
Masyarakat Indonesia dikenal luas dengan budaya gotong-royongnya. Di kalangan masyarakat Jawa, terdapat istilah “sambatan”, yaitu tradisi membantu sesama tanpa imbalan uang, misalnya saat membangun rumah, warga sekitar akan ikut membantu dengan memberikan bantuan tenaga. Budaya inilah yang akhirnya menginspirasi Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., Ph.D., Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM untuk menginisiasi sebuah gerakan sosial bernama Sambatan Jogja atau yang dikenal SONJO.
Di hadapan puluhan mahasiswa dari berbagai negara yang mengikuti Global Summer Week 2025 pada Rabu, 16 Jul 2025 di FEB UGM Rimawan berbagi cerita tentang latar belakang pendirian SONJO. Di masa pandemi Covid-19 banyak masyarakat yang mengalami kesulitan namun keterbatasan interaksi fisik membuat upaya saling membantu menjadi terhambat. Di tengah kondisi tersebut muncul keinginan untuk memberikan bantuan, seperti pada “sambatan”, tetapi yang tidak mengharuskan pertemuan secara fisik. Terinspirasi dari nilai-nilai sambatan, terciptalah SONJO yang muncul sebagai upaya membangun solidaritas sosial berbasis kerja sama tanpa pertemuan fisik.
SONJO resmi didirikan pada 24 Maret 2020 dan beroperasi di Yogyakarta yang berperan dalam memobilisasi sumber daya di masa pandemi melalui platform Whatsapp Group (WAG). Hingga saat ini SONJO memiliki 30 WAG. Pemilihan WAG sebagai basis komunikasi dilatarbelakangi oleh banyaknya masyarakat Indonesia yang menggunakan WhatsApp sebagai media komunikasi sehari-hari.
Menariknya, SONJO bergerak tanpa menggunakan uang sebagai sumber daya utama. Rimawan menjelaskan bahwa dalam menggerakan bantuan, sumber daya yang dikeluarkan tidak selalu berbentuk uang, tetapi dapat juga berbentuk modal sosial, seperti kerja sama, kepercayaan, dan solidaritas. Gerakan ini dibentuk dengan fokus untuk memberikan bantuan bagi kelompok rentan dan masyarakat terdampak pandemi, dengan tetap menjunjung nilai-nilai integritas, transparansi, empati, dan sinergi.
Meskipun awalnya dibentuk untuk merespons krisis Covid-19 di Yogyakarta, pada 2023 SONJO mulai beralih ke isu lain yang juga krusial, yaitu krisis sampah di Yogyakarta. “Hingga saat ini, jumlah anggota SONJO telah mencapai lebih dari 2.300 orang yang tergabung secara aktif dalam berbagai program,” ungkapnya Rabu (16/07).
Rimawan menjelaskan bahwa SONJO memiliki berbagai program kerja. Di bidang ekonomi, SONJO mengembangkan sejumlah inisiatif seperti database Sonjo Pangan untuk pendataan toko kelontong, pasar tradisional, dan rumah makan. Berikutnya, SONJO Ngabuburit untuk mempromosikan produk makanan selama bulan Ramadan, Etalase Pasar SONJO yang merupakan aplikasi digital bagi UMKM, serta SONJO HampersFest sebagai wahana promosi hampers untuk berbagai perayaan. Program lainnya meliputi SONJO Jagong sebagai media sosialisasi protokol kesehatan di acara pernikahan, SONJO Ekspor untuk mendukung ekspor produk UMKM, SONJO PasarDesa berupa pengiriman logistik melalui pasar lokal, dan SONJO Catering yaitu layanan katering untuk pasien isolasi.
Untuk mendukung transformasi digital UMKM, SONJO juga mengadakan pelatihan pemasaran digital, seperti pembuatan logo, fotografi produk, desain poster, serta strategi promosi daring. Selain itu, untuk mendukung jangkauan pasar yang lebih luas, SONJO menyediakan aplikasi yang digunakan khusus untuk menampilkan produk-produk UMKM beserta kontak bisnis.
Sementara itu, di sektor kesehatan, SONJO memiliki tiga belas program, antara lain SONJO Poster untuk penyebaran informasi Covid-19 secara daring, SONJO Husada untuk penyaluran bantuan APD dan kebutuhan medis, SONJO Inovasi sebagai dukungan terhadap inovator alat bantu kesehatan, SoHibKoe untuk pendaftaran sukarelawan donor plasma serta, SONJO Husada Tangguh yang merupakan program penggalangan dana untuk mendukung shelter pasien Covid-19 dan relawan pembantu Lalu, database Shelter SiTangguh yang menjadi database untuk mengawasi shelter, SISTERKU yang menyediakan database pasien di penampunga, SONJO Saras menjadi platform bagi relawan pembantu untuk mengawasi penampungan, LiveDokter untuk layanan konsultasi medis jarak jauh, SONJO Uwuh untuk pengelolaan sampah medis di shelter, dan SONJO Rukti Jenazah untuk membantu pemakaman jenazah pasien Covid-19.
Berikutnya, SONJO Rewangan yang menyediakan sistem rujukan pasien alternatif berbasis WAG dan Excel. Meskipun rumah sakit sudah memiliki sistem rujukan resmi sendiri, SONJO Rewangan hadir sebagai solusi alternatif yang lebih cepat dan fleksibel.
“Di minggu pertama penerapan, sistem ini pun sukses dengan berhasil menangani rujukan untuk lebih dari 150 pasien,” ungkapnya.
Ada pula program SONJO Tetuko atau vaksinasi massal dengan menggunakan pendekatan berbeda tergantung wilayahnya. Program ini merupakan salah satu program yang sangat berhasil. Bahkan, Menteri Kesehatan saat itu menyebut SONJO Tetuko sebagai program vaksinasi massal paling efisien, dengan hanya memakan biaya sekitar Rp6.000 per orang.
SONJO membuktikan bahwa dengan mengandalkan modal sosial dan kekuatan budaya lokal, bantuan dapat terus mengalir ke sesama tanpa perlu kehadiran fisik maupun dana besar. Melalui pendekatan digital yang inklusif dan adaptif, SONJO menjadi bukti nyata bahwa solidaritas bisa tumbuh bahkan di antara orang-orang yang tak saling mengenal, selama mereka berbagi nilai dan tujuan yang sama.
Rimawan memaparkan bahwa di situasi krisis seperti Pandemi Covid-19 diibaratkan seperti memainkan permainan tak berujung, dimana titik akhirnya tidak diketahui. Dalam kondisi seperti ini, penting untuk mengambil keputusan dengan perspektif jangka panjang .Ia menekankan pentingnya pendekatan delta-sigma-delta, yaitu dengan melakukan tindakan kecil secara konsisten setiap hari tanpa henti.
“Karena dari konsistensi itulah perubahan besar bisa terjadi” pungkas Rimawan.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals