektor industri seperti real estate, tourism dan hospitality, luxury automotive, hingga insurance.
“Saya membangun learning journey saya secara aktif, tidak hanya di kelas, tapi juga lewat magang, kerja paruh waktu, organisasi, kepanitiaan, hingga kompetisi bisnis,” ujar Milzam.
Magang pertamanya ia temukan secara tidak terduga melalui unggahan Instagram. Ia bergabung di PT Saraswanti Indoland Development Tbk dan dalam dua tahun dipercaya naik dari Corporate Communications Intern, Head of Digital Marketing hingga menjadi Assistant Director Sales and Marketing Part Timer.
Melalui program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), Milzam mendapatkan tawaran dari tiga perusahaan multinasional yaitu Zurich Insurance, Nestlé, dan Lexus (PT Toyota-Astra Motor). Ia memilih magang di Lexus Indonesia sebagai Sales Operations & Customer Experience Intern, lalu melanjutkan ke FWD Insurance sebagai Digital Partnership Intern sembari menyelesaikan skripsi.
“Pelajaran terbesar bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tapi membangun attitude dan emotional intelligence di dunia kerja,” katanya sembari menjelaskan bahwa nilai-nilai integritas dan profesionalisme yang ditanamkan FEB UGM menjadi bekalnya dalam menghadapi tantangan profesional.
Strategi dalam Pengambilan Keputusan
Dalam menjalani kesibukan yang padat, ia mengatur waktu dengan menerapkan mindset strategis dan efisien dalam membuat keputusan. Milzam menganggap waktu sebagai aset yang harus diinvestasikan dengan bijak sehingga dalam membuat keputusan selalu diawali dengan menentukan tujuan yang jelas, mengukur tingkat output yang diharapkan, menentukan batas usaha yang masuk akal, dan menyusun skala prioritas.
Begitu pula dalam belajar, ia berlatih untuk bersikap agile dan aware dengan hal di sekitarnya. Menurutnya, semua hal dari diskusi maupun buku dapat memberikan pembejalaran.
“Selama kita memiliki drive untuk belajar, semua hal yang ada disekitar kita bisa memberikan pembelajaran yang berarti, tinggal kita saja yang harus memiliki kemampuan untuk connecting the dots,” lanjutnya.
Berbicara tentang kegagalan, ia mengatakan bahwa kegagalan bukanlah tentang penilaian orang lain, melainkan saat ia meragukan diri sendiri. Untuk menghadapinya, ia selalu melakukan refleksi dan menanamkan mindset bahwa jika sudah memiliki niat baik tapi masih merasa gagal, move on, mengambil pelajarannya, dan mencari kesempatan lainnya.
Motivasi dan Prinsip Hidup
Sejak kecil, orang tuanya selalu memberikan ruang untuk mengambil keputusan sendiri mulai dari hal sederhana hingga keputusan besar. Melalui pendekatan ini, secara tidak langsung ia dilatih dalam kemandirian menentukan arah dengan mempertimbangkan pilihan, mengambil langkah, dan menerima konsekuensi dari pilihan tersebut.
“Inilah yang menjadi motivasi terbesar saya—kesadaran bahwa saya memiliki kendali atas hidup saya. Saya harus bergerak untuk hidup yang lebih baik, kontribusi yang lebih berdampak, atau menjadi versi diri yang lebih berkembang. Maka dari itu, semangat saya untuk berprestasi bukan semata-mata soal pencapaian luar, tetapi tentang tanggung jawab atas pilihan yang saya buat,” jelasnya.
Motivasi itu semakin diperkuat dengan sosok yang menginspirasinya, Harvey Specter, karakter dalam serial Suits. Walaupun fiksi, Harvey memberikan dampak baginya. Bukan hanya karena kecerdasan dan profesionalismenya, tetapi karena transformasinya sebagai pribadi yang berani membuka diri, berdamai dengan masa lalu, dan tetap teguh pada nilai-nilai yang diyakini meski berada dalam tekanan.
“Dari Harvey, saya belajar bahwa menjadi ambisius tidak harus membuat kita kehilangan empati, dan bahwa kepercayaan diri bukanlah kesombongan, melainkan hasil dari proses dan kerja keras yang panjang. Ia mengajarkan bahwa menjadi pemimpin yang baik bukan hanya tentang memberi arahan, tetapi tentang hadir dengan kepala dingin dan hati terbuka di tengah tantangan,” tambahnya.
Salah satu prinsip hidup yang isa pegang teguh adalah untuk selalu berpikir positif terlepas dari sesulit apapun situasi yang dihadapi, seberat apapun dampak dari keputusan yang harus diambil, dan sebesar apapun kemungkinan buruk akan terjadi.
Di tengah pencapaian akademik dan profesionalnya, ia tetap berpijak pada nilai spiritual sederhana yang diajarkan orang tuanya: selalu ingat Allah swt di manapun dan kapan pun. Setelah lulus dari FEB UGM, Milzam berencana untuk segera bekerja, sambil mencari peluang melanjutkan studi magister di tahun kedua atau ketiga. Ia ingin mendalami strategic management, bidang yang menurutnya paling sesuai dengan visi dan gaya berpikirnya.
Jangan Takut Menunda, Tapi Pastikan Kamu Siap
Menutup perjalanannya sebagai mahasiswa, Milzam membagian pesan reflektif yang penting untuk diketahui teman-teman yang masih duduk di bangku perkuliahan. Menurutnya, menyelesaikan kuliah berarti siap untuk mengakhiri fase istimewa dalam hidup, fase ketika status mahasiswa memberi ruang untuk mencoba, bereksperimen, gagal, tumbuh, dan bermimpi tanpa banyak batasan.
“Pastikan sebelum lulus, kamu sudah mengejar apa yang benar-benar kamu inginkan, kamu sudah mendapatkan pengalaman yang kamu butuhkan, dan kamu siap menjadi versi terbaik dari diri kamu di fase berikutnya,” ungkapnya.
Milzam juga menekankan untuk tidak terburu-buru menyelesaikan kuliah hanya karena tekanan eksternal.
“Semua orang punya timeline masing-masing. Jika kamu memang memilih untuk menunda kelulusan, pastikan penundaan itu membawa kebaikan yang lebih besar untuk masa depanmu. Yang terpenting bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling siap,” tutupnya.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)