
Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka kematian akibat demam berdarah tertinggi di Asia. Kombinasi antara iklim tropis yang panas dan lembab menciptakan kondisi ideal bagi pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor utama penyebar penyakit demam berdarah dengue (DBD). Melihat tantangan ini, peneliti dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., Ph.D., menginisiasi penelitian tentang implementasi teknologi Wolbachia Aedes aegypti untuk mengendalikan kasus DBD di Indonesia.
Penelitian tersebut ia presentasikan saat menjadi pembicara kunci dalam Societal Impact Symposium (SIS) 2025 yang berlangsung secara hybrid di Ruang Multimedia FEB UGM dan melalui Zoom Meeting pada Senin (22/9/2025). SIS diikuti sebanyak 16 peneliti dari FEB UGM dan dua peneliti dari University of Southampton. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai wahana untuk mendiseminasikan dan mendorong riset yang berdampak bagi masyarakat.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang paling sering ditemukan di Indonesia. Ia tidak hanya menjadi penyebab utama penyebaran demam berdarah, tetapi juga virus lain seperti Zika, Chikungunya, dan yellow fever (demam kuning). Proses penularan virus terjadi saat nyamuk yang terinfeksi virus dengue menggigit manusia. Penyebaran nyamuk ini pun semakin masif dengan perubahan iklim yang menjadikan suhu Indonesia semakin hangat, yang merupakan kondisi optimal untuk nyamuk ini berkembang biak.
Solusi terhadap peningkatan kasus DBD ini tentunya tidak sesederhana menurunkan populasinya saja. Adi Utarini menjelaskan bahwa untuk menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti di Indonesia adalah tantangan besar. Oleh karena itu, pada 2011 ia memulai penelitian tentang nyamuk ber-Wolbachia, berbekal pendanaan dan kolaborasi dengan World Mosquito Program dari Monash University Australia, Tahija Foundation, serta Universitas Gadjah Mada.
Wolbachia adalah bakteri yang umum ditemukan pada berbagai serangga, seperti nyamuk, kupu-kupu, hingga lalat, dan dapat diturunkan melalui telur ke generasi berikutnya. Pada dasarnya, bakteri ini tidak berisiko bagi manusia. Namun, nyamuk Aedes aegypti di Indonesia secara alami tidak membawa bakteri Wolbachia. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa keberadaan bakteri ini dapat menghambat perkembangan virus dengue di tubuh nyamuk, sehingga menurunkan kemampuannya menularkan virus ke manusia.
Tahap awal penelitian difokuskan pada aspek keamanan dan kelayakan untuk memastikan nyamuk Wolbachia yang dibawa dari Monash University aman diterapkan di Indonesia. Penelitian kemudian berlanjut ke tahap berikutnya melalui pilot project skala kecil di empat perkampungan di Yogyakarta, yaitu Nogotirto, Kronggahan, Jomblangan, dan Singosaren. Adi Utarini mengungkapkan bahwa tantangan terbesar pada fase ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga sosial, yaitu bagaimana meyakinkan warga bahwa pelepasan nyamuk bertujuan menurunkan angka demam berdarah, bukan memperparah penyebarannya. Selain itu, proses regulasi juga cukup panjang karena harus melibatkan persetujuan dari banyak pihak, mulai dari pemerintah, universitas, hingga masyarakat setempat. Untuk membangun pemahaman masyarakat, tim peneliti pun secara rutin mengadakan program edukasi, bahkan mengundang warga berkunjung langsung ke laboratorium mereka.
Pelepasan nyamuk dilakukan dengan menempatkan kontainer kecil berisi air, telur nyamuk Wolbachia, dan makanan di sekitar rumah warga dengan jarak 75–100 m². Proses ini membutuhkan pengawasan ketat dan dilakukan sebanyak dua kali seminggu hingga setidaknya 60% populasi nyamuk setempat merupakan nyamuk Wolbachia. Diharapkan, melalui pelepasan ini, ke depannya mereka akan melakukan perkawinan dengan nyamuk setempat, sehingga keturunan yang dihasilkan juga akan membawa bakteri ini. “Wolbachia menekan pertumbuhan virus dengue di tubuh nyamuk, sehingga ketika menggigit manusia, risiko penularannya berkurang,” jelas Adi.
Setelah itu, penelitian berlanjut ke tahap uji efektivitas skala besar dengan menggunakan metode Cluster Randomized Trial (CRT). Hasilnya cukup signifikan, dalam enam bulan setelah pelepasan nyamuk Wolbachia di empat perkampungan tersebut, tercatat penurunan kasus demam berdarah sebesar 77% dan penurunan angka rawat inap hingga 86%. “Dengan hasil ini, kami semakin percaya diri melangkah ke tahap berikutnya,” ungkapnya.
Keberhasilan tersebut menjadikan teknologi Wolbachia sebagai salah satu intervensi kesehatan publik paling menjanjikan, sebuah inovasi yang dalam waktu relatif singkat dapat memberikan dampak jangka panjang. Pada 2022, UGM bersama pemerintah dan DPR mulai menyiapkan uji coba skala nasional. Setahun kemudian, pelepasan nyamuk Wolbachia dilakukan di delapan kota, di antaranya Medan, Bandar Lampung, Jakarta Barat, Bekasi, Bandung, Semarang, Gianyar, dan Kupang. Meskipun begitu, Adi menekankan bahwa pada level nasional, tanggung jawab utama berada di Kementerian Kesehatan, sementara para peneliti lebih berperan sebagai penyedia teknologi dan konsultan kesehatan.
Untuk memastikan keberhasilan di tingkat nasional, Adi Utarini menilai perlu adanya penguatan kebijakan dan implementasi melalui pembaruan roadmap nasional dengue serta kolaborasi multisektor. Selain itu, model implementasi juga perlu disusun agar keterlibatan pemerintah dan swasta dapat berjalan beriringan untuk mendukung implementasi yang optimal.
“Riset yang berdampak memerlukan pendekatan jangka panjang dan multidisipliner, hubungan yang terpercaya dengan pemangku kepentingan di berbagai tingkat, terutama dengan masyarakat memerlukan strategi komunikasi yang efektif,” pungkasnya.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals