![Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Sebut Indeks Persepsi Korupsi 2024 Masih Stagnan Jika Memakai Indikator yang Sama](https://feb.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/47/2025/02/Menelisik-Indeks-Persepsi-Korupsi-2024-2025.png)
Transparansi Internasional Indonesia (TII) baru saja merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 yang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kenaikan skor dari 34 di tahun 2022 dan 2023 menjadi 37 di tahun 2024. Peneliti sekaligus Pengamat Korupsi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., Ph.D., mengatakan bahwa kenaikan skor CPI tersebut harus dicermati lebih dalam lagi. Pasalnya, terdapat perubahan indikator dalam penilaian yang digunakan sehingga membuat CPI tahun 2024 tidak bisa dibandingkan secara proporsional dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hal tersebut mengemuka pada diskusi bertajuk “Evaluasi Indeks Persepsi Korupsi 2024 dan Tantangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” yang digelar secara luring dan daring oleh MSc in Economics of Crime, Magister dan Doktor Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi serta Penelitian dan Pengembangan Ekonomika RDSI FEB UGM, Kamis 13 Februari 2025 di Auditorium Djarum, Gedung Pertamina Tower FEB UGM. Rimawan bersama tiga mahasiswa MSc in Economics of Crime, FEB UGM yaitu Tri Juli Astuti, Wida Reza Hardiyanti, dan Iqva Anggraini menggali lebih dalam hasil CPI yang dirilis oleh TII.
Rimawan menjelaskan perbedaan metodologi dalam pengukuran CPI menjadi faktor utama yang perlu dicermati. Terdapat perbedaan mendasar antara hasil 2022 dan 2023 dengan 2024 yaitu dengan masuknya indikator dari World Economic Forum (WEF) sehingga ada sembilan variabel. Sementara pada CPI 2022 dan 2023, indikator tersebut tidak digunakan yang hanya menggunakan 8 variabel.
Menurut Rimawan, agar hasil CPI 2022 dan 2023 dapat dibandingkan secara proporsional dengan hasil 2024, seharusnya penghitungan CPI 2024 menggunakan jumlah variabel yang sama. Dalam konteks ini penghitungan CPI dilakukan dengan 8 variabel seperti halnya indeks 2022 dan 2023 yang menunjukkan persepsi terhadap korupsi di Indonesia masih berjalan stagnan.
“Ketika kita konsisten menggunakan 8 indikator penyusun CPI Indonesia, seperti 2022 dan 2023, maka hasil CPI 2024 untuk Indonesia bukanlah 37 namun 34, atau tidak ada perubahan sama sekali sejak 2022 dan 2023,” paparnya.
Berkaca dari hasil CPI yang masih stagnan, Rimawan menegaskan bahwa Indonesia masih perlu bekerja keras dalam peningkatan kualitas kelembagaan di Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa negara yang saat ini maju adalah negara yang mau dan telah melakukan reformasi memperbaiki kualitas aspek kelembagaan.
“Perbaikan kualitas kelembagaan memang membutuhkan pengorbanan dan sumber daya besar, namun tanpa reformasi jangan pernah bermimpi suatu negara akan menjadi negara sejahtera,” ucapnya.
Sementara Wida Reza Hardiyanti, S.E., menambahkan bahwa sejak 2012 terdapat 7 variabel yang secara konsisten digunakan dalam menghitung CPI Indonesia. Apabila CPI Indonesia 2012-2024 dihitung dengan menggunakan 7 variable tersebut, maka hasil dari CPI di tahun 2024 adalah 35. Hasil tersebut tidak berbeda dengan tahun 2022 dan 2023 yaitu 35.
Sementara Tri Juli Astuti, S.E., menyampaikan masukan dalam penghitungan CPI kedepannya diharapkan dilakukan klaster per region menurut jumlah dan jenis indikator yang sama. Misalnya, Laos yang memiliki jumlah indikator 4-5 disamakan dengan klaster Indonesia yang memiliki indikator 8-9 karena merupakan anggota dari region ASEAN. Hal ini akan menimbulkan interpretasi yang kurang tepat terutama jika digunakan untuk analisis pembandingan persepsi korupsi antar negara.
“Misalnya, negara seperti Laos yang hanya memiliki 4-5 indikator dalam CPI seharusnya tidak dibandingkan langsung dengan Indonesia yang memiliki 8-9 indikator. Perbandingan yang tidak setara ini dapat menghasilkan interpretasi yang kurang tepat dalam analisis persepsi korupsi,” urainya.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals: