Bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada 25-27 November 2025 tidak hanya meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat terdampak bencana. Bencana tersebut mengakibatkan kelumpuhan di berbagai sektor kehidupan, termasuk pendidikan.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof. Dr.rer.soc. R. Agus Sartono, M.B.A., menilai pemerintah daerah perlu segera memetakan dan menentukan lokasi untuk pembangunan infrastruktur pendidikan dan rumah sakit yang rusak setelah masa tanggap darurat. Sebab, besar kemungkinan kapasitas daerah tidak mencukupi, terlebih umumnya pemerintah daerah mengandalkan dana transfer pusat dari APBN yang biasanya turun secara bertahap dan baru cair di awal tahun berikutnya. Meski anggaran penanganan bencana dapat diambil dari dana cadangan namun masih ada ruang fiskal yang dapat dimanfaatkan.
“Mari kita lihat secara lebih jernih salah satu program yang dapat dirampingkan agar lebih realistis yaitu program Makan Bergizi Gratis (MBG),” ujarnya Jum’at (19/12/2025) di FEB UGM.
Agus menyebutkan bahwa MBG merupakan program strategis yang termasuk dalam Asta Cita guna memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Program ini memiliki multiplier effect yang besar seperti meningkatkan gizi anak, mencegah stunting, dan memperbaiki kualitas belajar anak-anak, penanaman karakter positif dan hidup sehat, penciptaan kesempatan kerja, mencegah urbanisasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan UMKM.
“Tentu saja multiplier effect akan jauh lebih besar apabila realisasi potensi kebocoran atau misalokasi dana MBG dapat dihindari,” tutur pria yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko Kesra/PMK 2010-2021.
Pemerintah telah menetapkan anggaran program MBG tahun 2026 sebesar Rp335 trilyun. Kebutuhan tersebut dipenuhi dari sektor pendidikan sebesar Rp223.6 trilyun, kemudian dari dana cadangan Rp67 trilyun, dana sektor kesehatan untuk ibu hamil dan balita sebesar Rp24.7 trilyun dan dana sektor ekonomi sebesar Rp19.7 trilyun.
Lantas apakah dana tersebut semua akan dapat terserap? Data Pokok Pendidian (Dapodik) menunjukan bahwa jumlah siswa calon penerima manfaat diperkirakan sebesar 55.28 juta siswa dengan anggaran per siswa Rp15 ribu. Sementara dari hari efektif siswa masuk sekolah hanya 190 hari, maka kebutuhan dana MBG selama 2026 untuk penerima manfaat siswa sekolah dan pesantren diperkirakan hanya sebesar Rp157,55 trilyun.
“Itupun dengan catatan MBG dapat direalisasikan untuk menjangkau seluruh siswa 55,28 juta. Sangat tidak rasional jika anggaran MBG dihitung selama 360 hari sekolah,” tuturnya.
Agus pun mempertanyakan bagaimana membagi MBG selama siswa libur sekolah. Sangat tidak tepat jika anak-anak tidak sekolah, MBG tetap diberikan dalam bentuk makanan kering. Hal ini berpotensi terjadinya pemborosan anggaran MBG dan justru menyimpang dari ide awal memberikan makanan bergizi. Persoalan baru muncul apabila MBG dipaksakan diberikan selama libur sekolah karena anak-anak harus mengambil di sekolah. Pertama, anak kehilangan waktu liburannya, begitu pula orang tua harus mengantar anak datang ke sekolah hanya untuk mengambil jatah MBG. Kedua, dari segi biaya dan waktu yang harus dikeluarkan anak dan orang tua. Ketiga, orang tua kesulitan memanfaatkan waktu liburan sekolah bersama keluarga. Padahal keluarga sangat memerlukan guna membangun ikatan keluarga yang lebih baik. Dengan kata lain pemberian MBG selama libur sekolah berpotensi menimbulkan distorsi dan kebocoran anggaran yang sangat besar.
Agus menyebutkan ada potensi kelebihan dana MBG dari sektor pendidikan yang tidak dapat diserap sebesar Rp66,05 trilyun. Potensi ini belum termasuk dana MBG untuk ibu hamil dan balita. Menurutnya Badan Gizi Nasional (BGN) dan Bappenas perlu menghitung dan mendesign implementasi Program MBG lebih cermat lagi. Jangan sampai program yang bagus tetapi akibat design implementasinya tidak cermat, menimbulkan persoalan di masa depan dan menjadi tidak efektif.
“Program MBG tetap bisa berjalan, sementara potensi kelebihan dana MBG dapat dioptimalkan. Tidak kalah penting perlu dipastikan agar program MBG per siswa Rp15.000 tiap hari, tetapi realisasinya jauh dibawahnya,” urainya.
Ia menilai pemerintah perlu melakukan rasionalisasi program strategis. Salah satunya, potensi kelebihan anggaran program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dari sektor pendidikan dapat dimanfaatkan untuk membantu penanganan bencana di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan daerah lain, serta membangun infrastruktur sekolah yang rusak berat.
“Kemampuan penyerapan harus lebih realistis, terlebih disaat terjadi bencana yang memerlukan penanganan mendesak. Ingat bahwa the devil is in the details dan kita semua perlu memastikan agar pemanfaatan dana yang dihimpun melalui pajak dengan susah payah direalisasikan dengan tepat,” paparnya.
Menurutnya dana cadangan bisa dialihkan untuk pemberian bantuan tunai pasca tanggap darurat. Simpul kritis yang perlu segera dilakukan adalah pemetaan infrastruktur pendidikan yang memerlukan relokasi, penentuan lokasi baru dan ini harus menjadi satu kebijakan dengan relokasi hunian tetap penduduk. Hal tersebut penting dilakukan agar setelah dibangun, penduduk tidak memerlukan biaya yang besar untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals
